Readtimes.id – Data Asosiasi Penerbangan nasional Indonesia menyebutkan jumlah penumpang pesawat terus meningkat setiap tahunnya. Di tahun 2012, maskapai dalam negeri mengangkut total 75.8 juta penumpang. Angka itu terus meningkat hingga 115.6 juta penumpang di tahun 2018. Lonjakan penumpang paling tinggi terjadi di tahun 2017, dengan total 109.4 juta penumpang. Amgka itu naik hampir 10 juta dari tahun 2016.
Namun sayang, peningkatan jumlah penumpang tidak berbanding lurus dengan laporan keuangan maskapai. Maskapai plat merah Garuda Indonesia misalnya merugi 213 juta dollar AS. Meskipun di tahun 2016 Garuda masih mencatat laba sebesar 9.3 juta dollar AS, tapi angka itu tak mampu menutupi kerugian luar biasa di tahun 2017
Nasib sama juga dialami Air Asia. Tahun 2017, perseroan juga mencatat rugi sebesar 512,96 miliar rupiah. Meskipun Air Asia berdalih kerugian itu dipengaruhi oleh beban pajak penghasilan, yang sebagian besar berupa beban pajak non-tunai hasil dari penghapusan aktiva pajak tangguhan perseroan.
Sementara itu, Lion Air Group menyebutkan tiga maskapai nasional yang berada di bawah naungannya mengalami kerugian pada tahun 2017. Menurut manajemen, hal tersebut disebabkan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan harga avtur yang cenderung naik.
Awal tahun 2019, maskapai pemerbangan ramai-ramai menaikkan harga tiket pesawat. Meskipun belakangan pemerintah memaksanya turun, tarif pesawat masih dinilai mahal karena free bagasi 20 kg dihapuskan dari harga tiket.
Kok bisa rugi?
Lembaga penelitian internasional yang kerap melakukan studi pasar penerbangan, CAPA – Centre for Aviation menyimpulkan kesalahan maskapai adalah terlalu optimis meraup laba segunung ketika lonjakan penumpang terjadi.
Sejumlah maskapai berekspansi, bahkan rela berhutang untuk menambah rute dan jumlah pesawat. Di tahun itu, berdasarkan pantauan CAPA, pembelian pesawat banyak dilakukan oleh beberapa maskapai dengan anggaran terbatas. Setidaknya ada 2.050 pesawat yang sudah beroperasi. Dan, masih ada 1.700 pesawat lagi yang sedang dipesan di Asia Tenggara.
Poinnya, kompetisi memanas, dan perang harga tak terhindarkan.
Dari 13 maskapai penerbangan domestik, terdapat dua grup besar yang melayani rute nasional. Keduanya adalah Grup Garuda Indonesia; Garuda Indonesia, Citilink, Sriwijaya Air, NAM Air, dan Grup Lion Air; Lion Air, Wings Air, Batik Air. Hampir semua maskapai itu kini dalam keadaan sulit. Semua diakibatkan biaya operasional penerbangan yang sangat tinggi.
Mari kita lihat. Sekertaris Jenderal INACA, Tengku Burhanusdin, dilansir Medcom, mengatakan satu jam penerbangan itu rata-rata menghabiskan biaya Rp150 juta dan seterusnya untuk biaya operasi langsung. 40 persennya untuk biaya bahan bakar.
Harga tiket Citilink bersasarkan pantauan Traveloka penerbangan rute Makassar-Jakarta Selasa tanggal 12 Januari 2020 sebesar 363.500. Sementara Lion Air 364.400. Ini harga terendah dari semua maskapai yang tertera untuk rute itu pada pukul 16.30 wita.
Jika satu pesawat jenis Boeing rata-rata punya 200 kursi dengan 1 harga (single price), dengan asumsi semua kursi terjual, Citilink mendapat penjualan senilai 72.5 juta rupiah. Penerbangan Makassar ditempuh sekitar 2 jam, berarti diasumsikan biaya operasional 300 juta rupiah. Dengan demikian Citilink dalam penerbangan ini sudah merugi 227 juta rupiah.
Bahkan jika harga tiket naik menjadi 1 juta rupiah pun belum mampu menutupi biaya operasional selama penerbangan 2 jam. Itupun dengan asumsi semua kursi terjual. Jadi jangan heran jika snack yang anda terima di dalam pesawat hanya sebungkus biskuit seharga 2 ribu rupiah.
Tambahkan Komentar