Hiruk-pikuk dan gegap gempita perayaan Hari Buku Nasional yang jatuh pada 17 Mei lalu masih terasa hingga sekarang. Perayaan yang mulai dipancang sejak 2002 oleh Abdul Malik Fadjar, Menteri Pendidikan Nasional kala itu, mengacu pada momen berdirinya Perpustakaan Nasional yakni pada 17 Mei 1980.
Nah, untuk ikut merayakan gegap gempita tersebut, kami menyajikan lima rekomendasi buku tentang dunia buku ke hadapan pembaca artikel ini. Lima buku yang kami rekomendasikan ini sejatinya telah ditayangkan ulasannya dalam rentang setahun terakhir ini di laman readtimes.id ini. Namun demikian, kami merasa buku-buku tersebut, secara substansi memiliki muatan yang nampaknya menyimpan gaung yang panjang hingga ke masa datang.
Lima buku rekomendasi kami terdiri dari satu fiksi dan empat non-fiksi. Sesungguhnya, ada banyak buku fiksi menarik yang bercerita tentang dunia buku. Tapi untuk kesempatan kali ini kami memilih satu saja. Mungkin di kesempatan berikutnya kami akan menyajikan ke pembaca fiksi-fiksi yang menarik dan penting dibaca.
Baiklah, tanpa memperpanjang paragraf lagi, mari kita mulai berkenalan dengan lima buku rekomendasi kami.
1.Rumah Kertas
Novel tipis ini, edisi bahasa Indonesianya, diterbitkan oleh marjin kiri pada 2018. Di luar kisah utamanya—dalam alurnya novel ini memberikan informasi penting dan menarik kepada kita bagaimana peradaban dunia buku itu bekerja. Kita akan memahami bahwa buku bukan sekadar buku, perpustakaan bukan semata rak-rak dengan buku berderet, namun ada jiwa di sana, ada kisah rahasia tentang orang-orang yang rela berlarat-larat dengan dunia kata, merepotkan diri dengan kemoceng pembersih debu, dan ada para pemburu buku yang ambisius dan ‘gila’.
Dan sebagai ‘bonus’, kita akan dihamparkan bejubel judul-judul buku sastra dunia, khususnya Amerika Latin. Ini tentu saja menjadi informasi menarik buat para pembaca sastra. Apalagi dikisahkan pula bagaimana buku itu ditulis dan diburu oleh para pembacanya. Di sini kita akan memahami bahwa dunia buku nyaris serupa barang komoditi berharga lainnya, seperti emas dan batu mulia, yang diburu, dijual atau dilelang. Dan para pemburu buku sama antusiasnya dengan para pembeli pada acara lelang lukisan terkenal dunia.
2. Buku Buruk yang Baik
Terjemahan bahasa Indonesia buku terbit pada 2022 lalu dan diterbitkan oleh warning books. Ditulis oleh penulis kawakan, George Orwell, sosok penulis yang nyaris komplit: bukan hanya lincah dan tajam saat bicara wacana sosial-politik dalam novel-novelnya, namun sekaligus bisa cerewet tapi bernas saat menjelaskan tetek-bengek dunia kepenulisan dan semesta literasi. Dia mampu menjadi propagandis yang garang, sekaligus menjadi guru menulis yang detail.
“Buku Buruk yang Baik” merupakan kumpulan esai anyarnya dalam Bahasa Indonesia yang membuktikan hal tersebut. Orwell, yang bernama asli Eric Arthur Blair ini, dalam buku cukup tipis ini menyajikan ke hadapan kita esai yang relatif seimbang antara wacana ideologis dan literasi.
Di dalam buku ini kita akan menemukan keisengan Orwell mencari tahu mana lebih mahal: rokok atau buku? Ada juga ulasan Orwell menyangkut kesejahteraan (finansial) seorang penulis, bagaimana sebaiknya penulis mencari nafkah lain di luar aktivitasnya menulis, dan sebagainya.
3. Masa Depan Kita Bergantung pada Perpustakaan, Membaca, dan Melamun
Buku ini bisa dikatakan ‘buku saku’, yang diterbitkan oleh tanda baca pada 2022 (terjemahan Bahasa Indonesia). Dia berisi gabungan tiga pidato tiga penulis—Neil Gaiman, Julian Baggini, dan Maggie Gram—yang terangkum dalam 50an halaman yang bisa dibaca sekali rebahan. Dan terpenting, kendati ketiganya membahas tema berbeda—Gaiman membahas perpustakaan, Julian tentang buku digital atau ebook, dan Maggie soal audiobook—namun memberi kesimpulan yang padu dan apik: literasi adalah soal konten, apapun medianya. Dan dengan keragaman bentuk tersebut, semuanya patut dirayakan.
