RT - readtimes.id

Fahrenheit 451: Kisah Pembakaran Buku dan Kritik pada Hidup Manusia yang Dangkal

Judul : Fahrenheit 451
Penulis : Ray Bradbury
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 08 Oktober 2018
Tebal : 120 halaman

Fahrenheit 451 adalah novel yang berkisah tentang rezim yang totaliter sehingga membenci buku-buku. Buku-buku dianggap membahayakan dan karena itu melanggar hukum. Sebab itulah, petugas pemadam kebakaran pada rezim sejenis itu diberikan pekerjaan untuk memusnahkan buku-buku, membakarnya hingga hangus menjadi abu di bawah suhu 451 derajat fahrenheit. ““Senin membakar Millay, Rabu membakar Whitman, Jumat membakar Faulkner, bakar semua hingga menjadi debu, kemudian bakar debunya.”

Tapi novel klasik bergenre distopia ini juga berkisah tentang manusia yang mulai mengalami kedangkalan dalam hidupnya, kesulitan menemukan makna pada hal-hal sederhana dalam keseharian, dimanjakan teknologi canggih, dan terjebak pada konsumsi banyak hal yang instan. Dan nampaknya cukup relevan dengan kondisi dunia kita saat ini.

Melalui kisahnya yang kian lama kian menegangkan, novel yang ditulis oleh pengarang Amerika, Ray Bradbury, ini mengajak kita merenungkan kembali makna hidup kita. Sekaligus menawarkan satu resolusi atas hidup yang dangkal: buku masih menjadi obat penawar atas hidup manusia yang penuh kejumudan.

Novel yang telah difilmkan ini menghadirkan tokoh utama bernama Guy Montag. Tokoh utama ini menjadi petugas pemadam kebakaran. Tapi, kontradiktif dengan nama pekerjaannya sendiri—pemadam kebakaran—Guy Montag justru ditugaskan menyulut kebakaran dengan membakar buku-buku hingga menjadi abu. Tidak dibiarkan tersisa satu lembar pun, semua mesti hangus terbakar.

Pada mulanya, Montag menjalankan pekerjaannya dengan suka cita, tanpa kendala apa pun, lancar terkendali. Namun semuanya lantas berubah ketika Montag bertemu dengan Clarisse McLellan, gadis muda dengan karakter yang unik dan sedikit aneh. Clarisse mengaku dirinya seorang yang tidak waras. Clarisse mampu membuat kehidupan Montag berubah drastis—yang awalnya membakar buku-buku, kini mulai penasaran dengan buku-buku yang ada.

Clarisse mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan fisolsofis kepada Montag. Seperti hal-hal yang berhubungan dengan masa lalu, embun di atas daun, hal-hal remeh yang nampaknya mulai banyak dilupakan banyak orang. Lalu, ada satu pertanyaan yang lantas membuat Montag tak bisa lagi mengelak dari rasa penasarannya akan buku-buku, “Apakah kau pernah membaca salah satu buku yang kau bakar?”

Pertanyaan itu, barangkali bagi sebagian orang pada masa Montag hidup, adalah konyol dan bodoh. Tapi Montag menyukai pertanyaan itu, dan menyimpannya ke dalam kepalanya. Kesukaannya pada Clarisse semakin dalam ketika Montag diajukan pertanyaan ini, “apakah kau bahagia?”

Guy Montag sebetulnya memiliki seorang istri yang hidup kesehariannya dihabiskan dengan mengkonsumsi tayangan semu di layar kaca di ruang tamunya. Maka dari itu, ketika suatu kali Montag untuk pertama kali menyembunyikan satu buku dari aksinya membakar buku lalu membawanya pulang, istrinya tidak terima karena itu melanggar hukum. Istri Montag sendiri menganggap buku hanya sekumpulan huruf-huruf, tak bermakna.

Aksi Montag ini pada gilirannya tercium oleh rezim. Dan tak menunggu lama: Montag menjadi buronan. Di sinilah bagian tegangnya. Pembaca buku ini akan disajikan dengan rasa penasaran demi rasa penasaran akan nasib Montag berikutnya.

Ada beberapa adegan yang mengiris hati dalam novel ini. Misalnya, tentang seorang perempuan yang rela dibakar oleh Montag bersama koleksi buku-bukunya tanpa rasa takut. Hal-hal seperti itulah, ditambah dengan perkenalannya dengan Clarisse, yang membuat Montag menyimpulkan bahwa ada yang salah dengan pekerjaannya membakar buku-buku.

Ini jenis buku yang bisa kita baca berkali-kali, untuk terus mengingatkan kita akan bahayanya rezim otoriter yang membenci keberagaman dan mendesakkan keseragaman, juga mengajak kita kembali merenungkan arti huruf-huruf dalam buku yang kita baca. Ajaran-ajaran bijaksana tentang dunia akan kita temukan dalam novel ini melalui perkumpulan-perkumpulan rahasia yang berusaha menjaga kebijaksanaan yang di dalam buku—agar kehidupan kita tetap bermakna dan dalam.

Ada ucapan seorang tokoh yang dapat menjadi renungan kita dalam buku ini: buku itu bermakna karena tiga hal—kualitas informasi di dalam buku, buku memberikan waktu luang untuk berpikir, dan kita punya hak untuk bertindak atas apa yang telah kita pelajari dari buku tersebut.

Band Efek Rumah Kaca, dalam lagunya berjudul “Jangan Bakar Buku”, mengatakan, “Karena setiap lembarnya mengalir berjuta cahaya. Karena setiap aksara membuka jendela dunia. Kata demi kata mengantarkan fantasi, habis sudah, habis sudah. Bait demi bait pemicu anestesi, hangus sudah, hangus sudah.”

Dedy Ahmad Hermansyah

35 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: