Readtimes.id– Sejumlah startup (perusahaan rintisan) Tanah Air kini dihadapkan dengan situasi ekonomi sulit yang memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ratusan karyawan. PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) atau LinkAja dan Zenius Education belum lama ini melakukan PHK kepada sejumlah karyawannya. Gelombang PHK ini selain dipicu oleh faktor pendanaan, juga diduga akibat fenomena bubble burst.
Ekonom dan Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda mengatakan, startup yang PHK karyawan memang bermasalah pada pendanaan operasional. Ketika gagal mendapatkan pendanaan yang dibutuhkan, startup kewalahan hingga tidak bisa beroperasi normal. Akhirnya, PHK menjadi salah satu pilihan untuk mengurangi pendanaan.
“Ketika pendanaan sudah kelimpungan, mereka biasanya melakukan layoff kepada karyawannya untuk menghemat bujet. Model utama mereka yang masih bakar uang memang menjadikan mereka masih ketergantungan dengan pendanaan dari venture capital (VC) atau sumber pendanaan lainnya,” ungkap Huda.
Huda menilai pendanaan yang masuk ke startup di Indonesia ini semakin terbagi dan selektif, karena semakin banyak pula startup yang berkembang. Dengan demikian, peluang startup mendapatkan investor juga tak semudah sebelumnya. Perkembangan inilah yang akhirnya menyebabkan terjadinya fenomena bubble burst di kalangan startup Indonesia.
Selain itu adalah ledakan gelembung (bubble burst) terjadi ketika siklus ekonomi yang ditandai dengan nilai pasar naik sangat cepat, terutama pada harga aset. Inflasi yang cepat ini diikuti penurunan nilai yang cepat pula, atau biasa disebut kontraksi. Singkatnya, pertumbuhan ekonomi di sebuah startup ini terlalu tinggi, tetapi juga diiringi dengan kejatuhan yang relatif cepat.
Bubble burst terjadi oleh lonjakan harga aset yang didorong oleh perilaku pasar yang tinggi. Aset biasanya diperdagangkan pada harga atau dalam kisaran harga yang jauh melebihi nilai intrinsik aset. Dengan kata lain, harga tidak selaras dengan dasar aset.
Bubble burst terjadi setiap kali harga barang naik jauh di atas nilai riil barang tersebut. Fenomena ini biasanya dikaitkan dengan perubahan perilaku investor sehingga muncul ekspektasi yang berlebihan dari investor terhadap potensi startup dalam menghasilkan pendapatan jangka pendek.
Huda menerangkan, potensi bubble burst di startup cukup besar, apalagi yang memang masih mengandalkan pendanaan melalui VC. Selain itu, startup cukup berat untuk keluar dari ketergantungan terhadap VC, pasalnya operasional, insentif konsumen dan pendanaan lainnya berasal dari VC.
“Jadi kalau tidak ada pendanaan dari VC ya tersendat operasionalnya, akhirnya PHK besar-besaran,” jelas Huda.
Selain itu, VC juga mulai menunggu dan melihat perkembangan pasar modal akibat The Fed yang terus mengerek suku bunga acuan hingga akhir 2022. Hal itu berpotensi mempengaruhi Bank Indonesia (BI) dalam mengatur suku bunga acuan di Indonesia.
“Nampaknya The Fed juga melakukan kebijakan pengetatan uang yang paling tidak berpengaruh negatif ke beberapa perusahaan startup digital di Indonesia bahkan hampir seluruh dunia,” pungkasnya.
1 Komentar