RT - readtimes.id

Flu Spanyol di Indonesia, Bukti Kita Tidak Belajar dari Sejarah

Judul : Perang Melawan Influenza, Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial, 1918–1919

Penulis : Ravando

Penerbit : Penerbit Buku Kompas

Tahun Terbit : 2020

Tebal : xxxvi+468 hlm

Saya sengaja menggunakan judul yang terkesan pedas untuk ulasan buku Perang Melawan Influenza ini. Karena—meskipun tetap ada pelajaran berharga dari buku ini—terlalu banyak kasus yang terjadi pada masa Flu Spanyol yang melanda Indonesia (juga di seluruh dunia pada 1918—1919) yang nyaris seluruhnya mirip dengan yang terjadi pada masa pandemic Covid-19 saat ini. Sungguh ironis!

Kemiripan itu melingkupi hal-hal seperti jumlah korban, kegemparan sosial, beredarnya hoaks, respon pemerintah yang lamban dan tidak tegas, sampai munculnya obat-obatan yang tidak teruji. Di dalam buku ini kita akan terkejut mendapatkan betapa semuanya nyaris seperti mengulang hal yang sama. Kita seperti apa yang dikatakan seorang Filsuf, George Santayana, “mereka yang gagal belajar dari sejarah, ditakdirkan untuk mengulanginya.”


Padahal, jika dilihat dari betapa dahsyatnya efek yang ditimbulkan dari wabah pada era Perang Dunia 1 ini, khususnya pada jumlah korban, kita semestinya bisa belajar banyak agar tidak mengulang hal yang sama. Namun, apa lacur, kita masih terjerembab dalam jurang yang sama.

Flu Spanyol, antara kebebalan pemerintah dan kegamangan sosial


Pada dasarnya, penamaan Flu Spanyol adalah salah kaprah sejarah. Spanyol adalah negara yang mengambil posisi netral dan tak terlibat dalam Perang Dunia Pertama—masa yang bertepatan dengan merebaknya wabah ini. Karena posisinya yang demikian, Spanyol lebih terbuka dalam memberitakan perkembangan wabah ini, khususnya di negaranya sendiri. Sementara, di lain sisi, negara-negara yang terlibat perang enggan mengangkat kondisi wabah ini. Karena Spanyol begitu bebas memberitakan perkembangan wabah ini, sehingga orang-orang mengira pandemi ini berasal dari Spanyol. Padahal, menurut penelitian, wabah ini justru muasalnya dari Kansas, Amerika Serikat—negara yang terlibat perang.

Wabah ini menyebar dengan begitu cepatnya. Di Indonesia sendiri, diduga kuat virus ini pertama kali menjangkiti kawasan perkebunan Pangkatan pada Juni 1918, yang dibawa oleh para kuli kontrak dari Singapura. Lalu, hanya dalam hitungan bulan, wabah ini menyebar hingga ke pelosok-pelosok nusantara. Buku ini memberikan data yang sangat detail apa yang terjadi mulai dari Sabang sampai Merauke—mulai dari jumlah korban hingga fenomena sosial.

Wabah Flu Spanyol di Indonesia akan menguak karakter pemerintahan kolonial yang bebal serta masyarakat yang menjadi gamang. Contohnya, beberapa dokter di Batavia telah menyarankan agar pemerintah kolonial memberlakukan kebijakan lockdown, namun diabaikan oleh Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (Dinas Kesehatan Hindia Belanda, BGD) dengan alasan akan memicu kekacauan dan mengganggu stabilitas ekonomi.

Pemerintah menganggap enteng virus ini sebagai flu biasa, bahkan salah diagnosa mengiranya sebagai kolera dan pemerintah pusat memerintahkan pemerintah kolonial setempat untuk melakukan vaksin kolera yang tentu saja tidak membawa hasil apa-apa.

Kematian tenaga kesehatan juga terjadi pada Flu Spanyol di Hindia Belanda. Saat itu tenaga kesehatan masih sangat minim dibandingkan jumlah masyarakat yang dilayani.

Mencegah Flu—ritual tradisional, hoaks, hingga penjarahan

Apa dampak terhadap masyaraka? Sebut berbagai berita hoaks, takhayul, dan obat-obatan anti influenza yang beredar di tengah masyarakat saat awal-awal pandemi Covid-19, maka fenomena serupa akan kita temukan juga pada masa Flu Spanyol. Penyebabnya juga relatif sama: buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sehingga masyarakat berupaya mengatasinya dengan cara mereka sendiri, mulai dari cara yang logis sampai takhayul, dari obat-obatan tradisional sampai ritual magis.

Kenapa mereka melakukan ritual-ritual bersifat magis alih-alih tindakan medis? Karena mereka menganggap Flu Spanyol sebagai akibat dari pelanggaran yang dilakukan terhadap tempat-tempat suci, kutukan karena ketamakan dan keserakahan.


