RT - readtimes.id

Orwell Mengajarkan Kita Bersikap Kritis dan Berpihak pada yang Tertindas

Judul : The Road to Wigan Pier

Penulis : George Orwell

Penerbit : Gramedia

Tahun : 2023

Tebal : 300 halaman

Setiap kali ada terjemahan terbaru buku-buku George Orwell ke dalam Bahasa Indonesia, perasaan saya menuntut agar segera memiliki dan membacanya. Batin saya telah siap dengan berbagai gejolak pemikiran tajam dan kritis yang senantiasa hadir di dalam buku-bukunya. Zaman kita saat ini dengan berbagai persoalannya barangkali berbeda jauh dengan dunia yang ditinggali Orwell. Namun dia mewariskan kita cara pandang humanis dalam melihat persoalan, dan mengajak kita untuk selalu berpihak pada mereka yang tertindas.

“The Road to Wigan Pier” kembali, lagi-lagi, dan tak henti-henti, membuktikan hal itu. Buku non-fiksi ini masih menyajikan gaya narasi Orwell yang blak-blakan dan reflektif atas berbagai persoalan sosial, sama nuansanya ketika kita membaca buku non-fiksinya yang lain seperti “Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London”, atau “Bagaimana si Miskin Mati”. 

Menariknya, ada sedikit perbedaan antara “The Road to Wigan Pier” dengan karya non-fiksi Orwell yang lain. Di dalam buku yang terjemahan Bahasa Indonesia-nya diterbitkan oleh Gramedia ini, reportase yang penuh dengan deskripsi pandangan mata  berpadu dan nyaris seimbang dengan bagian refleksi ideologi atas persoalan sosial yang direnungkannya. Itu terlihat dari struktur buku yang dipecah jadi dua bagian, di mana bagian satu berisi narasi reportase, sedangkan bagian dua berisi refleksi.

Apa sesungguhnya yang dideskripsikan dan direfleksikan Orwell dalam “The Road to Wigan Pier”? 

“The Road to Wigan Pier” sesungguhnya adalah catatan Orwell selepas ditugaskan oleh The Left Book Club, sebuah kelompok sosialis di Inggris, untuk menelisik kehidupan para pekerja tambang di daerah utara Inggris. Nah, di bagian pertama sepanjang 152 halaman kondisi miris dan memprihatinkan para pekerja tambang dihamparkan oleh Orwell dengan sangat detail. Sesempit apa kamar tidur para pekerja, bagaimana lapuknya rumah para pekerja, bagaimana lubang sempit tambang mempengaruhi bentuk tubuh bungkuk dan kesehatan para pekerja, dan sebagainya dan seterusnya, ditayangkan dalam narasi yang super rinci—kita seperti berada di sana melihat dan merasakan kondisi para pekerja tersebut.

Ketika Orwell tuntas menggambarkan kehidupan fisik para pekerja, baru kemudian di bagian kedua sepanjang 150an halaman juga—nyaris sama panjang dengan bagian pertama—dengan reflektif dia mencoba menganalisa kondisi kemiskinan dan kemelaratan para pekerja. Selain itu, bagian kedua yang reflektif ini sebetulnya fokus pada praktik sosialisme di Inggris yang masih dinilai oleh Orwell penuh kelemahan di sana sini.

Tapi perlu dicatat di sini, di dalam bagian refleksi ini, Orwell sesungguhnya adalah penganut sosialisme. Pembaca Orwell pasti tahu, bahwa perjalanan hidup Orwell yang pernah bersentuhan dengan praktik kolonialisme Inggris di India, atau persentuhannya dengan kehidupan kelas miskin-papa, membuatnya bersimpati sekaligus menahbiskan diri sebagai seorang sosialis.

Di dalam buku “The Road to Wigan Pier” in, Orwell terang-terangan mengatakan obat mujarab atas persoalan sosial di Inggris adalah sosialisme. Hanya masalahnya, sosialisme yang seperti apa yang sejatinya perlu dipraktikkan yang kemudian diperiksa dan dikritik oleh Orwell. Dia memberikan perhatian kritis pada kalangan sosialis dari kelas menengah yang baginya masih penuh dengan bias kelas, dan sesungguhnya sebagian dari mereka punya motivasi yang tidak betul-betul tulus membela sosialisme. Malah kalangan ini yang justru cenderung melemahkan sosialisme itu sendiri.

Ada bagian-bagian kritik Orwell terkait praktik sosialisme sangat tajam, tapi ada pula bagian di mana dia menghamparkan segenap komentar bahwa sosialisme itu adalah sistem jitu yang akan mengakhiri otoritarianisme. Orwell membuat berbagai perbandingan antara praktik ideologi seperti fasisme dengan sosialisme, atau otoritarianisme dengan sosialisme. 

Intinya, di dalam buku ini Orwell dengan sangat dalam mencoba menjelaskan apa sejatinya sosialisme itu, tapi dengan cara Orwell yang tidak dengan memuja-muja atau memberhalakan ideologi yang dianutnya tersebut—melainkan dengan metode kritik dan analitik. Sangat menarik.

Membaca Orwell barangkali kita tak perlu menyetujui ideologi yang dianutnya. Namun, cara pandangnya yang kritis, dan senantiasa berpihak pada mereka yang lemah dan tertindas, adalah sikap yang perlu kita teladani. Kita diajak Orwell untuk peduli pada kemanusiaan, sekaligus kritis pada keyakinan yang kita anut.

Sungguh bacaan yang menarik buat mereka yang ingin mengasah cara pandang.

Dedy Ahmad Hermansyah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: