RT - readtimes.id

Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith?

Penerjemah: Ninus D. Andarnuswari

Penerbit: marjinkiri

Tahun Terbit: Mei 2020

Tebal: viii + 226 hlm 

Bagaimana mungkin ‘ekonomi’ yang berasal dari bahasa Yunani, oikos, yang berarti  ”rumah”, justru berkembang menjadi ilmu yang ingkar pada apa yang terjadi di rumah? Bagaimana pula seorang Adam Smith, ekonom liberal yang sohor sejagad itu, jumawa pada gagasan ‘bahwa kepentingan diri yang membuat roti tersaji di meja makan kita’?

Sementara, sepanjang hidupnya, Adam Smith tidak pernah menikah bisa makan enak justru karena peran kasih sayang ibunya.

Pertanyaan-pertanyaan kritis dan nakal itu dilontarkan oleh Katrine Marcal dalam bukunya, ‘’Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith?” Perempuan penulis dan jurnalis asal Swedia ini menggugat ilmu ekonomi yang menurutnya terlampau rasional, maskulin, dan abai pada aspek gender. Dengan narasinya yang lincah, alegoris, tajam, kadang juga kocak, ia mengajak kita menganalisa dan mempertanyakan kembali genealogi istilah-istilah ekonomi dan praktik-praktiknya selama ini dalam sejarah.

Ilmu ekonomi, ilmu tentang kasih sayang  

Barangkali ini fakta yang lazim kita temui: kerja-kerja perempuan di ranah rumah tangga tidak dihitung atau tidak diakui dalam kalkulasi ekonomi. Dan ketika mereka terlibat dalam pasar global, berbagai masalah menimpa mereka, mulai dari ketidakadilan ekonomi hingga pelecehan seksual. Sementara, di sisi lain, laki-laki tidak semenderita mereka.

Mengapa ini terjadi? Apakah ini semata masalah teknis yang lepas dari persoalan logika yang ngendon dalam ilmu ekonomi itu sendiri? Katrine Marcal menjawab dengan tegas: masalahnya terletak pada bangunan filsafat ekonomi itu sendiri.

Dalam proses perkembangan pembangunan teori ekonomi, kecenderungan menghilangkan aspek ruh kasih sayang terbentuk seiring zaman. Padahal, pada mulanya, ilmu ekonomi itu tentang bagaimana mencadangkan kasih sayang. “Ilmu ekonomi bukan tentang uang, tapi cara kita memandang manusia, ” tulis Katrine Marcal. (hlm 12)

Menurut Katrine, Ilmu ekonomi saat ini egois. Kita bisa membuktikan ini pada bagaimana Adam Smith menyusun teorinya. Adam Smith meyakini, daya dorong efektif dan bisa dipercaya dalam dunia ekonomi itu adalah kepentingan diri. “Bukan karena kebaikan hati tukang daging, tukang minuman, atau tukang roti kita bisa mendapatkan makan malam kita, melainkan karena memikirkan kepentingan-diri mereka sendiri-sendiri,” tulis Adam Smith pada 1776. (hlm 10).

Kita bisa simpulkan dari pernyataan Adam Smith di atas, bahwa bukan aspek kasih sayang yang berperan menghadirkan malam kita, tapi kepentingan diri. Dari sinilah bibit penyingkiran kasih sayang dalam dunia ekonomi, dan ilmu ekonomi menjadi teori yang terlampau rasional.

Nah, karena perempuan dalam sejarahnya kerap dipandang makhluk irasional, pekerja rumahan yang menghadirkan makan malam dengan kasih sayang, maka ia tidak diakui dalam logika ilmu ekonomi. “Kerja rumah tangga tidak menyumbang pada kemakmuran. Kerja perempuan dipandang bukan aktifitas ekonomi,” tulis Katrine (hlm 33).

Memang ada upaya memperjuangkan agar nasib perempuan diakui dalam dunia pasar, tapi lagi-lagi logika yang digunakan adalah logika yang terlampau rasional. Seperti yang pernah dirumuskan olehh sarjana Universitas Chicago, universitas yang melahirkan begitu banyak pemikir ekonomi yang memperjuangkan agenda neoliberalisme.

Coba kita perhatikan salah satu pernyataan mereka, “jika perempuan bergaji lebih sedikit, itu pasti karena layak dibayar lebih sedikit,…Dunia adalah tempat yang rasional dan pasar selalu benar—jika pasar memutuskan bahwa perempuan mesti bergaji lebih sedikit, maka memang itulah yang layak diterima perempuan. ” (hlm  36).  

Pentingnya perspektif feminis dalam melihat persoalan ekonomi

Feminisme perlu memberikan perspektifnya dalam memandang ketimpangan ekonomi saat ini. Ini bisa dimulai dari menganalisa bagaimana Adam Smith memperoleh makan malamnya serta mengapa ini bermakna penting secara ekonomi. (hlm 201).

Perjuangan feminism dalam dunia ekonomi tidak terbatas pada tuntutan hak perempuan, namun juga memberi solusi pada masalah kesenjangan secara umum, krisis lingkungan, dan sebagainya. Tak boleh berhenti semata pada perjuangan keadilan dan kesetaraan dalam dunia kerja.

Ayu Ambarwati

1 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: