“Kemiskinan yang hampir dua kali lipat dari rata-rata nasional, ketertinggalan infrastruktur, perhatian bagi kesejahteraan petani dan nelayan, reformasi birokrasi dan kerusakan lingkungan akibat pertambangan yang tidak terkontrol adalah agenda perubahan dan perang yang harus dituntaskan, tapi masih banyak yang tidak ingin perubahan itu terjadi di kabupaten Donggala !”
-Rahmad M. Arsyad-
Saya menyadari betul, politik memang butuh kompromi dan negosiasi apalagi dalam momentum perebutan tiket menuju pemilihan kepala daerah, negosiasi elit partai politik menjadi kemestian yang tidak bisa ditolak. Karena bagaimanapun, tiket untuk menuju kontestasi politik selain jalur perseorangan mesti melalui jalur dukungan partai politik.
Sebagai orang yang mengajukan diri sebagai kandidat Bupati Donggala saya pun melakukan hal yang sama dengan keyakinan politik memang adalah seni kemungkinan maka segala kemungkinan koalisi partai politik tetap saya jejaki sampai saat ini. Karena negosiasi dan kompromi adalah jalan membangun kesepakatan politik, termasuk hitung menghitung soal biaya pergerakan politik atau dalam bahasa keren cost politik.
Saya sangat sadar dalam kontestasi politik ada lima elemen kunci yang mesti dimiliki oleh setiap calon kepala daerah. Yakni, Kapasitas, Integritas, Popularitas, Elektabilitas dan terakhir Isi tas. lima indikator tersebut selama ini menjadi indikator politik yang tidak bisa ditolak, namun dari apa yang saya temui ternyata empat faktor lain cenderung diabaikan dalam arena seleksi pemilihan kepala daerah serentak yang ada di depan mata, segelintir elit penentu lebih menekankan pada semata-mata ISI TAS!
Formulasi yang lebih menekankan isi tas yang ter framing dalam kepala elit-elit penentu ini akan punya konsekuensi besar bagi kepentingan publik masa akan datang. Setidaknya dengan mengabaikan empat hal lain, maka akan ada empat konsekuensi yang dihadapi oleh daerah yang akan ditanggung oleh masyarakat akibat ulah elit-elit penentu tersebut.
Pertama, akan melahirkan calon kepala daerah ‘tanpa isi kepala’ karena dalam proses seleksi yang ada kemampuan seorang figur untuk mengembangkan daerah dan menyelesaikan persoalan menjadi terabaikan. Karena itu jangan berharap, kita bisa melahirkan pemimpin yang mampu menyelesaikan persoalan daerah.
Pada konteks lokal Donggala misalnya, jika elit-elit penentu parpol hanya terus berpikir berapa berat isi tas calon kepala daerah, tidak heran jika akhirnya dosa melahirkan pemimpin tanpa isi kepala yang tidak memiliki gagasan apapun dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan, keberpihakan pada petani, nelayan dan berbagai isu lingkungan akibat eksploitasi sumberdaya daerah akan terjadi.
Kedua, konsekuensi memilih calon kepala daerah tanpa popularitas dan basis elektabilitas yang jelas akan melahirkan pemimpin daerah yang tidak mengenali daerahnya. Tidak tahu bagaimana keringat rakyat dan telapak tangan rakyat yang setiap hari mesti berjuang bagi kehidupan mereka. Model pemimpin elit seperti ini, hanya menjadikan rakyat sebagai bilangan angka dan harga, layaknya membeli sayur di pasar.
Ketiga, pemimpin tanpa integritas. Kita semua sadar, sedang hidup dalam alam pragmatisme banyak proses negosiasi yang dibutuhkan dalam modalitas politik. Tapi pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak boleh terbeli oleh kepentingan satu atau dua orang saja, karena tugas kepala daerah harusnya berfokus untuk menjadi pelayan bagi semua.
Persoalan integritas bukanlah persoalan main-main karena ini berhubungan dengan tanggung jawab akan amanah yang diberikan. Jika persoalan integritas tidak menjadi ukuran seleksi kepemimpinan tidak heran akhirnya, kita hanya akan melahirkan pemimpin yang merasa uang negara layaknya dana pribadi mereka, menjadikan APBD
bukan menjadi Anggaran Pembelanjaan Daerah namun menjadi Anggaran Pembelanjaan Dapur pejabat.
Empat, pembiayaan politik. Memang politik butuh modalitas, dana kampanye, saksi dan berbagai hal teknis lainya. Tapi pemilihan kepala daerah, bukan pasar lelang barang antik dimana mereka yang punya penawaran tertinggi yang akan mendapatkan tiket pertarungan. Karena jika seperti ini yang akan terjadi kita hanya akan melahirkan pemimpin yang akan menjual daerah dan rakyat, layaknya barang antik untuk dimiliki dan kegemaran segelintir orang.
Naudzubillah, semoga itu tidak terjadi dan agenda perubahan yakni perang melawan kemiskinan, perang bagi ketertinggalan kehidupan petani dan nelayan, serta perbaikan kualitas sumberdaya manusia dan agenda reformasi birokrasi dan percepatan infrastruktur daerah bagi kampung halaman bisa terjadi, dan semua elit penentu partai sudah waktunya punya nurani untuk memilih siapapun yang punya kualifikasi lebih baik dan bukan sekedar mengandalkan penawaran tertinggi dan ISI TAS saja!
Tambahkan Komentar