RT - readtimes.id

De-radikalisasi atau Re-radikalisasi : Tantangan Penanganan Terorisme

Tindakan radikalisme dan terorisme masih menjadi tantangan utama penanganan keamanan Pemerintah Indonesia. Dua peristiwa terakhir yang terkait kegiatan terorisme yaitu serangan bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar pada tanggal 28 Maret 2021 dan serangan penembakan di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia menunjukkan menguatnya kembali jaringan kelompok terorisme di Indonesia.

Penangkapan dan intensifikasi proses hukum pelaku terorisme dan berbagai upaya pelemahan kelompok jaringan mereka justru tidak melemahkan kelompok terorisme di Indonesia. Selain itu, tindakan terorisme yang terjadi dalam sebulan terakhir ini terkait dengan mantan narapidana terorisme (napiter)[1].

Keterlibatan napiter dalam menguatkan kembali jaringan terorisme menunjukkan lemahnya program de-radikalisasi yang dilakukan Pemerintah. Alih-alih melemahkan nilai radikalisme para napiter, yang terjadi justru napiter mengalami re-radikalisasi. Institute for Policy Analyisis of Conflict (IPAC) (2020)[2] yang mengindikasikan menguatnya jaringan terorisme selama penyebaran COVID 19 dan lemahnya program de-radikalisasi yang dilakukan pemerintah. Dalam studinya IPAC mengklaim bahwa 11 persen dari para mantan napiter kembali menjadi pelaku terorisme[3]. IPAC kemudian merekomendasikan pelibatan komunitas dalam program de-radikalisasi.

Hal ini senada dengan pengakuan salah seorang mantan napiter yang menganggap bahwa organisasi komunitas justru lebih berperan dalam mendukung upaya transformasi mereka dan kembali ke masyarakat[4].

Berangkat dari fenomena tersebut, Puslitbang Perdamaian, Konflik dan Demokrasi (Centre for Peace, Conflict and Democracy) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Hasanuddin bekerjasama dengan SDGs Center Universitas Hasanuddin mengadakan Peace & Democracy Colloquium  bertajuk “De-Radikalisasi VS Re-Radikalisasi: Mengurai Benang Kusut Penanganan Terorisme” yang bertujuan untuk memberikan perspektif mengenai pendekatan deradikalisasi yang melibatkan masyarakat.

Diskusi online dilakukan pada Hari Senin/12 April 2021 pukul 13:30-15:30 WITA dengan aplikasi Zoom. CPCD mengundang empat narasumber utama yaitu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA (Guru Besar Sosiologi Konflik dan CPCD Senior Researcher), Lian Gogali  (Institute Sintuwu dan Sekolah Perdamaian Perempuan, Poso), dan Beni Mukadis (Peneliti Intelijen dan Keamanan) dan moderator Agussalim Burhanuddin, S.IP, MIRAP (Peneliti CPCD dan Dosen Hubungan Internasional).

Beni Mukadis menyampaikan bahwa Indonesia berada pada posisi ketiga di ASEAN sebagai negara yang rawan terorisme setelah Thailand dan Filipina. Trend aktivitas terorisme 2011-2020 mengalami penurunan dibanding periode 2001-2010. Meskipun terorisme di Indonesia mengalami penurunan, program deradikalisasi tidak maksimal ditandai dengan kembalinya aksi terorisme yang dilakukan oleh eks-napiter atau keluarga dari napiter. Sistem deradikalisasi yang diterapkan di dalam tahanan tidak efektif.

Deradikalisasi success rate-pendekatan penjara hanya 30 persen. Atau sekitar 30 persen yang mantan napiter keluar dari penjara tidak mengalami re-engagement, balik lagi atau fenomena residivisme. Untuk itu, Beni menyarankan petugas lembaga pemasyarakatan diberi keterampilam khusus dalam upaya deradikalisasi napiter karena mereka memiliki waktu lebih lama berinteraksi dengan mereka. Selain itu, Beni menggaris bawahi pendekatan psikologi dan dukungan penguatan ekonomi berbasis masyarakat juga jauh lebih penting untuk menjauhkan para napiter dari jaringan ideologi radikalisme terorismenya.

Lebih lanjut Prof Dwia menganalisis fenomena perubahan tindakan terorisme di Indonesia dalam decade terakhir. Pertama, terjadi perubahan trend aksi terorisme dari aksi dengan target simbol-simbol Barat, seperti bom Bali, bom Hotel JW Marriot, dan bom Kedutaan Besar di Jakarta pada periode 2001-2010, menjadi aksi serangan bom dengan menyasar target sipil dan aparat keamanan serta tempat ibadah pada periode 2011-2021.

Kedua, Prof Dwia menilai bahwa terjadi perubahan trend jaringan terorisme yang sebelumnya berbasis jaringan ( networked terrorist) menjadi pelaku individual terrorist pada dekade terakhir. Untuk itu, penanganan terorisme dan radikalisme perlu melibatkan pendekatan berbasis komunitas dan nilai-nilai yang bersifat simpatik, seperti model “mosaic of engagement.” Hal ini disebabkan karena pentingnya membangun lingkungan pendukung atau enabling environment berbasis komunitas karena faktor lingkungan sebagai domain utama yang mempengaruhi deradikalisasi, selain faktor hukum, ekonomi, dan agama.

Narasumber ketiga, Lian Gogali, kemudian membagikan pengalamannya dalam peran perempuan untuk mendukung de-radikalisasi di Poso melalui Sekolah Perdamaian Perempuan di Musintuwu Institute. Lian yang sejak paruh pertengahan 2000an banyak bekerja dalam membangun kembali kepercayaan sosial di masyarakat pasca konflik Poso dan fokus pada perempuan dan anak. Lian memberikan ilustrasi tentang kisah personal perempuan dalam menghubungkan masyarakat dengan latar agama berbeda dalam ruang-ruang sosial sehingga terbentuk empati dan kepercayaan. Untuk itu, Lian mendorong pentingnya narasi-narasi alternatif yang produktif tentang masyarakat pasca konflik yang tidak mengedepankan kisah konflik dan kekerasan pada anak-anak di Poso. Lian juga menyarankan pentingnya dialog saling terbuka dengan saling mengunjungi antara komunitas yang berbeda sehingga tercipta kolaborasi dan solidaritas sosial.

Diskusi dihadiri 130 peserta dari berbagai daerah di Indonesia baik mahasiswa, dosen, peneliti dan pemerintah, serta aktivis komunitas. Sesi diskusi melibatkan peserta dari Makassar, Lampung sampai Belanda untuk memberikan pertanyaan dan argumen tambahan mengenai penanganan terorisme di Indonesia. Diskusi ditutup dengan harapan penanganan terorisme dalam memberi ruang lebih besar untuk mendorong lingkungan pendukung berbasis komunitas dan memberikan dukungan psikologi dan ekonomi serta sosial kepada napiter dan keluarganya supaya proses de-radikalisasi berjalan lebih efektif dan menutup peluang terjadinya re-radikalisasi.


[1] https://nasional.tempo.co/read/1447323/pasutri-bom-bunuh-diri-di-katedral-makassar-dinikahkan-pentolan-jad/full&view=ok

[2] http://file.understandingconflict.org/file/2020/04/Covid_19_and_MIT.pdf

[3] https://www.benarnews.org/english/news/indonesian/200904-ID-terrorism-recividism-09042020194441.html

[4] https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43214086

Ona Mariani

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: