
Januari 2021, saya cukup sering mengunjungi desa Latonro, yang terletak di tepi sungai Cenrana, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Bone. Kedatangan saya ke desa tersebut, untuk melakukan fasilitasi ataupun pendampingan pada pembudidaya rumput laut jenis gracilaria atau nama lokal sango-sango. Saya cukup menikmati setiap perjalanan saya, terombang-ambing di sepanjang jalan, ketika tembus dari Awampone ke beberapa cabang jalan ke Cenrana, banyak ditemui jalanan berlubang, terkhusus lagi ketika hujan, jalanan berlumpur dan waktu tempuh akan semakin lama. Meski begitu, saya menikmatinya. Barangkali stok jiwa petualangku masih berlebih, hingga hal-hal yang krusial seperti ini justru menjadi gerutuan sambil celotehan semata. Bahkan, ketika saya bersama beberapa teman menyeberangkan mobil saya menggunakan perahu/pincara pada November 2020 lalu, saya hanya senyum-senyum kecil, sambil bergumam dalam hati, abad demikian modern ini, mobil masih naik perahu. Tumben, waktu itu jembatan penyambung ke Kec. Cenrana lagi rusak berat dan sedang dalam perbaikan.
Sekian bulan wara-wiri ke Desa Latonro, saya sedikit-sedikit paham situasi di sana. Desa yang berpenduduk 1.289 jiwa itu, yang rata-rata memelihara rumput laut bersama bandeng dan juga kepiting, atau secara statistik terdapat 190 Kepala Keluarga (KK) yang mengolah tambak, yang mana terdapat 12 KK yang memiliki lahan peribadi. Selain itu, ada yang kontrak lahan, dan ada yang sistem bagi hasil. Pendapatan masyarakat di desa tersebut pun bertingkat-tingkat, dimana tingkat teratas diampu oleh para pemilik lahan yang luas, antara 5-10 hektar, pendapatan antara Rp.6 juta-Rp.15 juta dalam satu siklus. Sedangkan level di bawahnya yaitu antara 3-5 hektar yaitu antara Rp.4-5 juta, dan yang terbanyak dari itu adalah mereka yang punya lahan 1-2 hektar, dengan pendapatan Rp.2-3 juta. Saya kira, jumlah segitu hanya dapat digunakan untuk bertahan hidup. Beruntung karena desa tersebut juga kaya akan kepiting bakau, sehingga pemenuhan kebutuhan sehari-hari juga berasal dari penjualan kepiting bakau harian.
Suasana di daerah tersebut aman dan tentram. Sepanjang hari kita disuguhkan pemandangan sungai beserta segala aktivitas yang berada di sekitarnya, seperti lalu Lalang perahu/taksi, aktivitas pencari kepiting, anak-anak berenang, ataupun ibu-ibu yang mandi di sungai yang hanya berlapiskan sarung/lipa’. Lama-lama di sana, bisa menyenangkan, dan bisa pula membosankan, apalagi bagi kita yang terbiasa nongkrong-nongkrong di warung kopi, yang terlanjur sering mendengar deru kendaraan bermotor melaju di jalan raya dan perbincangan samar pelanggan café yang bersebelahan meja.
Belakangan terakhir, saya selalu terlibat perbincangan soal-soal budaya bersama teman-teman yang ada di daerah-daerah. Dan, sepertinya menarik. Misalnya soal adat Patuntung ketika diskusi dengan teman-teman dari Komunitas Kajang, juga seperti pengelolaan secara organik/berbasis pertanian tradisi di sekitar gua kars Rammang-Rammang, atau perbincangan tentang koleksi-koleksi badik/gecong pemuda-pemuda Bone. Dari situ, pikiran saya melingkar, saya tiba-tiba memandang cenrana dengan cakrawala yang lebih luas, setelah menggali-gali naskah-naskah yang terkait dengan budaya dan sejarah, apalagi bisa kita hubungkan dengan perikanan di masa lalu. Misalnya narasi Manusia Bugis karya Cristian Pelras, sejarawan dari Prancis, serta naskah Lontara Sakke’ Attoriolong Bone yang ditranslasi dan diterjemahkan oleh Muhlis Hadrawi, et al.
