RT - readtimes.id

Perbaikan Kualitas UMKM Menuju Pasar Ekspor

Readtimes.id– Naik turunnya perekonomian Indonesia dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya keterlibatan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Kendati demikian, UMKM belum menunjukkan peningkatan kualitas signifikan hingga mampu mencapai pangsa pasar digital dan ekspor.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah UMKM saat ini mencapai 64,19 juta dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61,97% atau senilai Rp 8.573,89 triliun.

Menkop UKM , Teten Madsuki mengatakan jumlah ekspor nasional meningkat pada triwulan III 2021 dengan nilai ekspor naik 22,71% dibanding triwulan III 2020 sebesar 17,24%. Namun demikian, dari jumlah tersebut jumlah ekspor UMKM masih 15,65%, masih jauh dibanding beberapa negara lainnya, seperti Singapura 41%, Thailand 29%, atau Tiongkok mencapai 60%.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengatakan, dari segi skala produksi, beberapa UMKM menunjukkan tren peningkatan yang didorong oleh faktor ekonomi digital. Namun, jika dilihat secara detail, masih banyak ketimpangan yang terjadi antar UMKM

“Kalau kita lihat secara detail lagi masih ada ketimpangan UMKM, banyak yang mentok dan sulit berkembang, susah naik level,” ungkapnya.

Menurut Huda, UMKM yang sulit naik level ini terkendala pada beberapa faktor yakni modal, Sumber Daya Manusia (SDM) dan sempitnya pangsa pemasaran.

Huda mengatakan, permodapan adalah katalisator dari UMKM untuk maju. Banyak permodalan UMKM yang bersumber dari perbankan yang besarannya hanya 6 persen sehingga sulit untuk mengembangkan usaha dalam skala besar.

Selain itu, jumlah dan kualitas SDM di sejumlah UMKM masih relatif rendah, ditambah buruknya pengelolaan menimbulkan masalah tenaga kerja. Kebanyakan tenaga kerja di UMKM adalah tenaga kerja lokal dan informal yang tidak diberi asuransi atau jaminan kecelakaan kerja, hal ini juga berpengaruh bagi kelangsungan hidup UMKM.

“Karena jika terjadi apa-apa, pihak UMKM yang menanggung biaya perawatan dan kerugian lainnya untuk tenaga kerjanya, jadinya UMKM bisa rugi juga,” ungkapnya.

Dari segi pemasaran UMKM juga masih sangat terbatas. Dari 65 juta UMKM yang tercatat, hanya 20 persen yang mampu memasuki pangsa pasar digital. Artinya, jangankan ekspor, pasar UMKM masih berputar pada konsumen di sekitar UMKM tersebut atau paling maksimal mencapai tingkat kota karena kurangnya tools (alat) untuk mengembangkan pasar.

Huda mengatakan, beberapa UMKM sudah mulai memasuki pasar ekspor, namun harus diikuti dengan beberapa prasyarat seperti value (nilai), kualitas, dan kapasitas produk.

“Pertama barang-barangnya harus yang unik dan kapasitas produksi besar. Seperti produk-produk komoditas pertanian atau hasil bumi. Banyak UMKM kita yang kapasitas produksinya masih terbatas, untuk diekspor belum mumpuni,” jelas Huda.

Huda juga mendorong pelaku UMKM untuk bisa manfaatkan platform digital yang sudah memfasilitasi penggunanya untuk melakukan ekspor produk. Upaya lainnya menurut Huda, UMKM juga bisa saling bersinergi membentuk koperasi atau asosiasi yang khusus menangani ekspor barang.

“Misal si A dan si B buat koperasi untuk ekspor, yang diminta misal 200, jadi A produksi 100, B produksi 100. Nah inisiatif ini yang perlu dikembangkan,” jelasnya.

Selain itu, juga terdapat permasalahan UMKM akibat pandemi. Penurunan jumlah UMKM dan kontribusi UMKM terhadap PDB Indonesia disebabkan oleh pandemi sejak 2020 lalu.

Permasalahan yang dialami mencakup perubahan pola konsumsi barang dan jasa masyarakat di masa pandemi dari offline ke online. UMKM mengalami permasalahan tenaga kerja akibat pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hambatan distribusi produk dan kesulitan bahan baku produksi.

Upaya Pemerintah Memajukan UMKM

Dari total keseluruhan jumlah UMKM di Indonesia, sebanyak 64,13 juta merupakan UMKM yang masih berada di sektor informal sehingga perlu didorong untuk bertransformasi ke sektor formal. Indonesia masih memiliki kendala dalam perizinan yang rumit serta tumpang tindih antara regulasi di tingkat pusat dan daerah.

Pemerintah berupaya mengakomodir permasalahan tersebut melalui penyusunan UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada 2020. Salah satu substansi yang diatur adalah mengenai kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan UMKM. Pemerintah berharap melalui UU Cipta Kerja, UMKM dapat terus berkembang dan berdaya saing.

Selain itu, pemerintah juga telah meluncurkan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebagai salah satu program yang dicetuskan pemerintah atas penurunan aktivitas masyarakat yang terdampak, khususnya sektor informal atau UMKM. Program ini dibuat berdasarkan PP Nomor 23 tahun 2020 yang kemudian diubah menjadi PP Nomor 43 tahun 2020.

Upaya lain dari pemerintah untuk memajukan UMKM yaitu program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan melalui lembaga keuangan dengan pola penjaminan. Adapun biaya jasa (suku bunga) atas kredit/pembiayaan modal kerja disubsidi oleh pemerintah. KUR dimanfaatkan untuk meningkatkan akses pembiayaan dan memperkuat permodalan UMKM.

Huda mengapresiasi upaya pemerintah dalam penyaluran KUR tersebut yang mengalami peningkatan pembiayaan dari yang dulunya rendah, sekitar 10-11 persen saja, kini sudah mencapai 20 persen.

Kendati demikian, hal lain yang perlu diperhatikan pemerintah adalah masalah pendataan UMKM. Buruknya pendataan jumlah, lokasi, dan kondisi UMKM juga menjadi pemicu banyaknya UMKM yang tidak terwadahi secara baik.

“Mungkin bisa lebih memperbaiki koordinasi dan mendata UMKM secara lebih rinci agar benar bisa mewadahi dengan baik, karena jumlah yang tercatat sebanyak 65 juta UMKM itu masih banyak belum terdata dan datanya tidak diupdate,” pungkasnya.

Editor : Ramdha

I Luh Devi Sania

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: