“Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan”– Ibnu Sina
Saya percaya, Covid-19 itu nyata dan bukan fiksi. Bagaimana tidak, istri saya ketika di bulan September tahun 2020, pada saat sedang bertugas dengan kesibukan mempersiapkan penyelenggaraan pemilu kepala daerah, justru mendapatkan vonis terpapar covid-19.
Beruntung ketika itu, anak kami sejak awal pandemi sudah berada di kampung halaman istri. Sementara saya sendiri juga sedang melaksanakan riset di luar kota. Apa reaksi pertama saya ketika mendengar via telpon saat istri saya menyampaikan telah terpapar Covid?
Sementara saya berada di luar daerah dan anak kami juga berada di tempat lain. Tiga anggota keluarga inti saling terpisah oleh jarak mesti menghadapi situasi yang penuh kecemasan. Situasi yang kami belum ketahui apa dan bagaimana cara menjalani tantangan tersebut.
Ketika menghadapi kondisi seperti ini, hal yang pertama dan selalu saya kenang adalah pesan guru saya soal ‘ketenangan’ dalam menghadapi cobaan dan ujian apapun.
“Jangan panik, matikan TV, jangan menonton dan membaca berita tentang korban covid di media sosial atau internet, ayo kuat dan fokus untuk sembuh kita pasti bisa melewati ini semua” begitu pesan sugestif yang saya sampaikan kepada istri ketika mendengar nada suara yang terdengar sedikit cemas”.
Begitu pula hal yang saya sampaikan kepada anak kami yang masih berumur 10 tahun ketika dia menelpon dengan suara terisak dan bergetar sambil bertanya, ‘Mama bagaimana Pa’?
“Bukan tugas Ali takut tentang mama, tugas Ali harus sehat dan Insya Allah mama akan sehat”, begitu pesan tegas saya, menguatkan putra satu-satunya yang saya miliki itu.
Panik, Pandemi Membunuhmu
Saya bukan seorang dokter, tapi sebagai sarjana ilmu komunikasi kami pernah mempelajari tentang psikologi komunikasi. Terutama, soal kecemasan dan kepanikan. Dalam doktrin yang pernah saya pelajari, ‘kehadiran kecemasan dan situasi kepanikan dipicu oleh hal yang tidak diketahui, tidak mampu dikendalikan dan berhubungan dengan pengalaman baru’.
Layaknya, situasi yang saya dan istri hadapi ketika menghadapi realitas bahwa salah satu dari kami terpapar covid. Kami tentu tidak mengetahui, apa dan bagaimana cara menghadapi persoalan tersebut?
Namun, yang saya ketahui lewat pelajaran psikologi komunikasi, bahwa kecemasan dengan tingkat sangat berat, akan melahirkan kepanikan dan kepanikan akan melahirkan respon fisiologis, respon kognitif dan respon perilaku yang tidak terkendali seperti denyut nadi yang tidak teratur dan pernafasan yang lebih cepat dan dangkal.
Karena itu,dalam menghadapi situasi layaknya apa yang kami alami, begitu pula mungkin saat ini ketika pandemi kembali menjadi-jadi, maka hal pertama yang mesti kita lakukan adalah melawan kepanikan dan kecemasan itu sendiri. Karena kita tidak akan mungkin bisa berpikir jernih dan mengambil keputusan dalam situasi mental yang tidak terkendali.
Baru setelah itu, berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan informasi yang benar tentang penanganan covid. Bertanya, soal asupan vitamin, obat-obatan dan hal-hal yang terkait penanganan covid yang mesti kami siapkan dan lakukan.
Situasi pandemi seperti ini, juga mengingatkan saya pada tahun 2018 silam. Ketika mesti menghadapi takdir sebagai penyintas bencana alam gempa, tsunami dan likuifaksi di Kota Palu. Ketika terjadi gempa, maka rumus pertama ‘jangan panik dan segera mencari ruang terbuka’. Begitu doktrin yang saya simpan dalam memori perintah kepala saya ketika bumi rasanya ingin runtuh.
Pada konteks yang sama ketika menghadapi covid dan fenomena pandemi, mungkin kita perlu membuat perintah memori dalam kepala, ‘jangan panik dan jangan nonton berita tentang pandemi yang semakin membuat cemas dan justru punya efek buruk bagi kesehatan kita’.
Mengapa ?
Layaknya pesan Ibnu Sina “Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan”
Berhenti Menyebarkan Ketakutan
Saya sepakat, publik perlu tersadar akan ancaman pandemi. Termasuk kepatuhan untuk memakai masker, menjaga jarak dan senantiasa mencuci tangan. Begitu pula, berbagai paket kebijakan pembatasan sosial yang entah dengan istilah apa lagi yang pemerintah keluarkan.
Namun, pemerintah sebaiknya bukan sekedar sibuk membuat aturan dan berbagai hal menyangkut pembatasan aktivitas publik, mengumumkan sanksi pemberhentian bagi kepala daerah dengan dasar ancaman Pasal 68 ayat 1 dan ayat 2 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, apalagi penerapan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.
Perlu pemerintah ingat, dengan seluruh pengetatan tersebut berkonsekuensi akan “tanggung jawab pemerintah atas rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina”.
Pertanyaanya, apakah pemerintah mampu mencukupi kebutuhan tersebut? Faktanya berbagai rumah sakit telah kehabisan ruangan, kebutuhan pangan warga selama lockdown justru berakhir dengan korupsi paket sembako Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara, sampai tanggung jawab efek ekonomi bagi dunia usaha dan daya beli rakyat yang akan terdampak belum sepenuhnya bisa ditangani.
Seharusnya, berbagai ancaman dan ketakutan tersebut justru digantikan dengan narasi yang lebih positif. Bukan menambah ketakutan, ketika rakyat sedang mengalami dilema antara tetap di rumah akibat pandemi dan harus tetap bertahan hidup mencari penghasilan.
Mungkin pemerintah lupa, kekuatan besar yang menjadi modal sosial bangsa kita bertahan sampai saat ini. Yakni, ‘solidaritas dan gotong royong’. Kekuatan yang harusnya menjadi narasi utama pemerintah dalam menghadapi situasi pandemi seperti sekarang. Mari ajak rakyat bersolidaritas bersama dengan mematuhi protokol kesehatan yang artinya peduli akan nasib sesama. Bergotong royong melawan wabah dengan sama-sama melaksanakan vaksinasi serta bekerja memulihkan ekonomi.
Tentu itu lebih baik, daripada menyebar ketakutan dan panik kemana-mana.
Tambahkan Komentar