Saya mula-mula tertarik dengan wacana, yang sudah lama muncul dari pikiran saya, mengenai transisi antara pertanian ke perikanan budidaya. Contoh-contoh dalam bayangan saya sebelumnya, hanyalah daerah Pinrang ataupun daerah pesisir yang lain, seperti Maros dan Pangkep/segeri. Dimana transisinya lebih pada adanya inisiasi dari orang-orang tertentu, baik yang berasal dari Pangkep (dianggap sebagai pemula) ataupun dari luar negeri seperti kisah Puang Umar di Suppa, yang memperkenalkan budidaya ikan tradisional setelah melakukan perjalanan panjang di beberapa tempat di negeri asing. Seperti kasus di Kelurahan Data, Kec. Duampanua, Pinrang, yang diceritrakan oleh Puang Akib, dimana yang memperkenalkan budidaya bandeng di pesisir tersebut adalah ayahnya, yang berasal dari Pangkep, pada tahun 1940-an. Orang-orang kampung heran dan terkesima karena orang ini/ayahnya mampu memanggil ikan-ikan masuk ke dalam tambak. Padahal, mungkin karena air bagus atau memang saat itu lagi banyak ikan, alih-alih karena pembacaan mantra.
Jika dibandingkan dengan Cenrana, menurut pengakuan Muslimin, seorang petambak di sana, peralihan pertanian ke perikanan lebih pada aspek ekonomi. Bayangkan jika dalam satu petak sawah hanya bisa menghasilkan dana yang konstan, misalnya satu kali atau dua kali dalam setahun. Sedangkan ketika beralih ke perikanan, satu petak tambak dapat dipelihara beberapa komoditas, seperti ikan bandeng dan rumput laut, rumput laut dan kepiting, ataupun udang bersama ikan bandeng. Di samping itu, pemakaian lahan juga dapat dilakukan sepanjang tahun, komoditas yang dipelihara menyesuaikan dengan kondisi musim.
Lalu, bagaimana jika kita melihat ulang kembali Cenrana itu, yang sudah saya jambangi sejak 2015, dengan pikiran yang sempit, lantaran hanya seputaran teknik budidaya dan pengembangan kelompok. Tidak, kali ini sudah berbeda. Saya coba menariknya lebih jauh, hingga ke abad permulaan sejarah di Sulawesi Selatan.
Berdasarkan gambaran Epos Lagaligo, yang diperkirakan berkisar pada Abad 11-13 Masehi, di muara sungai cenrana dahulu kala terdapat muara lebar yang jika orang berlayar dari teluk Bone ke barat, akan menyempit menjadi satu jalur ke Solo’, kemudian melebar lagi menjadi danau luas yang sekarang dikenal sebagai danau tempe. Konon, danau tersebut di masa Lagaligo serupa selat yang membelah pulau Sulawesi (laut air tawar), dari teluk bone hingga ke bagian barat di muara sungai Saddang dan Suppa, Pinrang.
Inti dari cerita ini yaitu muara sungai cenrana, yang kini menjadi delta. Yang dalam epos tersebut juga diceritakan bahwa dahulu, terdapat sawah pasang surut, atau yang mengandalkan air masuk dan keluar yang berasal dari sungai Cenrana. Jenis padi ini adalah jenis khusus-ase sawe’, batangnya tinggi dan tahan terhadap air payau ataupun asin/garam, bahkan diceritakan bahwa masyarakat memanen padi dengan menggunakan sampan.
Saya membayangkan, walaupun tidak ada dalam catatan Pelras, bahwa saat itu, mungkin saja petani Cenrana juga memelihara ikan, udang, ataupun apa saja hewan air yang bisa masuk ke dalam petak sawah. Bolehlah dikata, bahwa praktik pertanian-pertanian menggunakan air pada awal-awalnya juga merupakan praktik perikanan pertama. Barangkali.
Hal ini sesuai dengan catatan Ahli Geomorfologis juga dalam buku Manusia Bugis, Yoshikasu Takaya, bahwa di Bantimurung terdapat cerita lisan yang menyebutkan bahwa raja pertama adalah orang yang memperkenalkan penanaman padi basah pada rakyatnya. Penanaman padi pada sepetak lahan yang masih dikelilingi hutan, dan terdapat endapan lumpur yang terbawa oleh hujan dari bukit, dan lahan tersebut berdekatan dengan sumber mata air.
Penanaman padi basah ini ikut serta bersamanya penggunaan bajak. Sementara bajak adalah salah satu benda pusaka (arajang) Kerajaan Bugis. Bahkan, raja pertama Bone bergelar Panre Bessi-e’ Manurung ri Matajang, begitu halnya raja kedua, La Ummasa petta Panrebessie yang mematangkan peradaban besi Kerajaan Bone. Bersamaan dengan bajak, turun pula Palu-Palu, dan gendang. Sebelum kehadiran Tomanurung (orang yang turun dari langit: di Bone turun di Matajang) itu, konon katanya masyarakat Bone atau komunitas bugis lainnya hanya mengandalkan padi ladang, yang tidak mengandalkan air dan tidak dibajak. Konsekuensi dari penerapan sistem padi basah ini adalah meluasnya lahan pertanian, meningkatnya kemakmuran rakyat. Hal ini tentu memungkinkan lahirnya sebuah kerajaan besar.
Terlepas dari wilayah pertanian cum perikanannya (mungkin) itu, Cenrana adalah wilayah strategis, yang pada abad ke 15 Masehi masih merupakan daerah kekuasaan Luwu’. Pada sungai Cenrana inilah melintas kapal-kapal pengangkut bahan baku/material/mineral Sulawesi untuk diekspor ke luar Sulawesi, ataupun tempat masuknya kapal-kapal pengangkut kain India, rempah-rempah Maluku, ataupun cangkir-cangkir Cina menuju Tappareng Karaja/Danau Tempe. Saya membayangkan sungai ini sangat ramai, berbeda dengan kondisi saat ini, yang hanya dilalui oleh kapal-kapal pengangkut rumput laut maupun masyarakat setempat.
Lantaran begitu penting, kawasan ini menjadi perebutan, antara Kerajaan Bone dan Luwu. Bahkan, perkampungan di muara sungai Cenrana menjadi tempat tinggal kesukaan Datu Luwu’. Namun, ketika raja Bone keempat berkuasa, La Tenrisukki Mappajungge (1483-1505) dan berhasil menaklukkan Mampu (Cina ri lau/Cina Timur), yang saat ini terkenal denga Gua Mampu yang mistis, kawasan terdekat di sebelah selatan Sungai Cenrana, maka terjadilah pencaplokan terhadap wilayah yang berada di bawah kekuasaan Luwu.
Berdasarkan Lontara Sakke Attoriolong Bone, ketika Latenrisukki menjadi Mangkau Bone, Datu Luwu bernama Dewaraja yang disapa To Sengara/Sengareng dan bergelar Batara Lattu mendarat menyerang Bone. Ia berpangkalan di Selatan Cellu, tapi kemudian pasukan Luwu dipancing dengan sekumpulan perempuan yang menyusuri sungai dengan berjalan kaki. Pasukan Luwu lalu mengejar-kejar kumpulan perempuan itu, dan akhirnya keluar dari pangkalannya di selatan sungai. Akhirnya mereka disergap oleh pasukan Bone dan dipukul mundur. Payung Luwu berhasil direbut pasukan Bone, dan Datu Luwu sempat tertangkap dan hampir dipenggal. Tapi, Raja Bone tiba tepat waktu dan menenangkan pasukannya. Akhirnya Datu Luwu diarungkan dengan perahu kecil untuk kembali pulang ke negerinya. Dari sinilah Kerajaan Bone memperoleh Payung (simbol Kerajaan Luwu), dimana Letenrisukki bergelar Mappajung ri Bone. Serta disepakatinya perjanjian damai antara Bone dan Luwu dengan nama “Polo Malela ri Unynyi” (Patah Malela di Unyinyi)/upacara damai di antara patahan-patahan badik Malela).
Lalu setelah itu, pada masa kekuasaan La Tenrirawe Bongkangnge, yang pada masa itu juga terdapat penasehat cerdas yang bernama Kajao Laliddo atau biasa disapa Lamellong. Setelah Bone berhasil mengatasi serangan demi serangan Gowa Tallo, bahkan telah membunuh dua raja-nya, satu di atas tikar (karena sakit pasca perang) dan satu ditebas di medan laga, yang akhirnya lebih memilih berdamai, dengan negosiasi antara Karaeng Tallo yang bernama Daeng Padulung dengan Kajao Laliddo, dan disepakati pengangkatan Raja Gowa kepaa Daeng Patobo, yang sebelumnya selama tujuh hari lamanya diincar dengan tombak oleh pasukan Bone. Setelah peristiwa itulah, kembali lagi Datu Luwu, yang bernama Sangaria menyerang ulang kembali Cenrana, yang kemudian direbut kembali oleh Bone. Cenrana pun disebut sebut sebagai “yang dua kali direbut Bone melalui Perang”.
Dari sinilah saya melihat letak pentingnya Cenrana, yang gilang gemilang di masa lalu. Kita pun masih dapat menemukan peninggalannya, salah satunya adalah Makam Raja Bone ke-16, yaitu La Patau’Matanna Tikka Walinonoe To Tenribali Matinroe ri Nagauleng, atau yang kuburannya terdapat di Desa Nagauleng, Kecamatan Cenrana, Kab. Bone. Berdekatan dengan makamnya itu, terdapat pula makam istri-istrinya yang tak lain adalah putri-putri kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan, seperti Luwu (We tenri Ummu Datu Larompong), Gowa (I Mariyama Karaeng Pattukangang), Sitti maemuna putri Daeng Marewa/I lolo Kaluku ri Maru, We Rakiya putri Bantaeng, We Biba dari Unynyie, We Leta dari Baloe, We Sangi dari Bikue, We Sia, We Sitti dari Palakka We Najang to Soga, We Baya dari Bukaka, We Yatu Datu Marioriawa, We Tenridio anak dari Pammana, serta beberapa lagi istri lainnya.
Saya sudah dua kali mengunjungi makam Raja dan istri-istri raja tersebut. Serta telah menikmati segarnya air sumur, yang saya gunakan untuk berwudhu untuk berdoa agar ruh-ruh penghuni makam dapat tenang di alamnya.
Sayang saja, karena untuk menuju makam ini dari Kota Bone, kita harus melewati jalanan yang begitu buruk, yang tidak berubah atau hanya sedikit saja perubahannya sejak pertama kali saya ke daerah Cenrana, yaitu pada tahun 2015 lalu. Saya pun kaget dan terlambat menyadari, bahwa setelah 6 tahun bolak-balik Makassar-Cenrana, baru pada Februari 2021, saya untuk pertama kalinya mengunjungi makam tersebut, karena memang baru tahu bahwa di situ ada makam Raja Bone. Semoga para leluhur memaafkan saya atas kekhilafan dan keterlambatan tahu saya tersebut.
Kekagetan saya yang kedua, adalah Cenrana yang dahulu adalah tempat lalu lintas kapal-kapal itu kini menjadi sepi dan kurang gairah. Apalagi setelah kepiting Cenrana tidak lagi memiliki akses lebih pasca peraturan berat dan panjang kepiting, serta pelarangan ekspor kepiting bertelur, kapal-kapal pun semakin sedikit yang lalu-lalang. Ataupun setelah beberapa tahun terakhir, harga rumput laut gracilaria menjadi begitu rendah, sehingga membuat begitu banyak orang hanya dalam posisi bertahan hidup. Yang rutin hanyalah lumpur yang diturunkan dari Danau Tempe, yang menyebabkan sedimentasi sungai Cenrana, serta limpahan air tawar yang kadang-kadang melumpuhkan kegiatan budidaya rumput laut Warga Cenrana pada musim hujan, yang pun di musim kemarau, mereka juga kekurangan air tawar malah, karena air tawar sudah dialokasikan terlebih dahulu ke lahan-lahan pertanian di Wajo. Sedangkan di Cenrana, air tidak dapat naik ke dekat tambak, sehingga membutuhkan bantuan mesin pompa untuk mendorong air, sementara tidak semua pembudidaya dapat menyediakan mesin pompa.
Hanya sayang saja, pemerintah masih terlihat kurang memberi perhatian pada sektor perikanan Kec. Cenrana, sebagai sektor kunci kebangkitan masa lalu Cenrana, sebagai basis pertanian air tawar/payau ataupun sebagai sarana lalu lintas kapal. Perhatian pada masyarakat Cenrana, Saya kira adalah bentuk perhatian pada nilai sejarah Cenrana itu sendiri, yang namanya sudah tercatat sebagai kawasan kunci geografis Epos Lagaligo. Dan mungkin saja, perhatian pemerintah, ataupun siapa saja, termasuk keturunan-keturunan Lapatau’ Matanna Tikka, dapat membuat Raja bergelar Sultan Idris Azimuddin itu tersenyum dan gembira.
Saya kira, tulisan ini adalah bentuk eksplorasi, sehingga segala kesalahan tafsir atau apapun itu, saya terlebih dahulu memohon maaf..
501 Komentar