RT - readtimes.id

SKB 3 Menteri; Bukan yang Pertama namun Perlu Perhatian

Readtimes.id– Keputusan Mendikbud Nadiem Makarim menerbitkan Surat Keputusan Bersama ( SKB) 3 Menteri dimana menggandeng Kementrian Agama dan Kementerian Dalam negeri, guna merespon keresahan siswa di SMK 2 Padang mengenai penggunaan atribut sekolah bukanlah hal yang baru.

Sebelumnya di era yang berbeda yaitu di masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, melalui Mendikbud, Muhammad Nuh juga mengeluarkan peraturan serupa yakni Peraturan Mendikbud No 45/ 2014 tentang penggunaan seragam di sekolah negeri.

Hal ini tak lain adalah merespon keresahan peserta didik di Bali yang pada tahun 2014 tidak diperbolehkan mengenakan jilbab di sekolah. Dalam keterangannya Muhammad Nuh pada saat itu juga mengatakan tidak boleh memaksa atau pun melarang siswa menggunakan identitas keagamaan seperti jilbab.

Jauh sebelum itu ada pula SK Dirjen Dikdasmen nomor 100/ C/ Kep/D/ 1991 yang mengatur penggunaan seragam khas untuk SMP dan SMA, yang memperbolehkan siswi Muslim berjilbab di sekolah negeri, tak lain juga hadir untuk merespon kebutuhaan peserta didik terutama siswi yang mendapatkan sanksi karena mengenakan jilbab di sekolah negeri.

Bersama dengan penandatangannya per 3 Februari, terbitnya SKB 3 Menteri yang lagi-lagi memuat aturan terkait penggunaan seragam dan atribut sekolah, tak lain menunjukkan bahwa sejatinya sejak peraturan pertama dibuat menyoal penggunaan seragam, terbukti tidak adanya keseriusan dari para pengambil keputusan di bidang pendidikan untuk mematuhi peraturan yang ada.

Serta ditambah lagi pemahaman terkait tujuan penggunaan seragam sekolah seperti yang dicita-citakan dalam pendidikan nasional, yaitu untuk menanamkan rasa nasionalisme, kebersamaan juga kesetaraan nyatanya telah melenceng jauh dengan masih adanya pemaksaan kepada peserta didik untuk mengenakan atau bahkan dilarang untuk menggunakan atribut keagamaan tertentu dalam lingkup dunia pendidikan.

Hal ini tak bisa dianggap sepele melihat peran vital dunia pendidikan dalam membentuk karakter, wawasan dan sikap peserta didik sebagai generasi muda yang nantinya akan mewarnai perjalanan bangsa yang sejatinya terbentuk karena adanya keragaman itu , dimana dalam waktu yang bersamaan juga menjadikan intoleransi dan rasisme sebagai lawan utamanya

Mengingat kembali seperti apa yang kemudian pernah disinggung oleh seorang sosiolog Universitas Hasanuddin, Rahmad Muhammad, mengatakan bahwa sejatinya rasisme di negara ini adalah hal yang bersifat latensi, alias sudah ada di bawah permukaan atau alam bawah sadar masyarakat, yang nantinya hanya menunggu momentum yang tepat saja untuk muncul di permukaan (readtimes.id/ 29/01/2021 )

Hal ini yang kemudian berusaha dicegah sejak dini, minimal kehadirannya dalam lingkup dunia pendidikan. Dunia yang seharusnya menjadi tempat pertama menanamkan nilai-nilai kemanusiaan juga penghormatan akan keberagaman.

Mengingat dampak dari isu rasisme maupun intoleransi dapat dengan mudah dikaitkan dengan isu-isu yang lain seperti politik, kesejahteraan, keamanan dan lain sebagainya yang akan berdampak besar pada keamanan dan pertahanan negara.

Ona Mariani

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: