RT - readtimes.id

Flexing, Fenomena Pamer Harta yang Jadi Modus Marketing

Readtimes.id–Flexing atau budaya pamer kekayaan di media sosial selain dianggap bersifat arogan dan sombong, tren ini rupanya juga bisa menjadi modus marketing.

Masih ingatkah dengan kasus First Travel yang sempat menggemparkan warganet beberapa tahun silam? Pemilik bisnis travel tersebut sering memamerkan kekayaannya di media sosial. Mulai dari kepemilikan harta benda dan liburan super mewah yang selalu diunggah di media sosialnya.

Akhirnya banyak orang percaya bahwa mereka benar benar pebisnis travel yang sukses dan kaya raya dan ujungnya orang-orang mempercayakan perencanaan perjalanan umrah. Padahal, First Travel adalah perusahaan kedok untuk praktik skema Ponzi dan pencucian uang dengan dalih bisnis travel umrah murah.

Selain itu, baru-baru ini salah satu figur “crazy rich” Indonesia yang dinilai kaya karena trading mulai ramai dibicarakan pengguna twitter karena dituding memalsukan kekayaannya agar para trader percaya dengan kesuksesannya. Akhirnya banyak yang tertipu dan rugi hingga ingin bunuh diri. Inilah bahaya modus marketing yang mengintai dari tren flexing saat ini.

Akademisi dan praktisi bisnis Universitas Indonesia, Rhenald Kasali juga menyoroti budaya flexing pada banyak figur publik di Indonesia. Menurutnya, Justru orang kaya yang sesungguhnya tidak menginginkan dirinya dan hartanya jadi pusat perhatian publik.

“Katanya kaya, tapi kok terlalu dipamerkan. Orang kaya tidak berisik, semakin kaya seseorang maka dia akan menghendaki privasi atas hartanya,” jelas Rhenald dikutip dari kanal Youtube Rhenald Kasali.

Menurutnya flexing digunakan dalam marketing untuk membangun kepercayaan. Hal ini disebut consumer behaviour, yaitu konsumsi yang sengaja ditunjukkan pada orang lain agar orang lain percaya dan menjadi sinyal kepada orang lain untuk memulai bisnis bersama.

Sama seperti dokter atau pakar yang memamerkan sertifikasi yang mereka dapatkan untuk membuat konsumen percaya dan menggunakan jasa mereka, ini juga strategi marketing tetapi bersifat positif.

“Kalau sertifikasi dokter dan kepakaran lainnya juga salah satu strategi marketing, namun karena ada lembaga yang menjamin ya jelas, sedangkan flexing tidak ada jaminan bahwa mereka benar-benar kaya. Heran saja kenapa orang mudah percaya,” jelasnya.

Dalam bidang ekonomi, flexing mirip dengan istilah conspicuous consumption atau menggunakan uang untuk membeli barang dan jasa-jasa yang mewah dengan tujuan menunjukkan status atau kekuatan ekonomi. Dengan begitu, flexing akan menarik perhatian orang.

Saat ini, flexing bukan hanya pada materi-materi konkret, tapi dapat juga terjadi mengenai status sosial, jumlah teman, pengalaman traveling, kecerdasan, dan kesuksesan seseorang.

I Luh Devi Sania

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: