Readtimes.id– Petani kelapa sawit kini mulai bisa bernafas lega setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya memutuskan mencabut kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan minyak goreng mulai Senin, 23 Mei 2022. setelah dicabut, banyak kalangan menilai bahwa keputusan ini sejak awal dinilai tidak efektif, akhirnya hanya membuang banyak biaya.
Dalam konferensi pers yang dilaksanakan secara virtual, Jokowi menyampaikan ada tiga penyebab yang membuatnya memutuskan membuka kembali keran ekspor CPO dan minyak goreng.
Pertama, harga minyak goreng curah turun dari Rp19.800 per liter menjadi Rp17.200-Rp17.600 per liter setelah CPO dilarang sejak 28 April 2022. Kedua, pasokan minyak goreng juga bertambah di pasaran dari yang hanya 64 ribu ton menjadi 211 ribu ton per bulan.
Ketiga, Jokowi mempertimbangkan belasan juta tenaga kerja yang mencari rezeki di industri sawit. Mereka terdampak karena ekspor CPO dilarang.
“Pertimbangan 17 juta orang di industri sawit baik petani dan pekerja maka saya putuskan ekspor minyak oreng dibuka kembali Senin 23 Mei 2022,” kata Jokowi.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai pencabutan larangan ekspor CPO dan minyak goreng bukti bahwa kebijakan pengendalian harga minyak goreng lewat stop ekspor adalah kesalahan fatal. Harga minyak goreng di level masyarakat masih tinggi, petani sawit dirugikan dengan harga tandan buah segar (TBS) anjlok karena over supply CPO di dalam negeri.
Selain itu, kehilangan penerimaan negara lebih dari Rp6 T, belum ditambah dengan tekanan pada sektor logistik-perkapalan yang berkaitan dengan aktivitas ekspor CPO. Kehilangan devisa sudah terlampau cukup tinggi sebagai imbas pelarangan ekspor CPO yang kemudian mempengaruhi stabilitas sektor keuangan. Pelemahan kurs rupiah terhadap dollar AS di pasar spot sebesar 3 persen dalam sebulan terakhir salah satunya disumbang dari pelarangan ekspor.
“Collateral damage-nya sudah dirasakan ke berbagai sektor ekonomi. Harapannya kebijakan berbagai komoditas kedepannya tidak meniru pelarangan ekspor CPO yang tidak memiliki kajian matang. Cukup terakhir ada kebijakan proteksionisme yang eksesif seperti ini,” ungkap Bhima
Setelah keran ekspor CPO dibuka, Bhima mengatakan kedepannya pemerintah diharapkan mampu mengendalikan harga minyak goreng yang harganya kini mengacu pada mekanisme pasar. Pasalnya, pengusaha yang mengacu pada harga di pasar internasional dikhawatirkan menaikkan harga minyak goreng secara signifikan khususnya minyak goreng kemasan. Selama aturan minyak goreng boleh mengacu pada mekanisme pasar, maka harga yang saat ini rata-rata Rp24.500 per liter di pasar tradisional bisa meningkat lebih tinggi.
Bhima kemudian memaparkan tiga solusi yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah segera setelah pencabutan larangan ekspor dilakukan. Pertama, tugaskan kepada Bulog dan beri kewenangan untuk mengambil alih setidaknya 40 persen dari total distribusi minyak goreng.
Selama ini mekanisme pasar gagal mengatur marjin yang dinikmati para distributor migor. Bulog nantinya membeli dari produsen minyak goreng dengan harga wajar, dan melakukan operasi pasar atau menjual sampai ke pasar tradisional.
Kedua, Bhima menyarankan untuk menghapus kebijakan subsidi pada minyak goreng curah dan menggantinya dengan minyak goreng kemasan sederhana. Alasannya, pengawasan minyak goreng kemasan jauh lebih mudah dibanding curah.
Ketiga, jika masalahnya adalah sisi pasokan bahan baku di dalam negeri maka program biodiesel yang sudah kembali berjalan harus mengalah. Target biodiesel harus segera direvisi, dan fokuskan dulu untuk penuhi kebutuhan minyak goreng.
“Tentu 3 kebijakan ini butuh penyegaran pejabat pelaksana, salah satunya melalui reshuffle menteri yang selama ini gagal menyelesaikan masalah minyak goreng,” jelasnya.
Disambut Baik oleh Petani Sawit
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengklaim harga TBS kelapa sawit di tingkat petani mulai naik usai kebijakan pencabutan larangan ekspor yang akan berlaku pada 23 Mei mendatang.
“Hari ini harga TBS sudah naik mencapai harga yang lumayan, kalau untuk petani swadaya itu sudah Rp2.000 per kg, untuk petani plasma itu Rp2.500 per kg. Namun demikian masih di bawah harga standar yang ditetapkan oleh pemerintah,” kata Gulat dikutip dari Antara (20/5).
Sebelumnya harga TBS di tingkat petani anjlok selama kebijakan pelarangan ekspor smentara untuk CPO dan minyak goreng. Harga TBS di tingkat petani hanya ada di kisaran Rp1.500 hingga Rp1.600 per kg.
Gulat menyampaikan apresiasi kepada Presiden Joko Widodo yang memutuskan untuk membuka kembali kran ekspor CPO dan minyak goreng. Dia menilai bahwa Presiden merespons keresahan petani sawit yang sebelumnya melakukan aksi keprihatinan dengan turun ke jalan pada Selasa (17/5), terkait rendahnya harga TBS.
“Tentu kami memberikan apresiasi kepada Presiden yang merespons dengan cepat,” pungkasnya.
Tambahkan Komentar