Dalam studi berjudul “Dark Tourism: Concepts, Typologies, and Sites” (2016), Fonseca, Seabra, dan Silva mengatakan wisata bencana merupakan bagian spesifik dari dark tourism. Dark tourism atau wisata kelam merujuk pada aktivitas mengunjungi tempat yang diliputi oleh kesedihan, kesusahan, kekejaman, dan rasa sakit. Mereka mengatakan tipologi wisata kelam ada berbagai macam, tergantung pada motivasi pengunjung dan situsnya.
Menurut Fonseca, Seabra, dan Silva, ada enam jenis wisata kelam, di antaranya wisata bencana, wisata perang, wisata penjara, wisata pemakanan, wisata hantu, dan wisata Holocaust. Praktik berwisata ke tempat yang baru mengalami bencana alam atau buatan manusia disebut dengan wisata bencana.
Sementara itu, Kevin Fox Gotham dalam “Dark Tourism and Disaster Tourism” (2015) mendefinisikan disaster tourism sebagai jenis pariwisata yang lahir setelah atau karena bencana alam juga peristiwa traumatis. Contoh wisata bencana, lanjutnya, meliputi tempat seperti World Trade Center di New York City dan daerah yang terkena banjir di New Orleans setelah Badai Katrina.
Brigitte Sion, peneliti yang berafiliasi dengan Columbia University sekaligus editor buku Death Tourism: Disaster Sites as Recreational Landscapes (2014), menjelaskan ada berbagai macam alasan yang mendorong orang mengunjungi bekas lokasi bencana atau tragedi. Menurutnya, beberapa pengunjung memiliki koneksi dengan peristiwa sebab dirinya merupakan penyintas, saksi, atau saudara korban bencana.
Alasan lainnya, pengunjung memiliki ketertarikan dari segi budaya maupun intelektual. Mengetahui lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi atau bisa jadi mengaitkan peristiwa yang terjadi sebelumnya. Adapula pengunjung dengan tujuan rekreasi tanpa mengaitkan peristiwa sebelumnya dengan kedatangannya ke tempat tujuan.
Lebih lanjut menurut Kevin Fox Gotham, sebagian orang beranggapan bahwa menjadikan bekas tempat terjadinya bencana sebagai kunjungan wisata adalah sesuatu yang jahat. Bahwa perilaku tersebut adalah bentuk eksploitasi terhadap kesedihan orang lain demi meraup keuntungan pribadi.
Tapi, Gotham mengatakan bahwa ada pihak yang menilai wisata bencana justru bermanfaat sebab bisa dipakai untuk sarana edukasi. Kesimpulan ini ia dapatkan setelah melakukan penelitian terhadap masyarakat Lakeview di New Orleans, Amerika Serikat, yang menjadi korban Badai Katrina pada tahun 2005. Menurut Gotham, pariwisata di Lakeview adalah sebuah kritik halus yang bertujuan membangkitkan kesadaran global akan bencana. Selain itu, disaster tourism juga dipakai untuk menarik empati orang serta mengumpulkan dukungan publik agar kota kembali pulih.
Di Indonesia, contoh disaster tourism yang eksis hingga kini adalah objek wisata Lava Tour yang terletak di Gunung Merapi. Zein Mufarrih Mukraf dalam “Wisata Bencana: Sebuah Studi Kasus Lava Tour Gunung Merapi” (2017) menjelaskan bahwa Gunung Merapi yang berada di antara Jawa Tengah dan Yogyakarta ini merupakan gunung teraktif di Pulau Jawa. Gunung Merapi terakhir meletus pada 2010 dan memuntahkan material vulkanik sebanyak 140 juta m3.
Zein mengatakan Lava Tour telah memperbaiki ekonomi masyarakat di Dukuh Pangukrejo usai erupsi Gunung Merapi tahun 2010. “Wisata bencana secara konkret menjadi bagian dari resilience (daya tahan) komunitas. Dengan dibangunnya wisata Lava Tour, masyarakat bisa bertahan dan mengembalikan ekonominya secara mandiri. Disaster tourism, rekonstruksi, dan ketahanan menjadi saling terkait satu sama lain,” terangnya.
Adapula Museum Tsunami Aceh yang mengingatkan kita pada kejadian tahun 2004. Lebih dari 280 ribu nyawa hilang akibat bencana yang terjadi. Di dalam ruangan museum terdapat nama-nama korban yang disusun sedemikian rupa hingga mencapai puncak bertulisan lafadz Allah.
Museum yang terletak di Aceh itu dijadikan sebagai pengingat atas peristiwa kelam yang pernah terjadi. Mengenang masa sulit hingga dijadikan pelajaran dan bahan renungan.
Akan tetapi, terlepas dari wisata bencana adalah edukasi atau eksploitasi, Indonesia harus belajar untuk memahami bencana yang kerap kali terjadi. Tidak hanya edukasi dalam ranah wisata melainkan edukasi secara berkelanjutan untuk seluruh warga Indonesia. Selain itu, teknologi yang mumpuni diharapkan “ada” untuk lebih cepat mendeteksi bencana akan tiba agar evakuasi lebih dulu bisa dilakukan tanpa harus menunggu gempa datang.
523 Komentar