Readtimes.id– Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor gas alam terbesar di dunia berdasarkan data World’s Top Exports. Namun ironinya masih melakukan impor LPG dalam jumlah besar. Tercatat pada 2020 impor mencapai 70 persen dari total kebutuhan LPG nasional.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi LPG pada 2020 malah naik 2,3% menjadi 7,96 juta metrik ton (MT) dari 7,78 juta MT pada 2019.
Peningkatan konsumsi LPG ini berdampak pada peningkatan impor pada 2020. Bahkan, impor LPG melonjak lebih besar dibandingkan persentase kenaikan konsumsi, yakni sekitar 9,5% menjadi 6,25 juta MT dari 5,71 juta MT pada 2019.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan impor LPG ini selain disebabkan konsumsi tinggi, gas bumi yang melimpah di Tanah Air secara teknis bersifat “dry” dan tidak sepenuhnya dapat diolah menjadi LPG.
“Suplai LPG kita memang kurang, karena secara teknis karakter gas yang kita produksi dry, kurang C3 dan C4,” kata Nicke dikutip dari Antara.
Sejalan dengan hal tersebut, Pengamat Ekonomi Energi dan Pertambangan Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi menyatakan LPG merupakan produk samping dari hasil pengolahan minyak dan gas bumi (migas). Saat ini, produksi dari hulu migas menurun.
“Hulu migas minyak kita produksinya menurun, maka zat produknya yang berupa LPG juga menurun sehingga harus impor untuk memenuhi konsumsi dalam negeri yang jumlahnya cukup besar,” jelasnya.
Hal ini yang menyebabkan jumlah produksi gas LPG juga menurun. Produksi LPG Indonesia saat ini sekitar 1,4 juta metrik ton per tahun, sementara kebutuhan LPG nasional sekitar 5 juta metrik ton per tahun.
Fahmy menjelaskan, gas alam yang berlimpah di Indonesia diproduksi menjadi Liquefied Natural Gas (LNG) yang dalam skala besar digunakan sebagai bahan bakar boiler, furnance dan pembangkit listrik di industri. Selain itu juga banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan sarana dan prasarana transportasi.
Pengembangan dan pemanfaatan LNG memerlukan infrastruktur yang lebih kompleks. Dari sisi hulu, pengembangan LNG tidak hanya memerlukan fasilitas produksi biasa, tetapi memerlukan kilang yang mampu mencairkan gas tersebut sampai suhu minus 150-200 C. Fasilitas pendingin dan tangki kriogenik ini membutuhkan investasi yang sangat besar.
Sementara di sisi hilir, pemanfaatan LNG memerlukan fasilitas untuk mengubah LNG menjadi gas kembali, yang disebut dengan LNG regasification terminal. Saat ini Indonesia baru memiliki satu fasilitas regasifikasi yaitu yang dioperasikan oleh PT Nusantara Regas di Teluk Jakarta.
Selain fasilitas regasifikasi, pemanfaatan gas yang dihasilkan juga memerlukan jaringan pipa untuk sampai ke konsumen. Dengan kebutuhan akan temperatur yang sangat rendah seperti ini, jelas LNG tidak bisa diedarkan dalam bentuk tabung-tabung layaknya LPG. Tetapi memerlukan fasilitas regasifikasi sekaligus sistem transportasi yang terintegrasi ke pengguna.
Upaya Pemerintah
Ke depannya untuk mengatasi impor dan kebutuhan akan LPG yang terus meningkat, pemerintah telah mulai melakukan beberapa upaya pengembangan energi untuk menggantikan LPG. Upaya-upaya ini menurut Fahmy akan memberi penghematannya cukup besar pada negara.
“Kalau ini berhasil kita tidak akan impor lagi jadi bisa menekan devisa,” ungkap Fahmy.
Pertama, menggunakan jaringan gas (Jargas) yang mengalirkan gas dari gas bumi ke rumah warga. Namun, untuk menyalurkan gas-gas tersebut membutuhkan pipa yang belum dapat menjangkau wilayah yang begitu besar, sehingga penggunaannya sebatas pada daerah yang menghasilkan gas bumi tersebut, seperti Jawa Timur dan Madura.
Upaya selanjutnya adalah pemerintah bersama PLN mengembangkan kompor listrik, namun saat ini kapasitasnya masih kecil dan belum mampu menggantikan sepenuhnya penggunaan LPG.
Upaya terbaru adalah Pertamina bekerja sama dengan perusahaan Amerika untuk mengubah batu bara menjadi gas dengan cara gasifikasi, mengubah bahan bakar padat (coal gasification) menjadi dimethyl ether (DME) atau hasil pemrosesan batubara berkalori rendah yang disiapkan untuk mengganti LPG. Cadangan batu bara Indonesia cukup besar, dengan potensi itu, batu bara diolah menjadi gas yang lebih ramah lingkungan.
Meski batu bara dianggap energi kotor dan sebagainya. Tapi dengan teknologi yang sedang dikembangkan, batu bara ini bisa bersih. Hasil penelitian Pertamina, DME kalau dibakar untuk memasak, karbon emisinya lebih rendah dari LPG.
Pertamina pun membuka diri dengan pakar pemilik teknologi yang sudah proven, untuk memproses ini.
Terkait harga gas hasil olahan batu bara ini, Fahmy memprediksi di awal mungkin harganya bisa lebih mahal karena investasi untuk teknologinya cukup tinggi sehingga pengeluaran juga cukup tinggi dan akan dibebankan pada harga jual. Saat perusahaan sudah bisa produksi dalam kapasitas normal misalnya, maka pada saat itu harganya akan turun.
“Sehingga perlu pengalihan subsidi dari LPG 3 Kg dialihkan ke gas batu bara agar harganya minimal sama. Kalau harga terus mahal tidak akan mudah untuk melakukan migrasi dari LPG ke gas hasil olahan batu bara,” jelas Fahmy.
Pemerintah sendiri menargetkan bisa menyetop impor LPG pada 2030. Target ini pun sudah masuk dalam Grand Strategy Energi Nasional.
Untuk mencapai target setop impor LPG, pemerintah akan melakukan berbagai upaya, di antaranya mengandalkan kilang-kilang migas yang sudah ada dan yang sedang dalam proses pembangunan. Potensi dari kilang-kilang tersebut mencapai 5.000 ton.
1 Komentar