Resensi ; Dedy Ahmad Hermansyah
Judul : To A God Unknown
Penulis : John Steinbeck
Penerjemah : Tanti Lesmana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Januari 2019
Tebal : 324 hlm
Alam, agama (atau kepercayaan spiritual), dan manusia. Tiga hal ini saling berhadap-hadapan dalam novel John Steinbeck, “To a God Unknown—Kepada Ilah yang Tak Diketahui”. Manusia berupaya keras memahami dan memecahkan misteri fenomena alam, dan agama kerap kali dijadikan kunci sebagai jawaban atas masalah (alam) yang terjadi—bahkan, seperti yang saya temui dalam novel ini, agama yang dipraktikkan keliru memahami perbuatan satu manusia yang berupaya (dengan tak disadari) memelihara alam.
Novel ini berkisah dan berpusat pada seorang laki-laki bernama Joseph Wayne yang meninggalkan kediamannya di Vermont untuk mencari lahan perkebunan baru di wilayah barat di California. Dia meninggalkan ayahnya—setelah mendapatkan izin—dan tiga saudara laki-lakinya: Thomas, Burton, dan Benjamin.
Tiga saudara Joseph memiliki karakter jauh berbeda dan unik. Thomas seakan-akan dapat memahami bahasa binatang, Burton sangat religus dan cenderung konservatif, sedangkan Benjamin senang malas-malasan dan berfoya-foya. Joseph sendiri memiliki hubungan batin dengan bumi.
Dia berhasil membuka dan mendaftarkan lahan baru seluar 600an ha. Tak lama setelah itu, datang kabar dari Vermont bahwa ayahnya meninggal dunia. Kesedihan Joseph tak tertanggungkan, karena ia begitu dekat dan sangat menghormati sosok sang ayah. Lalu ia pun mengundang ketiga saudaranya untuk pindah dan tinggal bersamanya di lahan yang baru. Dia bagi-bagikan tanahnya ke tiga saudaranya itu.
Sejak menerima kabar kematian sang ayah, Joseph menyimpan keyakinan jika ruh ayahnya bersemayam pada sebatang pohon ek raksasa di lahan pertaniannya. Ia kerap berbicara dan menumpahkan masalah sehari-harinya kepada pohon itu. Perbuatan ini pada akhirnya mengundang rutukan dari Burton, dan menganggap Joseph musyrik si penyembah berhala. Nantinya, si Burton mematikan akar pohon ek raksasa tersebut. Dari sinilah bencana kekeringan maha dahsyat itu muncul.
Seluruh penghuni lahan pertanian tersebut minggat membawa serta harta dan ternak mereka—yang tak jarang dalam perjalanannya hewan-hewan tersebut mati satu satu, baik karena kelaparan atau terbunuh oleh peluru petani di pinggir jalan. Joseph tetap tinggal di lahan tersebut, mencoba bertahan dan memecahkan masalah kekeringan tersebut dengan terus menyiram batu besar di dekat mata air.
Menurut saya, apa yang dilakukan Burton dengan mematikan akar pohon ek raksasa Joseph dan menganggapnya musyrik adalah refleksi atas dua hal: kecenderungan beragama yang konservatif yang senang memvonis kepercayaan orang lain; dan memperlakukan agama sebagai keyakinan passif atas fenomena alam.
Joseph sendiri, menurut saya, adalah cermin keteguhan sikap dan memegang teguh harapan. Ia memang punya kelemahan yakni tak bisa mengutarakan perasaannya dengan lugas sehingga tak dapat meyakinkan saudaranya, Burton, terhadap hubungan apa yang sebetulnya terjalin antara dia dengan pohon ek raksasa tersebut.
Joseph tak tergoda ajakan orang-orang untuk meninggalkan daerah pertanian tersebut. Dan pada akhirnya, selepas kematiannya, hujan turun deras dan setelah itu tanah pertanian tersebut kembali subur.
Yang menarik dari novel ini adalah deskripsi sureal Steinbeck sehingga mengaburkan antara yang nyata dan tidak nyata, antara yang alami dan takhayul. Sehingga, beberapa review yang saya baca atas novel ini, cenderung melihat substansi novel ini sebagai sesuatu yang magis dan penuh unsur takhyul. Belum saya temukan ulasan analitik terhadap hubungan manusia dengan alam dan agama. Betapa lemahnya manusia di hadapan laku misterius alam, dan betapa kerap praktik agama menjauh dari upaya melestarikan alam.
Baiklah, untuk menutup ulasan super ringkas ini, saya akan kutipkan deskripsi kematian Joseph yang sungguh puitik—kita akan menemukan begitu banyak deskripsi serupa berseliweran pada hampir seluruh lembar dari 324 halaman totalnya. Berikut deskripsinya:
“…Waktu berlalu dan Joseph juga semakin kelabu. Dia berbaring miring, dengan pergelangan terjulur, sambil memandang ke bawah, ke gugus pegunungan panjang dan hitam yang adalah tubuhnya sendiri. Kemudian tubuhnya meraksasa dan terasa ringan. Tubuhnya terangkat ke langit, dan dari dalamnya mengalir hujan deras. “Seharusnya aku tahu, “dia berbisik. “Akulah hujan itu.” Namun masih juga dia memandang ke pegunungan sekaligus tubuhnya, yang bukit-bukitnya menjorok ke jurang tak berdasar. Dia merasakan hujan yang kian deras, dan mendengar hujan itu memecut tanah, berderai-derai. Dia menyaksikan bukit-bukit menjadi gelap oleh uap air. Kemudian timbul rasa sakit yang menusuk, menembus jantungnya dunia. “Akulah tanah itu,” dia berkata, “dan akulah hujan. Rumput-rumput akan tumbuh dari dalamku, tak lama lagi.”
Dedy Ahmad Hermansyah. Peneliti lepas dan pustakawan di Komunitas Teman Baca, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
1 Komentar