RT - readtimes.id

Stockholm Syndrom dan Bahaya Normalisasi Pelaku Kekerasan

Readtimes.id — Pencabutan gugatan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh penyanyi Lesti Kejora terhadap suaminya Rizky Billar memunculkan sejumlah asumsi bahwa Lesti tengah mengalami Stockholm syndrome atau sindrom Stockholm.

Dalam ilmu psikologi, syndrom ini ditandai dengan adanya sikap korban yang justru merasa kasihan, empati, terhadap pelaku kejahatan ataupun kekerasan.

Istilah sindrom Stockholm diperkenalkan usai aksi perampokan bank yang gagal di Stockholm, Swedia pada Agustus 1973. Saat itu empat karyawan Sveriges Kredit Bank yang disandera selama enam hari justru mengatakan bahwa mereka sepenuhnya mempercayai para penculiknya.

Psikolog Nia Paramita Yusuf menjelaskan, tidak diketahui secara pasti faktor penyebab dari sindrom ini. Namun, biasanya dalam kasus kekerasan yang menyebabkan korban dan pelaku terisolasi dari pihak lain, seperti disekap di sebuah tempat. Hal ini bisa muncul karena keduanya diberikan ruang untuk mengamati satu sama lain.

“Korban merasa pelaku baik hati karena tidak sampai pada mengambil nyawanya, dalam kasus kekerasan, korban dan pelaku yang terisolasi dari pihak lain mendapatkan ruang untuk mengamati satu sama lain dengan perspektif yang berbeda , “jelas Nia pada Readtimes.id, Jumat (14/10)

Selain itu menurut Nia syndrom ini sejatinya tidak hanya dapat didiagnosa terjadi pada korban saja, melainkan juga mereka yang mengetahui kasus kekerasan atau kejahatan tersebut.

Seperti bercermin pada kasus dugaan pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Ferdy Sambo yang belakangan sempat meraih simpati beberapa pihak karena merasa kasihan pada pelaku setiap kali media menyorot gerak-geriknya saat melakukan rekonstruksi perkara.

“Benar, beberapa dari kita terbawa suasana,” ucapnya.

Adapun cara mencegah agar tidak mengalami sindrom ini adalah dengan meyakinkan diri korban bahwa yang dilakukan oleh pelaku adalah tindakan yang salah.

“Bulatkan tekad saat akan memutus untuk melaporkan pelaku, ” tambah Nia.

Hal ini penting karena menurutnya jika korban mundur, tentu tidak akan menimbulkan efek jera bagi pelaku. Bahkan lebih lanjut adalah adanya upaya normalisasi perilaku kekerasan seperti yang dilakukan pelaku. Dan jika itu sudah terbentuk secara sistemik tentunya akan semakin sulit mengungkapkan kasus kekerasan lainnya yang hingga kini masih dipercaya membentuk fenomena gunung es.

Dewi Purnamasakty

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: