Readtimes.id—Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menetapkan kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) mulai 1 Januari 2022 dengan kenaikan rata-rata 12 persen. Pengenaan cukai ditujukan sebagai upaya pengendalian konsumsi sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Cukai.
Menkeu Sri Mulyani menyebut rokok menjadi pengeluaran kedua tertinggi masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan setelah konsumsi beras. Dilihat dari total pengeluaran, konsumsi rokok mencapai 11,9 persen di perkotaan dan 11,24 persen di pedesaan. Angka tersebut lebih rendah dari konsumsi beras dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk protein, seperti daging, telur, tempe, serta ikan.
“Harga sebungkus memang dibuat semakin tidak terjangkau bagi masyarakat miskin,” ujar Menkeu.
Kebijakan CHT juga untuk mengendalikan tingkat konsumsi rokok di kalangan anak-anak dan remaja. Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menargetkan prevalensi merokok anak Indonesia usia 10-18 tahun turun minimal menjadi 8,7 persen di 2024.
Adapun kenaikan tarif CHT turut mendukung program pembangunan nasional melalui penerimaan negara. Hal ini diundangkan dalam UU APBN 2022 sebesar Rp 193 triliun. Selain itu, kebijakan CHT juga penting sebagai mitigasi atas dampak kebijakan yang berpotensi mendorong rokok ilegal.
Baca Juga : Cukai Rokok Naik, Bagaimana Nasib Petani dan Buruh?
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet menilai kebijakan pemerintah berbanding lurus dengan penurunan prevalensi merokok pada masyarakat, akan tetapi, penurunan masih relatif kecil pada setiap tahunnya.
Oleh sebab itu, menurutnya efektivitas kenaikan CHT oleh pemerintah dinilai bisa mengerem konsumsi rokok, meskipun tidak terlalu berdampak signifikan.
“Data Kementerian Kesehatan pada 2007 menjelaskan prevalensi konsumsi tembakau baik dihisap atau dikunyah, itu mencapai sekitar 34 persen secara total, tahun 2018 turun menjadi 33 persen. Artinya, terjadi penurunan yang relatif kecil,” jelasnya.
Hal ini didukung oleh dampak kenaikan tarif cukai rokok terhadap penerimaan negara yang justru meningkat. Artinya sebagai produk dengan pajak eksternalitas negatif, rokok tetap memiliki sumbangsih besar terhadap penerimaan negara meskipun tarif cukainya sering dinaikkan.
Selain itu, Yusuf menilai hasil yang diharapkan dari kebijakan peningkatan tarif cukai rokok adalah berkurangnya laju konsumsi produk tersebut, dan nantinya dicerminkan dari penerimaan negara yang berkurang.
“Sayangnya di lapangan justru terbalik. Jadi, saya kira yang perlu diantisipasi oleh pemerintah tidak hanya sekadar menaikkan tarif cukai, tapi harus ada instrumen lain. Misalnya, penyederhanaan layer cukai rokok di dalam negeri,” tuturnya.
Ketua harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan kenaikan cukai yang ditetapkan pemerintah selama ini dinilai lebih banyak untuk menggali pendapatan pemerintah dari sisi non pajak.
“Selama kebijakan cukai ini diterapkan dianggap belum efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok di Tanah Air. Referensi perokok cukup tinggi dan melebihi batas yang ditentukan,” jelasnya.
Yusuf menerangkan jika memang kebijakan ini untuk menekan angka perokok, ia mempertanyakan peresmian pabrik rokok elektronik oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai sebuah investasi awal Desember lalu.
“Kenapa kita malah investasi barang yang bahaya seperti rokok elektronik ini, ironis sekali ketika banyak negara melarang rokok elektronik ini, kita malah semakin masif konsumsinya,” jelasnya.
Selain itu meski nantinya harga rokok akan ikut naik, konsumsi rokok di Indonesia masih akan sulit dikendalikan karena Indonesia merupakan satu-satunya negara yang menjual rokok secara “ketengan” (rokok per batang).
“Yang gak mampu beli sebungkus ya beli ketengan saya rasa ini juga perlu ditindaklanjuti,” tutupnya.
Tambahkan Komentar