Ketiga pidato di dalam buku tipis ini membawa kita kepada kesimpulan penting: BUKU, APAPUN BENTUKNYA, MEMANG PANTAS DIRAYAKAN. Mari kita renungi kalimat Gaiman dalam pidatonya, “Saya tidak peduli—dan tak merasa penting apakah buku-buku berupa kertas atau digital, apakah kalian membaca dari gulungan. Kontenlah yang penting”.
4. Mengapa Aku Harus Membaca?
Ini adalah terbitan Gorga Yogyakarta, 2020. Ditulis oleh anak perempuan yang sedang tumbuh remaja, Abinaya Ghina Jamela.
Di dalam buku ini, ada 17 tulisan pendek-pendek yang sebagian besarnya adalah ulasan kritis Abinaya atas sejumlah buku yang dia baca atau film yang dia tonton—sebagian kecilnya berisi curhatan Abinaya sendiri terhadap berbagai hal, mulai dari kesenangannya dalam membaca atau hasil mengamati fenomena sekitarnya.
Kenapa ulasan kritis? Karena Abinaya berani menyatakan penilaian dan pendapat pribadinya atas buku-buku dan film-fim tersebut, jadi bukan sekadar menceritakan ulang dengan sanjung puja-puji atasnya. Dan ini tentu saja mengagumkan sekaligus menggemaskan membaca catatan kritis dari sudut pandang bocah sembilan tahun. Ini sebetulnya sudah nampak dari pemilihan judul-judul esainya. Misalnya, “Herman Hesse yang Membosankan”, esai berisi ulasan buku “Siddharta”. Atau “Roald Dahl Itu Penulis Buku Anak-anak, Tetapi Mengapa Kejam Sekali pada Matilda?”, esai yang mengkritik penulis bernama Roald Dahl. Satu lagi sebagai contoh, “Woody di Toy Story Itu Hiperbolis: Lebih Susah Jadi Anak-anak”, esai berisi pendapat Abinaya terhadap film kartun terkenal tentang dunia boneka, “Toy Story”.
Barangkali bisa dibayangkan, dari judul-judul tersebut, seperti apa Abinaya mengelaborasi tema-tema esainya, karena dari judul-judulnya saja sudah mendedahkan nuansa gugatan atau penilaian kritisnya sendiri.
Saya rasa kita sebagai orang dewasa perlu meluangkan waktu lebih untuk mendengarkan suara batin dan gugatan anak kecil terhadap kita. Jika dirasakan belum punya waktu luang untuk itu, atau mau mencoba, boleh dimulai dengan membaca buku “Mengapa Aku Harus Membaca?” yang ditulis oleh Abinaya Ghina Jamela ini.
5. Kitab Cerita, Esai-esai Anak dan Pustaka
Jika ditelusuri secara dalam, tidaklah banyak buku yang membahas tentang bacaan anak. Dan di antara yang tidak banyak itu mungkin sedikit yang menawarkan analisa yang mendekati komprehensif. Namun, “Kitab Cerita” yang ditulis oleh Setyaningsih dan diterbitkan oleh Babon (2021) ini mencoba mendekati dunia Pustaka anak sepanjang sejarah Indonesia melalui pisau analisa sosial dan politik.
Buku tipis dan mungil ini berisi 12 esai ringkas (plus 1 catatan penutup dari penulis lain) tentang dunia pustaka yang berkaitan dengan semesta anak Indonesia. Ke-12 tulisan dalam buku ini merupakan kumpulan berbagai tulisan penulisnya, Setyaningsih, yang pernah terbit mulai 2018 sampai 2020 di berbagai majalah terkemuka di Indonesia: Majalah Basis, Jurnal Ruang, dan lain-lain. Setyaningsih sendiri adalah pekerja buku dan menekuni bacaan anak yang sudah menghasilkan beberapa cerita anak. Jadi profilnya ini sudah jadi jaminan bagi pembaca jika esai-esai dalam buku ini bakal bernas dan kredibel.
Ulikan tema tulisan-tulisan dalam buku ini beragam, mulai dari persoalan sastra anak (Indonesia), karya terjemahan sastra anak yang viral di masa tahun 80an, kisah penulis Indonesia yang membuat buku anak, dan sebagainya. Dari ragam tema tersebut, persoalan anak (Indonesia) adalah benang merah yang mengikat semua tulisan. Dan benang merah ini akan menghantarkan kita pada bentangan masalah dunia pustaka anak sepanjang sejarah Indonesia.
Nah, bagaimana dengan dunia pustaka anak dewasa ini? Masih perlukah anak diberikan buku fisik dengan cerita yang bisa dibaca dalam suasana tenang tanpa hiruk pikuk Tiktok dan sebagainya?
Nah, demikianlah lima buku yang kami rekomendasikan buat pembaca. Mungkin setiap orang berbeda selera bacaannya, dan itu sah-sah saja. Tapi tak ada ruginya jika pembaca mencoba membaca buku yang kami rekomendasikan, sebagai pemerkaya genre bacaan kita.
Selamat membaca!
36 Komentar