Judul : Kumpulan Pidato Nobel Sastra
Penerjemah : Nanda Akbar Ariefianto
Penerbit : Circa
Tahun Terbit : Oktober 2019
Tebal : vii + 178 hlm
Menyimak pidato beberapa penulis atau sastrawan penerima Nobel Sastra seperti mendengarkan suara-suara kecil, lirih, dan terkadang meyedihkan dalam arus sejarah kemanusiaan. Penulis sastra memang dielu-elukan, namun sesungguhnya di belakang karya-karyanya tersimpan kisah haru-biru dan tragis penulisnya sendiri.
Begitulah kesan kuat yang akan muncul jika membaca buku “Pidato Penerima Nobel Sastra 2012—2017.” Para penerima hadiah Nobel Sastra ini berasal dari negara, bangsa, dan lingkungan sosial yang berbeda. Mereka adalah Mo Yan (2012), Alice Munro (2013), Patrik Modiano (2014), Svetlana Alexievich (2015), Bob Dylan (2016), dan Kazuo Ishiguro (2017).
Ada benang merah dalam pidato-pidato mereka. Dalam pidato mereka, jelas bahwa kenangan masa kecil, ingatan pada kampung halaman, trauma karena tragedi atau perang, upaya mencari makna, menjadi tema sentral yang melingkupi karya-karya sastra mereka.
Kesan lainnya adalah bahwa bagaimana pun seorang sastrawan menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok tertentu, namun ia tetap setia pada kata nurani untuk menyuarakan suara-suara kecil yang terbungkam. Batin terdalam kemanusiaan menjadi garapan sastra, itu yang mereka buktikan.
Mo Yan, penulis asal China, dalam pidatonya mengisahkan masa kecilnya, penghormatan pada ibunya, penderitaan keluarganya pada masa Revolusi Kebudayaan. Penulis Red Shorgum ini memang kerap kali menjadikan kehidupan keluarganya sendiri dan masyarakat di lingkungannya sebagai pusat cerita karya-karya sastranya.
Alice Munro, perempuan yang tinggal di sebuah kota kecil di Kanada, hidup dalam lingkungan kelas pekerja. Ia mengatakan dalam wawancaranya (pidato in absentia), bagaimana ide cerita mengisi hari-hari masa kecilnya. Alice Munro hanya menulis cerita pendek, dan mungkin bisa dikatakan dia adalah penulis perempuan penerima nobel sastra spesialis penulis cerita pendek. Bukunya yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia adalah “Dear Life”, dan “Hateship, Friendship, Courtship, Loveship, Marriage”. Buku-bukunya sangat digandrungi oleh pembaca perempuan muda.
Patrick Modiano penulis Prancis. Dia menulis novel yang kerap mengangkat tema memori, lupa, identitas, dan rasa bersalah. Tema ini pula yang ia ulas dalam pidato penerimaan Nobel Sastra-nya. Dia menjadikan Paris sebagai latar penting dalam cerita-ceritanya. Barangkali baik nama penulis sendiri mau pun karya-karyanya belum akrab bagi pembaca sastra di Indonesia. Tapi sebagai referensi, Patrick Modiano menulis buku “La Place de l’Etoile (The Star’s Place, 1968), “Le Boulevards de ceinture (Ring Road, 1972), dan lain-lain.
Svetlana Alexievich adalah penulis perempuan kelahiran Ukraina. Ia mengawali pidatonya dengan mendedahkan kisah para perempuan yang menunggu suami mereka pulang dari perang. Selanjutnya mengalir kisah manusia Rusia dan kritik pada rezim Uni Soviet. Karena kritik-kritiknya ini ia sering kali harus mengungsi dan tinggal di luar negeri.
Bob Dylan sesungguhnya lebih masyhur sebagai musisi. Namun ia diganjar pula dengan penghargaan Nobel Sastra. Penghargaan ini sempat mengundang pembicaraan hangat pada tahun 2016. “Saat pertama menerima Hadiah Nobel Sastra ini aku sesungguhnya bertanya-tanya, bagaimana bisa lagu-laguku bertalian dengan sastra? Aku ingin melakukan refleksi dan mencoba melihat di mana letak keterkaitannya.” Begitu dia mengawali pidatonya. Rupanya Dylan memang pembaca sastra yang tekun. Dia tegas mengaku bahwa karya-karya sastra mempengaruhi lirik-liriknya. Dia berbagi kisah pembacaannya atas tiga karya sastra—“Moby Dick”, All Quiet on the Western Front”, dan “The Odyssey”.
Kazuo Ishiguro sastrawan yang memiliki identitas yang unik. Dia kelahiran Jepang, namun sejak usia enam tahun hingga seterusnya tinggal di Kanada mengikuti bapaknya yang bekerja sebagai ahli kelautan (oseanografi). Namun demikian, sebagian besar karya sastranya berlatar Jepang, ada tegangan antara upaya mengingat dan melupakan—sebagaimana dikatakannya di akhir-akhir pidatonya. Akar dan identitas menjadi tema yang kerap ngendon di dalam karya-karyanya.
Keenam penerima Nobel Sastra tersebut memang layak menerima Hadiah Nobel Sastra. Mereka memberi cermin kepada kita untuk melihat wajah dan watak kita sendiri—wajah kemanusiaan kita, watak paradoks kita yang berperang antara baik dan buruk.
Dedy Ahmad Hermansyah. Peneliti lepas dan pustakawan di Komunitas Teman Baca, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
2 Komentar