Masyarakat Tionghoa di beberapa daerah melaksanakan ritual bernama perarakan toapekong yang dipercaya dapat menolak bala (270). Mereka meminta hujan segera turun—memang saat itu juga kekeringan parah melanda kawasan Indonesia—karena dipercaya air hujan akan menghapus Flu Spanyol tersebut. Ritual yang mengundang massa ini terang saja tidak menghasilkan apa-apa, justru semakin menyebarkan virus ini dengan massif.

Kalangan pribumi juga menanggapi pandemic Flu Spanyol ini secara tradisional. Mereka menganggap pandemi ini disebabkan roh halus yang otomatis penanganannya adalah dengan ritual pengusiran roh halus atau hantu tersebut. Tercatat dalam sejarah masyarakat Mojowarno berbondong-bondong melaekukan ziarah ke makan Kyai Abisai dan Kyai Emos meminta selamatan, mereka memotong kerbau dan sapi sebagai persembahan. Di Medan, masyarakat pribumi mendatangi masjid-masjid untuk berdoa tolak bala.

Di Solo, Kasunanan Surakarta memerintahkan kawulanya untuk melakukan ritual membakar menyan dengan bunga setaman, juga membuat rujak degan (kelapa muda yang dikupas, dicampur dengan air kelapa dipakaikan gula) (275). Nyaris di seluruh tempat di pulau Jawa ritual tradisional dan religius dilakukan guna mengusir pandemi. Dan tentu saja tidak membuahkan hasil, malah kian menambah korban.

Korban-korban terus berjatuhan. Ini mengakibatkan kelangkaan peti mati dan kain kafan. Dalam biografi Prof Slamet Imam Santoso diceritakan bagaimana orang-orang tiba-tiba menjadi buas berbebut kain kafan, sehingga banyak pedagang menutup tokonya selama beberapa hari. Peti mati pun harganya mendadak melonjak hingga 100%, dari f.250 menjadi f.500 (hlm 280).

Hoaks juga disebar oleh media-media kala itu. Ada media yang menyebut Flu Spanyol itu hukuman Tuhan, “telah dikirim beberapa malaikat atawa djin aken siarken itoe penjakit heibat di antero doenia boeat menghoekoem orang-orang jang djahat, enz. Enz. Enz.” Di kalangan masyarakat, hoaks juga diproduksi dan tersebar dengan liar. Ada seorang warga di Purwokerto yang mengaku rumahnya didatangi Nyi Roro Kidul yang berjanji akan menolong orang-orang kampung dari penyakit tersebut. Warga berbondong-bondong datang ke rumahnya yang ia tuntut mengeluarkan sejumlah uang. Dalam sehari ia bisa mengumpulkan sampai f.40. Berbagai takhayul dan berita hoaks terus beredar dan dipercaya oleh masyarakat.

Selain dari berbagai persoalan di atas yang diakibatkan Flu Spanyol, dampak lainnya adalah muncul dan meningkatnya angka kriminalitas di berbagai kota. Toko-toko dijarah, jemuran warga raib, ternak dicuri. Bahkan pembunuhan, ancaman kelaparan, dan kehilangan pekerjaan menjadi fenomena yang muncul nyaris secara serentak.

Upaya penanggulangan yang lambat dan setengah hati


Pada gelombang pertama Flu Spanyol, para dokter gamang dan asing dengan gejalanya, sehingga mereka hanya merekomendasikan penggunaan kina atau aspirin sebagai pertolongan pertama. Tak ada tindakan efektif yang dilakukan karena memang pemerintah tidak menganggapnya sebagai ancaman serius.

Dinas Kesehatan (BGD) dipandang tidak tegas dan tidak tanggap dalam menerapkan kebijakan. Banyak dokter atau pihak dalam departemen pemerintahan yang memberikan saran serta rekomendasi, namun BGD hanya bisa bergeming. Tidak ada regulasi yang mengatur pembatasan berkumpul. Tidak ada rekomendasi obat-obatan. Nanti pada gelombang kedua yang terbukti membunuh ribuan orang barulah beberapa pencegahan diterapkan. Bahkan pemerintah membentuk satu komisi yang khusus menangani Flu Spanyol ini yang bernama Influenza-Commisie (Komisi Influenza).

Upaya lain untuk menangani Flu ini adalah dengan sosialisasi melalui pamflet, poster, dan buku (hlm 327), yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat. Untuk memudahkan masyarakat memahaminya, media sosialisasi tersebut dikemas secara popular, disertai gambar-gambar menarik, menggunakan bahasa Melayu dan daerah, serta dinarasikan dalam bentuk dongeng atau cerita rakyat.

Namun demikian, penanganan tersebut sesungguhnya terbilang terlambat. Baru pada gelombang kedua atau setahun berikutnya upaya-upaya tersebut dilakukan. Dan, nyaris seluruh peristiwa di atas kembali kita ulangi berabad-abad kemudian, yakni saat ini, pada masa Covid-19 ini. Barangkali memang kita telah dikutuk untuk mengulangi sejarah kelam yang sama. Betapa miris!

Ona Mariani

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: