Readtimes.id– Seorang mahasiswi dengan disabilitas di Universitas Hasanuddin menyampaikan keluhan. Di perpustakaan, ada beberapa ruang khusus tertutup, salah satunya adalah Braille Corner. Di ruang ini, mahasiswi netra ini sesekali datang, membaca buku-buku beraksara braille. Ia khawatir mengenai keamanan dan kenyamanan dirinya.
Sebagai perempuan dan disabilitas netra, ia memiliki kerentanan, khususnya ketika berada di ruang tertutup. Ia tidak bisa melihat dan mengetahui siapa saja atau apakah ada orang atau tidak di ruangan. Ia memiliki seorang pendamping disabilitas, namun pada kondisi tertentu ia akan sendiri dan melakukan aktivitas membaca secara mandiri.
Ia pernah bilang, di ruangan seperti ini, akan terasa aman jika ada CCTV. Jika terjadi sesuatu yang berkaitan dengan pelecehan, baik berdasarkan disabilitas maupun seksualitas maka akan mudah diketahui kejadian dan pelakunya.
Dalam konteks keamanan bagi mahasiswa dengan dua atau lebih identitas yang keduanya rentan inilah yang ingin disuarakan lewat tulisan ini. Yakni bagaimana mendesain kampus sebagai lembaga pendidikan yang berperspektif seksualitas dan disabilitas sekaligus. Gagasan dalam tulisan ini berupaya menghadirkan aspek interkoneksi di satu sisi dan interseksionalitas di sisi lain.
Seksualitas dan Disabilitas
Memahami interkoneksi antara seksualitas dan disabilitas dapat mengantar kita pada pemahaman yang lebih komprehensif mengenai fenomena seksualitas dan disabilitas di kampus. Seks merupakan jenis kelamin, seksual merupakan aktivitas seks baik fisik maupun non-fisik, dan seksualitas mencakup dimensi sensualitas, keintiman, identitas seksual, kesehatan dan reproduksi seksual, serta seksualisasi.
Sementara disabilitas dipahami sebagai hasil interaksi antara orang dengan impairment atau deformitas pada organ dan sikap serta lingkungan yang menghambat partisipasi mereka. Mahasiswi dengan disabilitas di atas, merupakan satu individu dengan lebih dua identitas yang melekat: perempuan, disabilitas, dan mahasiswi.
Membincangkan seksualitas bagi banyak orang, terutama mahasiswa mayoritas masih tabu. Pun demikian mempelajari disabilitas masih terbatas. Namun mengingat kampus merupakan tempat belajar, maka penting ada lingkungan pembelajaran seksualitas dan disabilitas agar civitas academika khususnya yang rentan bisa memahami apa dan bagaimana ia dalam berbagai sektor.
Lingkaran Seksualitas
Sensualitas merupakan kesadaran, penerimaan dan kenyamanan akan tubuh sendiri, kenikmatan fisiologis dan psikologis dari tubuh sendiri maupun tubuh orang lain dalam hal ini pasangan. Sementara itu, keintiman merupakan kemampuan dan kebutuhan untuk mengalami kedekatan emosional dengan orang lain dan menerima keintiman.
Memahami seksualitas juga membawa kita mengerti apa itu identitas seksual yang berarti ‘merasa diri sebagai siapa secara seksual, seperti rasa kelelakian atau rasa keperempuanan. Dalam konteks ini, pada kondisi atau situasi tertentu, kita dapat masuk ke lingkungan dengan orientasi seksual dan identitas gender yang beragam.
Selain mengenai identitas seksual dan gender itu, memahami seksualitas juga membawa kita mempelajari kesehatan dan reproduksi seksual. Bagian mempelajari hal ini merupakan upaya kita memahami adanya sikap dan perilaku yang berhubungan dengan melahirkan anak, perawatan dan pemeliharaan alat kelamin dan organ reproduksi, serta akibat kesehatan dari perilaku seksual.
Di kampus, jika pun membahas soal seksualitas, lebih banyak pada aspek seksualisasi yang terkait dengan hukum, politik, dan budaya. Upaya-upaya kelembagaan kampus mengatur anggota komunitas akademik agar tidak menggunakan seksualitas untuk mengambil untung dan merugikan orang lain merupakan konsentrasi pada aspek ini.
Mengalami disabilitas juga menambah kerentanan seseorang. Kampus dengan minim perspektif disabilitas akan membuat mahasiswa atau dosen dengan disabilitas menjadi lebih rentan merugi atau dirugikan. Cara pandang yang menganggap orang disabilitas sebagai orang tidak mampu, sakit, dan orang yang layak dikasihani membuat sebuah kampus menolak menerima difabel, menyangsikan kemampuan mereka, dan berdasarkan prasangka memberikan pintu tertutup bagi orang disabilitas menikmati haknya atas pendidikan di perguruan tinggi.
Untuk itu, dalam konteks pembelajaran disabilitas di kampus, penting mengetahui beberapa model memahami disabilitas, seperti ‘model medis’ yang memandang disabilitas sebagai masalah individu dan ‘model sosial’ yang menekankan pada adanya beragam hambatan lingkungan serta sikap masyarakat yang bisa merentankan difabel. Pemahaman terhadap model-model ini penting untuk merancang lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas.
Jika konteks disabilitas dan seksualitas ini bertemu dengan relasi kuasa, antara misalnya mahasiswa perempuan dengan disabilitas dengan mahasiswa non-disabilitas dan laki-laki, dalam alam berpikir patriarkis, maka potensi yang dominan merentankan yang lain yang marjinal dapat terjadi sehingga membuat anggota-anggota masyarakat akademik dengan identitas kewargaan yang rentan berpotensi mengalami marjinalisasi, pelecehan, bahkan diskriminasi.
Dengan memahami interkoneksi dan interseksional antara seksualitas dan disabilitas, serta merancang strategi yang komprehensif, diharapkan kampus dapat menjadi lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan inklusif bagi seluruh mahasiswa, termasuk mereka yang memiliki identitas majemuk sebagai penyandang disabilitas.
Beberapa upaya dapat dilakukan, seperti menghidupkan kajian seksualitas dan disabilitas bagi civitas akademika, membentuk pusat layanan disabilitas dan seksualitas di kampus, membentuk tim advokasi atau komisi disiplin dalam menangani perlakuan ableist dan seksualist di kampus, serta menyiapkan rencana jangka menengah untuk membangun kampus yang inklusif berperspektif disabilitas dan seksualitas.
Ishak Salim
Kepala Pusat Disabilitas Universitas Hasanuddin
Dosen Departemen Ilmu Administrasi Universitas Hasanuddin
Tambahkan Komentar