RT - readtimes.id

“Berhala”, Kritik Danarto pada Hedonisme dan Kekuasaan

Judul : Berhala
Penulis : Danarto
Penerbit : Diva Press
Tahun : Maret, 2017
Tebal : 228 halaman

Fiksi yang mengulik tema kehidupan yang penuh foya-foya atau hedonisme serta kekuasaan yang disalahgunakan barangkali sudah banyak. Namun, yang mampu menyajikannya dengan nuansa absurd, surealis, sufistik, serta kocak sekaligus dalam satu tarikan napas, mungkin hanya bisa dilakukan oleh Danarto, sastrawan sohor Indonesia.

Di dalam fiksinya yang menawarkan ‘dunia lain’ (meminjam istilah Umar Kayam, ‘Dunia Alternatif’), hedonisme dan kekuasaan hadir sebagai berhala yang diejek-ejek, namun secara bersamaan diberikan aspek refleksi bernuansa sufisme-religius. Melalui jalinan kisah keluarga dalam beberapa cerpennya, Danarto mengajak kita merenung bahwa berhala itu tidak selalu bermakna dangkal berupa patung-patung semata, namun berhala telah menjelma rumah mewah, harta-benda, jabatan, status sosial, dan sebagainya.

“Berhala” adalah kumpulan cerpen Danarto yang telah menjadi klasik dalam referensi sastra Indonesia. Pertama kali diterbitkan pada pada 1987, lalu dicetak ulang pada 2017 atas permintaan banyak pembaca sastra Indonesia. “Berhala” sendiri, yang berisi 13 cerita pendek itu, adalah buku kumpulan cerpen ketiga sastrawan asal Klaten Jawa Tengah ini setelah “Godlob” (1975), dan “Adam Ma’rifat” (1982). Danarto memang dikenal bukanlah jenis sastrawan yang produktif, justru dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan melukis.
“Berhala” mendapatkan penghargaan dari Pusat Bahasa pada 1990, dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jepang.

Ada yang menarik dalam kumcer “Berhala” ini: barangkali banyak pembaca akan menganggap akan ada cerpen berjudul “Berhala” di dalam buku ini. Tapi tidak. Tak ada cerpen dengan judul tersebut, sehingga ini akan menerbitkan puspa ragam tafsir dalam kepala pembaca. Apa yang dimaksud berhala dalam buku ini? Apakah ada simbol yang mewakili berhala dalam semua cerpen? Lalu mengapa harus fokus pada berhala, bukan hal lain? Dan berbagai pertanyaan lainnya.

Namun, jika merenungkan setiap cerpen, barangkali yang dimaksud berhala oleh Danarto adalah harta, tahta, status, umur, dan sebagainya. “Berhala” yang dalam KBBI kurang lebih bermakna sesuatu yang didewadewakan dan disembah nampak menemukan dengan benang merah dalam beberapa cerpen di mana segala pernak-pernik kehidupan yang terangkum dalam laku hedonistic dan kekuasaan dipuja-puji dan disembah-sembah.

Mari kita tengok cerpen pertamanya berjudul “!” (ya, judul cerpennya berupa tanda seru itu). Cerpen ini berkisah tentang satu keluarga kaya raya—sepasang suami istri dengan dengan 15 anak namun yang bertahan hidup hanya 11 orang.

Kehidupan keluarga ini sangat dekat dengan suasana yang gemerlap dan jauh dari kata menderita. Namun, ada satu anak perempuan dalam keluarga, bernama Zizit, yang berbeda karakternya dengan anggota keluarga yang lain. Zizit tidak memanfaatkan kemewahan yang dimiliki orang tuanya: mengabaikan mobil mercy pemberian ayahnya dan memilih naik bus, menggantung sedekah di depan rumah mewah orangtuanya agar pengemis dapat mengambil sedekah itu, dan sebagainya.

Konflik pecah saat ada saudaranya yang mulai risih dengan hadirnya pengemis yang kian hari kian banyak di pagar rumah mereka. Zizit berdebat dengan saudaranya. Cerita ditutup dengan ayahnya yang tiba-tiba mengalami serangan jantung selepas pertengkaran akibat perdebatan itu. Dan paragraph terakhir ditutup dengan ending yang jenaka dan teatrikal: ayahnya, di ranjang rumah sakit, justru bernyanyi dengan suara tenor seperti dalam konser.

“Pelajaran Pertama Seorang Wartawan” adalah cerpennya yang lain yang memberikan pelajaran betapa kejujuran itu sangat susah dipraktikkan. Cerita ini berkisah tentang seorang wartawan baru yang mendapatkan kesempatan meliput operasi kapal perang di Laut China Selatan. Konflik terjadi saat dia secara tidak sengaja justru mengetahui dan kedapatan melihat aktifitas penyelundupan yang dilakukan oleh para awak kapal tersebut. Ketika ia berusaha disuap dengan hasil selundupan itu, ia menolak dan penyiksaanlah yang dia dapatkan. Lagi-lagi, ending cerita ini juga ditutup dengan kocak.

Namun, cerpen “Dinding Anak” merupakan cerita yang paling banyak disoroti yang pembaca. Di dalam “Dinding Anak”, unsur absurdisme dan sesuatu yang bernilai sufistik sangat kental terasa. Ia bercerita tentang seorang laki-laki bernama yang kaget mendapati anggota tubuhnya dapat berbicara saat ia berhadapan dengan malaikat Izrail. Karena takdirnya rupanya mengatakan belum saatnya dia mati (yang diperkuat oleh kaki dan rambut di keningnya yang mengatakan bahwa dia belum siap mati), makanya ia selamat.

Lalu cerita berlanjut ketika malaikat Izrail berusaha mendekati anaknya yang perempuan bernama Bibit. Untuk mengecoh malaikat Izrail dan mengubah takdir kematian anaknya tersebut, si laki-laki menitip anaknya ke orang lain dan mengganti namanya menjadi Sruni. Namun, rupanya takdir kematian yang memang sudah ditentukan tak bisa dihindari. Sang malaikat berkata seperti ini: “Dalam catatan Nasib, Bibit memang harus mati pada hari ini di sebuah perkampungan di Pacitan, ketika namanya sudah diganti dengan Sruni…”

Melalui cerita “Dinding Anak” ini Danarto kembali berpesan, bahwa takdir kematian sesungguhnya tak bisa dihindari.

Begitulah, melalui kumpulan cerpen “Berhala” ini Danarto mewanti-wanti kita pada berhala yang cenderung tak kasat mata di hadapan kita, yang malah lebih berbahaya dari sekadar patung-patung yang disembah-sembah. Semua itu fana semata, dan kita akan pergi menghadap Tuhan kita dan bersiap memberikan pertanggungjawaban atas apa yang telah kita lakukan di dunia ini.

Dedy Ahmad Hermansyah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: