Readtimes.id– Polda Sulawesi Selatan dinilai lamban dalam penanganan kasus pengrusakan kawasan hutan lindung Pongtorra oleh oknum DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.Hal ini diungkapkan oleh Wahana lingkungan Hidup ( Walhi) Sulawesi Selatan dalam konferensi pers pada, Jumat ( 08/07).
Tujuh bulan berlalu sejak Walhi Sulawesi Selatan melapor secara resmi ke POLDA Sulawesi Selatan terkait dugaan pengrusakan hutan lindung tersebut hingga kini penanganan kasus tersebut masih berhenti di tahap penyidikan.
Dalam konferensi pers ini, Arfiandi Anas selaku staf advokasi dan kajian Walhi Sulsel menjelaskan bahwa secara kronologis, pihaknya telah melaporkan kasus pengrusakan kawasan hutan lindung Pongtorra di dua lembaga yakni Polda Sulawesi Selatan dan Balai Gakkum Sulawesi.
“Untuk di Polda kami lapor tanggal 15 Desember 2021 dan ke Gakkum itu tanggal 27 Desember 2021. Hingga proses klarifikasi dan pemanggilan sebagai saksi dilakukan sejak Desember sampai dengan April 2022”, ujarnya.
Lulusan Sarjana Hukum di salah satu perguruan tinggi di Makassar ini juga menambahkan bahwa selama penanganan kasus yang kami laporkan, terdapat dua hal kesalahan prosedural yang kami temukan baik dari pihak Polda Sulawesi Selatan maupun Balai Gakkum Sulawesi.
“Pertama, Penyidik Krimsus Polda Sulsel baru mengeluarkan surat laporan polisi pada saat proses penyelidikan sudah berjalan, tepatnya pada bulan maret 2022. Ini tentu bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 6 tahun 2019 tentang Manajemen Penyidikan, ” jelasnya
Adapun yang kedua adalah pada tanggal 15 Maret 2022, Balai Gakkum Sulawesi mengeluarkan surat terkait perkembangan laporan yang dimasukkan oleh Walhi Sulsel dengan penjelasan bahwa laporan Walhi Sulsel telah ditangani oleh Polda Sulawesi Selatan. Namun, setelah dikonfirmasi ke Polda, mereka mengatakan bahwa tidak ada informasi soal kasus yang WALHI Sulsel laporkan di Balai Gakkum Sulawesi.
Sampai di sini Walhi Sulsel menilai penanganan kasus yang mereka laporkan sangat lambat. Selain kemudian juga mencermati adanya tiga kejanggalan dalam penanganan kasus ini.
“Pertama, Kami menilai bahwa Polda Sulsel tidak mampu melakukan penindakan tegas terhadap dugaan pelanggaran pidana pengrusakan hutan yang melibatkan pejabat negara yakni oknum anggota dewan. Kedua, Bukti yang kami ajukan ke Polda Sulawesi Selatan sudah cukup kuat untuk penyidik melakukan penetapan tersangka, namun sampai saat ini belum ada tersangka yang ditetapkan. Terakhir, alasan Polda Sulsel yang masih menunggu pihak BPKH untuk melakukan telaah titik koordinat dari sejak bulan Mei sampai sekarang belum menemukan hasil. Inilah yang kami catat sebagai kejanggalan penangan kasus yang telah kami laporkan”, Ujar Arfiandi.
Pada kesempatan yang sama, Muhammad Al Amin, Direktur WALHI Sulawesi Selatan, juga berkomentar dalam konferensi pers ini. Menurutnya, pelaporan ini muncul berawal dari keresahan warga yang menyaksikan langsung hutannya di rusak. Lalu kemudian melaporkan kasus ini ke WALHI Sulawesi Selatan.
“Setelah punya cukup bukti yang kuat, kami pun melaporkan kasus ini ke Polda Sulsel dan Balai Gakkum Sulawesi. Ini kami lakukan untuk menguji seberapa netralnya penegakan hukum lingkungan terhadap oknum pejabat”, ujar Amin.
Selanjutnya, Amin juga menjelaskan bahwa pelaporan kasus pengrusakan hutan ini telah kami laporkan sejak tujuh bulan lalu, namun sampai sekarang belum ada informasi pasti dari pihak penyidik.
“Kami melihat, ketika oknum pejabat yang melakukan dugaan tindak pidana prosesnya cukup lama, tetapi ketika masyarakat kecil prosesnya sangat cepat. Dari sini kami menduga kuat bahwa ada proses yang diskriminatif dan upaya pelambatan proses tindak pidana”, jelasnya.
Terakhir, Direktur WALHI Sulawesi Selatan juga menegaskan bahwa jika kasus ini tidak dilanjutkan, maka ini sudah jelas menjadi preseden buruk bagi Polda Sulawesi Selatan.
“Terkhusus soal penegakan hukum lingkungan, jika ini tidak dijalankan maka Kapolda Sulsel jelas gagal dalam menegakkan kasus hukum lingkungan di Sulawesi Selatan. Kami juga dalam kesempatan ini menggarisbawahi jika Polda Sulsel tidak mampu menyelesaikan kasus ini dalam dua atau tiga bulan ke depan, maka kasus ini kami akan bawa ke Mabespolri. Yang pada intinya, kasus ini akan tetap kami kawal sampai selesai”, ucapnya
Adapun beberapa tuntutan WALHI Sulawesi Selatan yang dibacakan dalam konferensi pers ini diantaranya
segera jalankan kembali proses penyidikan kasus Hutan Lindung Pongtorra yang saat ini berhenti di Ditreskrimsus Polda Sulsel.
Selanjutnya mendesak Balai Gakkum Sulawesi bersama dengan Polda Sulsel membuka informasi bagi WALHI Sulsel sebagai pelapor mendesak Polda Sulsel untuk melakukan penghentian pembangunan villa di lokasi Hutan Lindung Pongtorra.
Tambahkan Komentar