Kompleksitas penataan ruang di daerah pesisir memicu terjadinya beragam konflik di hampir setiap daerah di Indonesia. Berdasarkan data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)[1] mengenai konflik agraria pada tahun 2020, dari 241 total kasus yang terjadi, tiga diantaranya adalah konflik di daerah pesisir. Berdasarkan data yang sama, luas wilayah konflik lahan selama 2020 seluas 264.272 hektar dimana 243 hektar merupakan konflik di wilayah pesisir kelautan.
Puslitbang Perdamaian, Konflik dan Demokrasi (Center for Peace, Conflict and Untuk mengurai permasalahan ini, Democracy/CPCD), Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Hasanuddin bekerjasama dengan SDGs Center Universitas Hasanuddin menyelenggarakan diskusi daring dengan tema “Kutukan atau Anugrah: Konflik di Wilayah Pesisi dan Laut” pada Hari Senin, tanggal 15 Maret 2021 pukul 13:30 sampai dengan 15:30.
Diskusi seri ini menghadirkan Prof. Dr.Farida Patittingi, SH, MH (Dekan Fak. Hukum Unhas/pakar agraria/Senior Researcher CPCD Unhas); Prof. Dr. Ir.Jamaluddin Jompa, M.Sc (Dekan Sekolah Pascasarjana Unhas/pakar kelautan dan perikanan/Senior Researcher CPCD Unhas) dan Bambang Priono, SH, MH (Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Selatan). Diskusi ini dibuka oleh Prof Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA selaku Senior Researcher CPCD dan juga Rektor Universitas Hasanuddin dan Prof. Andi Alimuddin Unde selaku Kepala LPPM Universitas Hasanuddin. Diskusi dimoderatori oleh Andi Ahmad Yani, M.Si, MPA, M.Sc yang juga Sekretaris CPCD Unhas.
Dalam pemaparannya, Pak Bambang mengurai kebijakan pemerintah yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir. Dalam kebijakan tersebut ditetapkan pihak dan jenis bangunan yang bisa dibangun di daerah pesisir dan pantai baik pihak pemerintah, swasta maupun masyarakat. Kebijakan tersebut juga memberikan peluang bagi masyarakat adat untuk tinggal bermukim di daerah pesisir. Pak Bambang memberikan contoh Masyarakat Bajo di Sulawesi Tenggara mendapat sertifikat tanah untuk pengelolaan wilayah pesisir untuk kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya, Prof Jamaluddin mengelaborasi mengenai konsep tragedy of common yang menjadi kerangka analisis persoalan pengelolaan konflik di wilayah pesisir. Keterbatasan wilayah bumi berbanding terbalik dengan pertumbuhan penduduk yang terus bertambah. Hal ini kemudian diperparah dengan dampak perubahan iklim dimana permukaan air laut terus bertambah dan membuat beberapa pulau akan memiliki luas yang berkurang bahkan tenggelam. Hal ini tentu akan menjadi potensi konflik horizontal ke depan.
Selain itu, dalam pemanfaatn wilayah bersama, umumnya manusia yang mengelola berusaha mengeksplorasi sumber daya semaksimalnya tanpa mempertimbangkan dampak buruk pada alam dan keberlanjutannya. Sebagai contoh praktek pengeboman dan pembiusan yang dilakukan nelayan akan merusak ekosistem karang dan ikan. Hal yang sama dengan penggunaan jaring yang menangkap ikan lebih kecil oleh perahu besar melahirkan kondisi ketidaksetaraan pengelolaan laut antara nelayan kecil dan nelayan dengan modal lebih besar. Prof Jamaluddin menawarkan solusi pengelolaan wilayah pesisir berbasis komunitas dengan memelihara terumbu dan mengatur sistem penangkapan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Prof Farida menjelaskan konteks hukum dengan fokus pada memastikan masyarakat adat mendapatkan perlindungan hukum dalam pengelolaan wilayah pesisir. Secara detail Prof Farida memberikan perbedaaan antara masyarakat lokal dan masyarakat adat untuk memahami konteks aplikasi hukum pada penataan wilayah pesisir. Prof Farida menegaskan bahwa kebijakan hukum pengelolaan wilayah pesisir masih membutuhkan penjelasan lebih detail. Sebagai contoh adalah pemberian ganti rugi yang tidak spesifik. Selain itu, pemberlakuan hukum cenderung tidak konsisten. Sebagai contoh perbedaan perlakuan hukum pada pengelolaan pulau yang menjadi hak miliki dan pemberiah hak pengelolaan.
Dalam diskusi berkembang identifikasi akar masalah ketimpangan penataan wilayah pesisir yang selanjutnya rentan memicu konflik. Salah satunya adalah perubahan pemberian kewenangan pengelolaan pesisir dan laut yang sebelumnya diberikan ke pemerintah kabupaten/kota kemudian menjadi kewenangan provinsi. Menurut Prof Jamaluddin, perubahan kewenangan ini disebabkan karena wilayah pesisir memang sebaiknya diatur dalam jenjang yang lebih luas. Beberapa kasus konflik sebelumnya terjadi karena klaim antar wilayah kabupaten/kota dan memicu pertentangan antar wilayah dan melibatkan masyarakat.
Meskipun demikian, pemberian wewenang pengelolaan ke pemerintah provinsi tidak dibarengi dengan komitmen pemerintah provinsi dalam mengatur dan mengawasi pemanfaatan wilayah pesisir. Terlihat kurangnya komitmen Pemerintah Provinsi dalam mengalokasi sumberdaya manusia dan finansial mendukung pemerintah kabupaten/kota serta kelompok masyarakat untuk memastikan wilayah pesisir dan pulau dapat terkelola dan tertata sesuai peraturan hukum yang berlaku dan lebih berkelanjutan.
Untuk memastikan wilayah pesisir dan laut Indonesia menjadi anugrah untuk warga masyarakat Indonesia, diperlukan kolaborasi multipihak untuk menjaga dan memastikan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut lebih dimaksimalkan untuk kesejahteraan warga. Untuk itu, penegakan hukum atas semua tindakan destruktif yang merusak ekosistem laut juga diperlukan. Serta pemerintah provinsi sebagai pemilik kewenangan pengelolaan wilayah pesisir dan laut perlu menunjukkan komitmennya untuk melenyapkan kutukan konflik dan kerusakan sumberdaya pesisir dan laut Indonesia.
[1] https://www.kompas.com/properti/read/2021/01/06/160000521/sepanjang-2020-konflik-agraria-241-kasus-tertinggi-sektor-perkebunan
Tambahkan Komentar