“Kini, demokrasi kita mengalami serangan yang belum pernah terjadi, tidak pernah dilihat di masa modern”
Joe Biden
Petikan protes oleh Presiden terpilih Ke-46 Amerika Serikat itu, memiliki dua arti sekaligus. Pertama, Biden mengakui sendiri bahwa demokrasi ala Amerika yang senantiasa menjadi kebanggaan negeri Paman Sam itu ternyata tidak seelok apa yang mereka sombongkan selama ini sebagai negara kampiun percontohan demokrasi dunia.
Pada praktiknya, demokrasi bisa juga akan berakhir teror, seperti yang terjadi di Gedung Capitol, kantor parlemen AS, di Washington DC kemarin. Ketika dunia menyaksikan, massa pendukung Donal Trump masuk ke gedung parlemen, merusak dan menjarah berbagai barang layaknya kaum bar-bar yang beringas. Hanya karena alasan ingin membatalkan pengesahan bagi presiden terpilih.
Kedua, jika kita kaji serangan yang terjadi di gedung parlemen Amerika, sebenarnya merupakan implikasi dari kegilaan provokasi Donal Trump kepada massa pendukungnya bahwa telah terjadi kecurangan pemilu. Sejak sebelum waktu pemilu sampai pada pasca pemilu Amerika, berbagai upaya dilakukan Trump untuk menuduh proses dan hasil pemilu Amerika berlangsung dengan curang dan penuh rekayasa.
Bahkan Donal Trump, memaksa beberapa gubernur negara bagian yang menjadi pendukung Partai Republik untuk menolak hasil pemilu mereka, melakukan gugatan ke Mahkamah Agung, namun semuanya berujung kekalahan. Sampai akhirnya, Trump yang kalap memilih aksi massa untuk menekan parlemen Amerika untuk melakukan penolakan bagi pengesahan bagi Joe Biden dan Kamala Harris.
Lantas apa yang bisa kita pelajari dari peristiwa yang membuat kehebohan dunia kemarin?
Bagi saya, apa yang terjadi di gedung parlemen negara adidaya itu, membuktikan bahwa memang demokrasi tetap memiliki lubang hitam (black hole) yang mesti menjadi catatan serius bagi para penggiat demokrasi, ilmuwan dan peneliti politik, serta pengambil kebijakan di seluruh dunia menyangkut ‘kegilaan demokrasi populis’.
Orang-orang seperti Donal Trump, sebenarnya ada di banyak tempat dan banyak pemilu sampai pilkada di seluruh dunia. Mereka yang dalam sistem demokrasi dimungkinkan untuk masuk dalam kekuasaan politik, karena memiliki popularitas dan juga modalitas finansial, serta tentu saja punya naluri narsisme megalomania yang besar.
Tapi sosok-sosok seperti Donal Trump, selalu abai bahkan bisa jadi tidak paham akan esensi dari proses demokrasi itu sendiri, yakni ‘memilih dan menghadirkan orang yang akan melayani publik’. Mereka yang karena gagasan, ide dan kapasitas lalu dipilih dan dipercaya oleh dan untuk rakyat, menjadi pemimpin pemerintahan. Bukan sekedar karena alasan popularitas semata.
Saya akhirnya dibawa pada ingatan akan seruan Plato yang datang dari 360 Sebelum Masehi (SM) ‘Memang Negara harus diatur oleh sekelompok kecil orang-orang ahli yang paham akan Kebenaran’. Karena itulah, kita semua mesti memastikan para ahli juga tertarik untuk ikut dalam demokrasi populisme yang kini ada, sekaligus memastikan pendidikan politik bagi rakyat untuk memilih pemimpin karena pertimbangan kapasitas bukan sekedar popularitas atau lebih parah karena isi tas!
Agar, sistem demokrasi tidak lagi menghadirkan sosok-sosok gila seperti Trump lagi!
521 Komentar