RT - readtimes.id

“Si Tukang Onar”, Bagaimana Orang Kecil Berjuang dan Bersolidaritas

Judul : Si Tukang Onar
Penulis : Maxim Gorky
Penerjemah : Eka Kurniawan
Penerbit : baca
Cetakan : Februari 2019
Tebal : 147 hlm

Realisme Sosialis. Ini aliran filsafat dalam sastra yang bisa dikatakan dilahirkan oleh Maxim Gorky. Perjalanan aliran ini turut masuk salah satunya ke Indonesia dan mempengaruhi para pengarang sastra di sisi kiri secara ideologi. Nampaknya, kesan realisme sosialis yang keras dan melulu bicara perang kelas secara hitam putih banyak dirujuk dari polemik sastra dan beberapa karya sastrawan kiri era 65.

“Si Tukang Onar” yang diterjemahkan dari kumpulan cerpen (kumcer) berbahasa Inggris berjudul “Tales of Italy” adalah karya-karya cerita pendek Maxim Gorky yang akan menepis kesan salah tersebut. Melalui 15 cerita pendeknya, Maxim Gorky seakan hendak menegaskan bahwa Realisme Sosialis bukanlah jenis sastra yang mengkhianati dirinya di hadapan ideologi. Kedalaman karakter tokoh, deskripsi atau metafora, dan segala tetek bengek teknis sastra dihadirkan ke hadapan pembaca dengan piawainya.

Perjuangan kelas, suatu kondisi di mana satu kelompok masyarakat dalam struktur borjuasi berjuang dan melawan bersama, dihadirkan tanpa kesan didaktis atau menggurui. Nuansa perjuangan dan perlawanan bersama ini langsung dihamparkan dalam cerpen-cerpen awal. Tengoklah cerpen “Pemogokan”, cerpen pembuka. Di dalam cerpen ini para pekerja digambarkan sebagai manusia yang apa adanya, sangat menyentuh. Proses pemogokan dideskripsikan secara detail. Cerpen yang minim percakapan namun kaya deskripsi ini akan membuat kita bersimpati pada kelas pekerja atau buruh dengan segala kebaikan dan keburukannya. Tak ada yang hitam putih di dalam cerpen ini. Malah dengan jujur ada deskripsi yang bisa disimpulkan bahwa sesama ‘orang kecil’ sendiri tidak otomatis akan saling mendukung.

Di dalam”Pemogokan”, kita diajak melihat hingar bingar dan suka cita perjuangan kelas pekerja di hadapan struktur kerja ekonomi borjuasi. Namun demikian, perjuangan ‘manusia biasa’ dalam cerpen-cerpen lainnya tidak hanya berhadapan dengan struktur ekonomi, akan tetapi juga bergelut dengan alam, dan sistem sosial patriarkis. Sebab itulah tema tentang perempuan dalam hal ini yang bersifat ke’ibu-an sangat terasa.

Untuk tema perempuan, coba baca saja “Ibu Seorang Pengkhianat” yang berkisah tentang dilema seorang ibu karena anaknya menjadi pengkhianat yang kemudian membunuh anaknya saat anaknya lengah. Atau tiliklah “Monster”, tentang derita seorang Ibu yang memiliki anak buruk rupa dan difabel, dicemoohkan dan dijauhi oleh masyarakat. Sang Ibu membesarkan anak itu, namun ironisnya, sang anak menjadi begitu rakus dan makan tiada henti—bayangkan ini terjadi di tengah kemiskinan yang dihidupi. Cerita ini barangkali bisa juga serupa alegori yang menceritakan tentang ‘monster’ yang menjadi parasite bagi seseorang.

Untuk tema perempuan atau ibu, tidak melulu tentang sosok hidup yang bisa bicara. Namun, ibu sebagai perwakilan alam juga kuat dalam beberapa cerpen. Misalnya, cerpen “Terowongan” yang berkisah tentang kerja manusia yang menaklukkan alam. Ceritanya berpusat pada sosok seorang laki-laki yang mendapatkan penghargaan karena bekerja membuat terowongan. Cerpen ini kaya dialog yang mencerahkan. Mari kita kutip beberapa percakapannya, “Ya, kami mencium gunung yang terkalahkan, mencium bumi, dan hari itu aku merasa semakin akrab dengan bumi daripada sebelumnya, Signor, aku mencintainya seperti seseorang yang mencintai perempuan!”

Dan “Terowongan” tidak hanya bicara tentang filosofi mencintai bumi (seperti mencintai perempuan), namun juga bicara tentang filsafat kerja. “Manusia tahu bagaimana bekerja!…Ah, Signor, manusia, kecil sebagaimana ia, dapat menjadi kekuatan tak terkalahkan saat ia ingin bekerja. Dan percayalah manusia itu lemah meskipun ia dapat melakukan apapun yang ia rencanakan untuk dikerjakan.”

Cerpen “Perkawinan” adalah cerpen yang nyaris membuat saya menangis. Ini cerpen yang komplit mengaduk-aduk perasaan. Solidaritas kelas, kerja yang mulia, kisah asmara, dan sekaligus kemanusiaan berpadu dengan sangat satu. Kisahnya tentang seorang lelaki miskin yang kehilangan matanya saat membantu ayahnya membajak tanah di kebun anggur. Saat dewasa ia menikah dengan perempuan yang sama miskinnya. Namun rupanya, si lelaki adalah pekerja keras yang sering membantu banyak orang—meski pada hari perkawinannya ia ditertawai dan dicemoohi oleh beberapa orang. Sebab itulah, ketika mereka menikah tanpa apa-apa, ada orang yang menyediakannya Kasur, aday yang memberikannya bekas kadang kambingnya untuk dibangun rumah, dan sebagainya. Solidaritas sosial atau kelas sangat nampak di sini.

Akan terlalu panjang jika diuraikan semua cerpen yang ada di sini. Semuanya memberikan kesan dan makna yang mendalam. Bacalah “Juru Propaganda” yang romantis namun sekaligus ideologis—kisah asmara seorang buruh yang bekerja di koran propaganda dengan perempuan relijius yang rajin beribadah di gereja. Atau “Kakak dan Adik” yang bercerita tentang hubungan konfliktual kakak perempuan dengan adik laki-lakinya yang bongkok—yang berakhir dengan dimasukkannya si adik ke rumah sakit jiwa oleh kakaknya sendiri. Ata cerpen terakhir, “Pepe”, yang berkisah seorang laki-laki lugu namun jujur yang sering membuat orang geram namun tertawa pada saat bersamaan. Ada kutipan yang sangat saya suka dalam cerpen terakhir ini, “Ketika kau mengambil sedikit dari orang yang punya terlalu banyak, itu bukan mencuri tapi berbagi.”

“Si Tukang Onar” adalah rekomendasi yang tepat buat siapa saja yang hendak mendalami karya sastra klasik. Atau bagi mereka yang mendalami isu-isu seputar genre sastra realisme sosialis yang menjadi bahan perdebatan banyak orang, buku ini tepat dibaca.

Apalagi kumpulan cerpen ini diterjemahkan oleh sastrawan kawakan masa kini, Eka Kurniawan, yang tentu saja menjadi jaminan terjemahannya bagus dan bernuansa atau punya jiwa. Jika tidak percaya, baca saja sendiri ya!

Dedy Ahmad Hermansyah

1 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: