Sejarah, Revolusi, Manusia, dan Anak Muda: empat hal ini sering sekali disinggung oleh Pramoedya Ananta Toer, baik dalam karya-karyanya maupun dalam perbincangan-perbincangan di forum resmi dan tak resmi. Empat hal itu berjalin-kelindan merentangkan benang merahnya sendiri.
Sejarah yang dicoba hadirkan Pram—sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer—adalah sejarah orang-orang kecil. Revolusi yang diagung-agungkan Pram adalah revolusi yang mengarah pada pembangunan manusia. Manusia yang dinarasikannya adalah manusia yang penuh cita-cita, kontradiksi, dan konfliknya sendiri-sendiri. Dan anak muda adalah generasi yang diandalkan Pram akan mengubah sejarah—ia sama sekali tak menaruh kepercayaan kepada kaum tua yang ia nilai korup dan bermental rendah.
Sebab itulah barangkali mengapa membaca anak ruhani—istilahnya sendiri untuk menyebut karya-karya tulisnya—Pram senantiasa perlu dan penting. Telah banyak pengakuan yang diutarakan para pembacanya usai membaca beberapa karyanya. Sebagian besar menyatakan tercerahkan, mendapatkan perspektif kritis dalam memandang sejarah, dan bahkan tergerak untuk melakukan suatu perubahan.
Perjalanan hidupnya sendiri tak kalah mengharukan dan menginspirasi dibanding anak-anak ruhaninya. Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, sebuah kota di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, pada 6 Februari 1925. Blora ini dikenal sebagai gudang para pejuang keras kepala. Sebut saja Marco Kartodikromo, Tirto Adi Soerjo, Kartosoewirjo, dan masih banyak lagi. Daerah ini sendiri habis terkuras kekayaannya oleh Belanda dan Jepang. Orang-orang hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan.
Pram lahir dari keluarga yang menganut semangat nasionalisme kiri. Bapaknya seorang kepala sekolah Boedi Oetomo. Ibunya pekerja keras—perempuan tempat di mana dia menambang begitu banyak emas kebijaksanaan, filosofi kerja keras, dan dorongan tak habis-habis kepada dirinya untuk mendapatkan ruang belajar.
Perjalanan hidupnya kemudian adalah perjalanan dari penjara ke penjara, dari pelarangan ke pelarangan (juga pemberangusan ke pemberangusan), dari polemik ke polemic, dari penghargaan ke penghargaan, dari anak rohani satu ke anak ruhani yang lain. membaca kisah hidupnya adalah membaca roman yang penuh lika-liku. Penuh bilur luka.
Pada masa perang melawan Belanda, ia ditangkap pada 1947 dan ditahan sampai 1949. Masa ini ia bergabung dengan Tentara Republik Indonesia sebagai wartawan perang dalam divisi Siliwangi. Pada rezim Soekarno ia pun ditangkap pada 1960 menyusul penerbitan penerbitan bukunya yang berjudul Hoakiau di Indonesia, anak ruhaninya yang berusaha menentang kebijakan Peraturan Presiden no.10 tahun 1960 yang melarang aktivitas perdagangan kaum Tionghoa di pedalaman.
Rentang waktu rezim orde lama ini, tumbuh kesadaran berkarya Pram yang mulai bergeser ke kiri. Konsekuensinya adalah polemic yang tiada henti. Ia yang dulunya menjadi pengikut setia humanisme-universal dalam berkarya ini mulai menjadi pembela aliran realism-sosialis yang pertama kali ditelurkan I Rusia dengan Maxim Gorky sebagai pelopornya.
Polemik ini terhenti ketika rezim berganti. Orde Baru di bawah kekuasaan militer yang berkuasa selama 32 tahun memberikan banyak luka pada diri Pram. Pemenjaraan di Pulau Buru selama 14 tahun, terhitung sejak 1965—1979, menempa diri Pram menjadi orang yang keras. Tapi semangat berkaryanya tak sedikit pun menyusut. Justru pada masa pengejaran ini banyak sekali ‘anak-ruhani’ yang ia lahirkan. Proses ‘persalinan’-nya pun tak mudah.
Anak ruhani masa eksil di Pulau Buru itu barangkali yang paling banyak disoroti dan diperbincangkan. Sebut saja Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca). Karya ini dilarang oleh pihak kejaksaan karena dianggap membawa semangat marxisme-leninisme. Karya ini juga paling banyak menginspirasi anak muda. Coki, Isti, dan Bono: tiga pemuda asal Jogja ditahan antara lima sampai delapan tahun penjara hanya karena ketahuan membawa dan mengedarkan buku itu.
Awal 1980 ia kemudian dibebaskan. Tapi tidak sepenuhnya bebas. Ia masih harus lapor setiap bulan kepada militer. Di waktu ini, penghargaan demi penghargaan mulai dianugerahkan kepada anak-anak ruhaninya. Mulai dari penghargaan sampai tingkat internasional.
Bagi Pram, menulis adalah tugas nasionalnya. Tugas suci inilah yang terus mendorongnya menghasilkan karya-karya monumental. Tak ada bedil senjata yang dapat menghalanginya menulis. “Menulis untuk yang terlupakan atau dilupakan.” Begitu ia menulis suatu kali. Ia paham benar, sebagaimana ia katakan sendiri, barangsiapa tidak menulis, ia akan hilang dari sejarah dan masyarakatnya. Menulis untuk keabadian.
Pram wafat pada 30 April 2006. Ia meninggal dalam usianya yang ke-81 dan 84 hari. Tapi anak-anak ruhaninya terus hidup dan memberi sinar ke setiap pembaca . sinar yang tak henti-henti memancarkan daya pencerahan.
Saatnya bagi kita untuk membaca kembali apa yang ia tulis, dan menelaah apa yang ia miliki. Agar kewarsan tetap terjaga. Agar kesadaran sejarah kita tidak mudah dibelokkan para penguasa.
Pada Februari ini, tepatnya tanggal 6 adalah hari kelahirannya. Selamat ulang tahun, Bung Pram!
Tambahkan Komentar