Judul : Nuklir Sukarno, Kajian Awal atas Politik Tenaga Atom Indonesia 1958—1967
Penulis : Teuku Reza Fadeli
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun Terbit : Maret 2021
Tebal : i—x + 104 hlm
“…Insja Allah di waktu dekat kita membuat bom atom kita sendiri!… Bukan untuk agresi, tetapi untuk menjaga tanah air kita.—Sukarno, pada Kongres Muhammadiyah di Bandung, 24 Juli 1965.
Jika mendengar kata ‘nuklir’, barangkali kita akan membayangkan ‘bom atom’. Dan jika mendengar kata ‘bom atom’, mungkin kita akan terkenang peristiwa bom atom (bernama “little boy”) yang dijatuhkan Amerika di atas Kota Hiroshima, Jepang, pada 6 Agustus 1945—yang kemudian disusul bom atom berikutnya bernama “Fat Boy”, pada 9 Agustus, yang meluluhlantakkan wilayah tersebut dan menelan begitu banyak korban. Nuklir dan bom atom citranya menjadi begitu menyeramkan dan menakutkan!
Namun, barangkali sedikit yang mengetahui jika pemimpin pertama negara kita—Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)—yakni Sukarno, rupanya pernah memiliki ambisi untuk menguasai nuklir, seperti negara-negara maju seperti Amerika. Meskipun ambisi ini gagal dan mati seiring peristiwa politik 1965 di mana enam jenderal diculik yang diikuti pembantaian ribuan orang yang dituduh komunis, namun menarik mengikuti konsep penguasaan atau kepemilikan nuklir oleh Sukarno.
Tema inilah—ambisi memiliki nuklir—yang menjadi pusat pembahasan dalam buku berjudul “Nuklir Sukanro, Kajian Awal atas Politik Atom Indonesia 1958—1967” yang ditulis oleh sejarawan muda, Teuku Reza Fadeli.
Buku tipis ini, yang mulanya berupa skripsinya pada Jurusan Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia menjelang akhir 2013, setidaknya menarik untuk dua hal: pertama, mengkaji tema pinggiran dalam historiografi Indonesia, yaitu tema sains dan teknologi (tidak banyak karya sejarah Indonesia yang mengekspoler tema ini); kedua, menambah dan memperkaya pengetahuan serta pemahaman kita pada sebab musabab terjadinya gejolak ataupun tragedi politik September 1965.
Sukarno: awalnya Anti-Nuklir beralih menjadi Pro-Nuklir
Buku tipis ini mengambil dan membatasi ulasannya pada rentang tahun 1958—1967. Pada rentang tahun-tahun tersebut kondisi dunia maupun Indonesia sendiri tengah berada dalam masa yang krusial: ada Perang Dingin antar negara adikuasa (Amerika yang mewakili kubu liberal-kapitalis dan Soviet yang mewakili buku Komunis); dan di Indonesia sendiri yang baru saja terbebas dari kolonalisme tengah mencari jati diri (di sini ada gejolak ketidakpuasan daerah pada pemerintah pusat serta persaingan di antara kubu-kubu dalam pemerintahan sendiri).
Nah, pada mulanya pemerintah Indonesia sendiri mengambil sikap damai terhadap fungsi keberadaan nuklir. Bisa dikatakan, Sukarno sendiri, sangat tegas menolak dan menentang pemanfaatan nuklir dalam rangka perlombaan senjata. Sikap penentangan ini dapat kita temukan pada pidato Sukarno pada 12 Juni 1958. Mari kita kutip sedikit dari pidato tersebut: “…bagaimana kita membikin, mendjaga, berichtiar agar supaya perang atom ini tidak terdjadi? Kami mendjawab, sebagaimana dikata Pak Siradjuddin Abbas Tadi: tjara agar kita tidak mengalami peperangan dunia peperangan atom ialah semua sendjata atom dilemparkan ke dalam laut dan djangan membuat sendjata atom lagi! Itu pendirian kami!”
Pada masa penentangan ini sebetulnya Indonesia sendiri mulai terlibat dalam proyek nuklir, namun murni semata-mata untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan perdamaian. Dalam masa ini pula Indonesia mendapatkan bantuan dari negara lain, seperti Amerika, berupa dana maupun bantuan tenaga ahli dan pelatihan untuk mengembangkan tenaga nuklir untuk tujuan damai yang disebutkan tadi.
Perubahan sikap yang drastis Sukarno terhadap nuklir didorong oleh perkembangan mutakhir dalam dunia perkembangan nuklir itu sendiri dan peristiwa-peristiwa politik yang membuat Sukarno mengambil posisi politik yang dalam hal ini mulai condong ke kiri. Posisi kiri ini yang dijewantahkan pada slogan anti imperialisme dan kapitalisme ini juga mempengaruhi perubahan cara pandang Sukarno terhadap keberadaan nuklir.
Sukarno geram juga marah pada negara-negara barat yang mempraktikkan neo-kolonalisme dan imperialisme. Lalu dia pun mengambil posisi tegas untuk menjalin kesehaluan jalan politik dengan negara anti-imperialisme seperti China, Korea Utara, Kuba, Rusia, dan sebagainya.
Kemesraan hubungan diplomatic Indonesia dengan China yang diikuti dengan keberhasilan China pada ujicoba bom atom pada 16 Oktober 1964 semakin mengukuhkan ambisi Sukarno untuk mengembangkan nuklir sendiri. Kali ini dia tidak memisahkan antara perang terhadap imperialisme dengan keberadaan bom atom.
Lalu, dalam Pidato pada Kongres Muhammadiyah di Bandung pada Juli 1965 kian mempertegas sikap Sukarno untuk mengembangkan nuklir sebagai persejantaan. Kutipan singkat dan tegasnya telah diudarkan di atas, “…Insja Allah di waktu dekat kita membuat bom atom kita sendiri!… Bukan untuk agresi, tetapi untuk menjaga tanah air kita.
Berbagai negara pesimis terhadap kalimat Sukarno tersebut, malah ada yang menganggapnya sebatas gertak sambal semata.
Namun, malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, ambisi ini runtuh di tengah jalan seiring dengan tragedi politik di dalam negeri sendiri pada 1965. Cita-cita Sukarno terhadap kepemilikan nuklir ambruk begitu saja. Imajinasi kita dibiarkan liar membayangkan: bagaimana jadinya Indonesia dalam pengembangan tenaga nuklir ini sampai saat ini seandainya saja peristiwa 1965 tidak terjadi?
Tambahkan Komentar