Judul : Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : Agustus 2024
Tebal : 133 halaman
Penggemar anak-anak ruhani Eka Kurniawan kini bisa berbahagia, setelah delapan tahun penantian akhirnya sastrawan sohor Indonesia itu kini melahirkan anak bengal dan bajingan bernama Sato Reang. Kisah hidup Sato Reang yang diberi judul “Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong” itu menawarkan nuansa baru dibandingkan anak-anak ruhani Eka yang lain.
“Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong” merupakan novel ringkas—hanya 133 halaman—yang sesungguhnya dapat dibaca sekali duduk. Namun demikian, sisa-sisa keliaran dan kebengalannya akan bergema panjang seusai menuntaskannya. Ya, Eka Kurniawan memang sastrawan sohor. Jam terbang Eka yang merentang panjang tak akan mengkhianati kualitas karyanya.
Bagi pembaca karya-karya Eka Kurniawan yang suntuk barangkali akan mudah menandai dua hal menarik dalam narasinya: keliaran dan kebengalan tokoh-tokohnya; dan sudut pandang yang unik.
Untuk yang pertama, keliaran dan kebengalan, merujuk pada tokoh utamanya Sato Reang yang tidak mau menjadi anak saleh. Tokoh kita ini berusaha menghindari sembahyang, menghindari surau, dan semua hal yang akan menuntun dia pada ritual-ritual agama. ‘Pemberontakan’ ini muncul saat dia baru saja dikhitan atau disunat, dan ayahnya mulai menuntut dia tidak meninggalkan salat lima waktu, meninggalkan pekerjaan yang tak ada kaitannya dengan ibadah agama—intinya dia dituntut untuk menjadi anak saleh.
Untuk yang kedua, soal sudut pandang yang unik, menarik untuk diikuti. Untuk saat ini, saya merasa sebetulnya ini sudut pandang orang pertama. Tapi apa tujuan Eka Kurniawan membuat si Sato Reang, tokoh utama kita ini, kadang bercerita menggunakan kata “aku”, tapi sewaktu-waktu menyebut namanya sendiri sehingga ada kesan ini adalah sekaligus sudut pandang orang ketiga. Barangkali ada tujuan besarnya mengapa pola ini dipakai.
Kesenangan-kesenangan Sato Reang semasa bocah sering kali direspons secara kejam dan otoriter oleh ayahnya. Misalnya, ketika dia mengabaikan shalat hanya demi bermain bola, ayahnya datang dan membelah bola tersebut dengan golok. Atau ketika ayahnya mengajak Sato Reang bersama ibu dan adiknya pergi piknik, namun rupanya dia malah diajak pergi ke acara pengajian seorang tokoh agama yang nantinya di akhir cerita justru ditangkap aparat karena mengajarkan orang-orang anti Pancasila tidak menganjurkan hormat bendera merah putih.
Cara ayah Sato Reang mengajarkan kesalehan berdampak pada tumbuhnya semacam dendam dan sikap yang justru kontraproduktif dengan yang diinginkan ayahnya: Sato Reang malah jadi membenci ayahnya dan mengikrarkan dirinya untuk tidak akan menjadi anak saleh. Jika ada kesempatan untuk dia tidak menunaikan salat, dia akan lakukan.
Dendam pada ayahnya dan ikrar untuk tidak akan menjadi anak saleh semakin menemukan kerannya untuk mengalir deras selepas ayahnya meninggal dunia. Meskipun masih tetap dibayang-bayangi oleh aturan ayahnya dan orang-orang di lingkungannya yang masih sering mengaitkan dia dengan ayahnya, setidaknya Sato Reang tidak lagi dikuntit oleh ayahnya tiap kali dia lalai menunaikan ibadah. Dia bebas sebebasnya, seliar-liarnya, sebajingan-bajingannya: keliling ke berbagai tempat, kencing di sembarang tempat, dengan sengaja mengencingi buah-buahan yang dijual orang di pasar, dan sebagainya.
Kalau boleh kita rangkum, “Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong” ini berkisah tentang kisah Sato Reang, seorang anak yang mendapatkan perlakuan keras dan acapkali kasar dari ayahnya yang menuntut dia menjadi anak saleh. Peristiwa-peristiwa yang muncul di dalam cerita Sato Reang adalah realitas yang meyakitkan baginya—dia kehilangan kebebasan dan kemerdekaan.
Namun di luar peristiwa-peristiwa yang dihadapi Sato Reang, kenikmatan membaca Eka Kurniawan sebetulnya adalah pada model sudut pandang yang digunakan. Telah disebutkan sebelumnya bahwa “Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong” ini menggunakan sudut pandang aku sekaligus orang ketiga, Eka menawarkan sebuah eksprerimen yang akan berdampak pada nuansa narasinya.
Saya rasa, soal bentuk narasi kadang lebih dominan menarik kita ke dalam cerita dibandingkan isi ceritanya sendiri. Kisah Sato Reang, secara alur peristiwa, tidaklah rumit. Yang rumit sekaligus nikmat adalah pembangunan karakter tokohnya sendiri yakni si Sato Reang ini yang diceritakan dari sudut pandang aku dan orang ketiga sekaligus—yang kadang mengacaukan sekaligus membuat kita termenung.
Ada permainan rima, dan pola deskripsi khas Eka di dalam “Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong” ini. Mari kita kutip satu paragraf secara utuh di sini:
“Seperti kebanyakan bocil, tentu jauh sebelum ini aku pergi ke masjid dan belajar sembahyang serta mengaji. Kenapa? Karena ayahku juga pergi ke masjid dan belajar sembahyang serta mengaji. Karena kakekku pergi ke masjid dan belajar sembahyang serta mengaji. Karena kakek buyutku juga pernah ke masjid dan belajar sembahyang serta mengaji. Konon terus begitu, terentang dari ayah kakek buyutku, ke kakek kakek buyutku, kakek buyut kakek buyutku, hingga mentok dan berhenti di Nabi Adam. Semua pergi ke masjid dan belajar sembahyang serta mengaji.”
Banyak pengulas mengatakan bahwa Eka memang ahlinya bercerita sevara picaresque, yang berasal dari bahasa Spanyol, picaresca atau picaro, artinya adalah nakal atau bajingan. Ciri-ciri narasi model picaresque adalah sudut pandangnya yang berupa orang pertama, berasal dari kelas sosial rendah, tokoh utamanya mengambil keputusan yang menjurus ke tindakan amoral dan tak sesuai hukum normatif masyarakat. Nah, Sato Reang persis seperti itu—picaresque. Akibat dendam yang dalam dan keinginan tak ingin menjadi anak saleh, dia kadang ingin membakar sekolahnya, bahkan pernah membakar layar yang digunakan pada bioskop, melakukan tindakan-tindakan tidak senonoh seperti kencing di sembarang tempat.
Pengalaman-pengalaman membaca narasi liar seperti “Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong” ini akan memberi efek menarik bagi kita. Ya, seperti mendengarkan curhatan bebas seorang bajingan, yang barangkali akan membuat kita tersadar bahwa terkadang seseorang berbuat hal yang bajingan justru karena otoriter dan tidak bijaksananya masyarakat itu sendiri.
Tambahkan Komentar