Readtimes.id– Socrates dihukum mati minum racun sebab keingintahuannya untuk mengetahui segala pangkal pokok ide dan material sehingga mengusik kaum Sofis yang merasa menguasai segala hajat hidup Yunani pada masanya. Begitupun Hypatia, seorang filsuf perempuan abad medieval, yang mayatnya diseret kereta kuda romawi. Ia dituding sebagai penyihir sebab ia terlahir sebagai polymed yang sedikit lebih banyak tahu daripada orang-orang imperium.
Mereka mati sebab terlalu banyak berpendapat atau bahkan melontar fakta yang melampaui kemampuan orang-orang yang mencengkeram tirani. Mereka dianggap mencoreng malu sebab menjadi antitesis negara. Namun, baik Socrates dan Hypatia keduanya hidup nun jauh pada masa sebelum kita mengenal ide kebebasan berpendapat.
Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar tidak lagi hidup di masa sebelum tanggalan masehi dibuat. Mereka hidup di era bebas dengan seperangkat hak asasi yang tidak hanya dijamin oleh negara, namun juga dijamin konvensi dunia.
Memang benar adanya era kebebasan berpendapat lahir bersamaan dengan era pascakebenaran bagai bayi dengan ari-arinya. Era pascakebenaran memiliki ciri mencolok bahwa dikotomi benar salah menjadi abu-abu. Siapapun bebas menyampaikan apa yang mereka anggap benar sementara salah menjadi hablur.
Lalu, bagaimana jika kebebasan tersebut melampaui batas traktat yang sejak lama dipercayai mayoritas masyarakat sebagai etika dan norma? Memberi racun atau menyeret dengan kereta adalah hukuman masa lampau yang diaplikasikan bentuk pemerintahan masa lampau pula.
Untuk menjadi pemerintah masa kini yang memiliki kompatibilitas terhadap perkembangan global, tentu negara ini membutuhkan perkembangan yang tak kalah advance juga dalam mengatur masyarakatnya –apalagi negara kita mengeluh-eluhkan demokrasi.
Yang dilakukan Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar sebetulnya tak jauh berbeda dengan pembuat konten lainnya di kebanyakan siniar video Youtube yang menjamur dewasa ini. Lantas mengapa penguasa merasa demikian tertampar? Apakah gelontoran fakta diperkuat data hasil riset yang sedikit lebih serius dibandingkan sekadar siniar haha-hehe-huhu demikian menelanjangi dan membuat malu?
Apakah gelar ‘Lord’ yang demikian terhormat bagi masyarakat Inggris justru mengalami peyorasi saat sampai ke Indonesia? Apakah ada kesepakatan resmi bahwa tema ‘Papua’ ‘Tambang’ dan ‘Oligarki’ adalah kata kunci terlarang untuk dibahas?
Kita sama-sama paham bahwa penggelontoran fakta di muka umum seringkali membuat muka memerah bahkan memanas. Reaksi juga bagian dari sifat alamiah manusia yang erat hubungannya dengan keadaan emosional.
Lagi-lagi, di era kebebasan yang serba abu-abu ini juga pejabat publik perlu memahami cara jitu menghadapi rakyatnya –kalau bisa justru mengambil hati rakyatnya pula. Serta, lagi-lagi kita semua tahu bahwa tradisi dialektika telah lama diajarkan Hegel sejak abad ke-19, di mana saat ada pelontaran argumen tesis patutnya dibalas dengan antitesis sehingga melahirkan sintesis.
Saat Fatia-Haris menampar dengan tesis, sepatutnya dibalas dengan antitesis berupa kajian data dan manajemen krisis yang disusun dengan ciamik oleh juru bicara yang ahli. Sayangnya, tesis dibalas dengan ancaman jeruji, persis seperti tradisi pemerintah abad sebelum masehi.
Kemenangan Fatia-Haris terdiri atas usaha menghadiri serangkaian sidang secara cermat, mengajukan berjilid-jilid dokumen pledoi, menghimpun amicus curiae dari dalam dan luar negeri, serta menjumpai berbagai kajian analisis secara akar rumput.
Usaha yang memakan tahun. Usaha pembebasan mereka mencuri atensi publik, dibahas dimana-mana, dan tak dibiarkan redup isunya dengan pemviralan berbagai tagar. Hingga akhirnya mereka dinyatakan tak bersalah pada 8 Januari 2024, kemenangan mereka dirayakan seantero rakyat Indonesia dengan sorak-sorai.
Mengapa kemenangan Fatia-Haris demikian dirayakan? Alasannya cukup sederhana, bahwasanya kesadaran masyarakat masa kini mulai tumbuh, siapa saja bisa berada di posisi Fatia-Haris.
Dalam analogi yang cukup sederhana, Fatia-Haris dan Luhut bagaikan minion dan Lord di video game. Lord yang kuat dan gahar sebagai bos terakhir yang mungkin saking keramat, namanya tak boleh asal dilafalkan dan harus disebut you know who. Sementara, minion-minion hanya makhluk kecil yang rawan dilindas dan ditindas. Namun, tak ada probabilitas nol bagi kemenangan minion. Seringkali, kegigihannya mampu menghancurkan satu demi satu menara musuh.
Katakanlah jika masyarakat abai dengan kasus ini dan Fatia-Haris diam-diam dijebloskan ke penjara, maka kebebasan berpendapat yang setengah mati diperjuangkan saat reformasi telah sampai di titik henti. Indonesia akan mundur seribu tahun tak ayalnya seperti bangsa Sofis yang menghukum Socrates dan Romawi Kuno yang menghukum Hypatia. Dan demokrasi tinggal dekorasi di perisai burung garuda, bertengger di tengah ruang hampa.
Oleh: Windy Shelia Azhar
Penulis lepas yang fokus pada Isu feminisme, lingkungan, kebahasaan, dan sosial
Editor : Ramdha Mawadda
Tambahkan Komentar