Judul : Dilarang Membaca
Penulis : Anton Kurnia
Penerbit : Pustaka Merahitam
Tahun : Februari 2022
Tebal : viii + 106 halaman
Buku-buku asing yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, baik fiksi maupun non-fiksi, tidaklah ujug-ujug tersaji begitu saja untuk kita baca dengan lahap. Buku-buku sejenis itu telah melewati proses panjang: dipelajari teks sumbernya, dianalisa kesesuaiannya dengan langgam kultur bahasa sasaran, baru kemudian diterjemahkan dan disunting. Proses akhirnya buku-buku itu dicetak dan tiba pada kita.
Nah, pihak-pihak yang berpeluh keringat dan pikiran mengerjakan semua proses panjang itu adalah para penerjemah. Sayang sekali, keberadaan mereka jarang dibicarakan dan diperhatikan. Untuk itu, pada 30 September ini yang diperingati sebagai Hari Penerjemahan Sedunia, perlulah kiranya kita memberikan penghargaan atas upaya keras mereka menghadirkan bacaan terjemahan yang berkualitas untuk kita.
Tema penerjemahan karya asing, khususnya karya sastra, ke dalam bahasa Indonesia menjadi bahan ulikan dalam beberapa esai Anton Kurnia dalam buku Kumpulan esainya, “Dilarang Membaca”. Ditulis dengan gaya bahasa yang cukup luwes dan sederhana, 15 esai di dalam buku ini akan menyadarkan kita betapa pentingnya profesi penerjemah dalam menghantarkan kita pada pengenalan budaya dan tradisi dari berbagai belahan dunia.
Anton memang tidak hendak menjadikan tulisan-tulisannya, khususnya menyangkut dunia penerjemahan sastra, menjadi semacam buku teks sumber bagaimana tips-tips menerjemahkan dengan baik (setahu saya dia punya buku lain soal itu). Namun, dia cenderung membawa kita pada irisan aspek sosial dan politik kaitannya dengan (terjemahan) karya-karya sastra.
Misalnya, Anton dengan ringkas dan padat membawa kita kembali sejarah sastra Indonesia, dianalisis dengan perspektif kritis, dan menariknya tak jarang dia menawarkan usulan-usulan konkrit terkait masalah yang disajikan. Ia dengan baik membincang peran sastrawan kiri yang terlupakan (baca khususnya 5 esai dalam bagian Sastra dan Kuasa: “Orang-orang Terbuang”, “Sumbangan Sastrawan Eksil”, “Sastra dan Kecamuk Politik”, dan dua esai sisanya), pengarang-pengarang besar sastra Indonesia yang memberi sumbangsih besar pada perkembangan sastra (baca 5 esai dalam bagian Sosok dan Tokoh: “Indonesia, Buku, Pramoedya”, Wiji Thukul Tak Pernah Mati”, dan tiga esai sisanya), dan geliat sastra dunia beserta perjuangan sastra Indonesia sendiri untuk bisa bermain di antaranya (baca 5 esai dalam bagian Sastra Indonesia dan Pentas Dunia).
Pada intinya, masalah pokok yang mengikat seluruh esai dalam buku “Dilarang Membaca” ini adalah sekelumit permasalahan dunia sastra (sastra dunia dan khususnya sastra Indonesia). Menurut Anton, karya-karya sastra dunia sudah cukup memadai dibaca dan dipelajari oleh pembaca Indonesia. Tapi sebaliknya, karya-karya sastra Indonesia belum cukup gaung untuk dibaca dan dikenali di pentas dunia.
Mengapa demikian? Ya tentu masalahnya ada pada upaya yang belum massif menerjemahkan karya-karya sastra kita sendiri ke dalam bahasa asing. Tentu saja sekarang ini ada hal yang menggembirakan, seperti Eka Kurniawan sastrawan yang karya-karyanya seperti “Cantik Itu Luka” dan “Lelaki Harimau”—untuk menyebut beberapa saja—telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing. Atau karya-karya Andrea Hirata penulis “Laskar Pelangi” yang fenomenal itu yang diterjemahkan pula ke berbagai bahasa asing. Dan beberapa penulis lainnya.
Namun demikian, upaya itu dianggap oleh Anton Kurnia belum benar-benar menjadikan Indonesia sejajar dengan karya-karya sastra asing khususnya yang berbahasa Inggris. Anton sendiri adalah penerjemah karya-karya asing berbahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Sehingga dengan begitu ia fokus dalam esai-esainya menyoal dan menawarkan usulan-usulan berharga agar bagaimana karya-karya sastra dunia dan Indonesia dapat sama imbangnya dalam konteks penerjemahan.
Anton menyarankan agar perhatian jangka panjangnya adalah pada geliat lembaga penerjemahan di Indonesia. Lembaga ini, kata Anton dalam “Sastra Indonesia di Tepi Pentas Dunia”, akan membantu dan memperbaiki kualitas para penerjemah kita. Lembaga ini akan menyediakan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan para penerjemah dalam menghasilkan hasil terjemahan yang berkualitas ke hadapan pembaca Indonesia.
Dengan penuh optimisme Anton menutup esainya itu dengan kata-kata seperti ini:
“Kita memerlukan komitmen dan upaya-upaya jangka panjang yang lebih sistematis dan terpadu untuk menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya terbaik kita dalam bahasa asing. Semua itu akan menjadi sumbangan kita bagi dunia serta membuka jendela bagi terciptanya dialog antarbudaya tanpa perlu terhalang oleh sekat-sekat perbedaan bangsa dan bahasa.”
Selamat Hari Penerjemahan Sedunia. Jayalah para penerjemah (sastra) Indonesia!
370 Komentar