RT - readtimes.id

Gema Panjang Suara Toni Morrison dalam “Perempuan, Ras, dan Ingatan”

Judul                : Perempuan, Ras, dan Ingatan

Penulis             : Toni Morrison

Penerbit          : Tanda Baca

Tahun              : Desember 2022

Tebal               : xxii + 168 halaman

Fakta bahwa Toni Morrison adalah sastrawan penerima Nobel sastra pada tahun 1993, juga seorang feminis, berdiri di barisan depan untuk kerja-kerja menyangkut hak-hak perempuan, membuat buku kumpulan esainya ini begitu tajam dan indah. Tajam dalam mengulas dan mengupas persoalan rasisme dan perempuan, indah dalam menyajikan narasi teks esainya. Nuansa intelektual dan sastrawi berpadu menjadi satu. Benar-benar komplit!

Dalam hamparan 17 esainya di buku ini, pembaca diajak menelusuri genealogi perbudakan dan rasisme di Amerika Serikat, lengkap dengan posisi atau keberpihakan penulisnya yang ditunjukkan dengan tegas dan kritis, sitiran-sitiran karya sastra di berbagai belahan dunia. Meskipun fokus utama tulisan-tulisannya lebih condong pada masalah dalam konteks Amerika Serikat, namun substansi argumentasinya melampaui tempat dan zamannya. Misalnya, ketika Toni Morrison membawa kita pada ulasan perbedaan rasisme dan perbudakan, di mana secuil argumentasinya menyebutkan bahwa perbudakan ada pada sejarah segala bangsa, dan hasilnya tidak selalu berujung pada rasisme.

Toni Morrison sendiri adalah penulis Afrika-Amerika, lahir pada 1931, dan meninggal pada Agustus 2019, pada umurnya yang ke 88 tahun. Ia telah melahirkan sekian novel, cerita pendek, esai, drama, dan lain-lain. Dan persoalan rasisme yang bergejolak di Amerika menjadi tema pentingnya dalam berbagai karya tulisnya.

Ia kerap kali diundang ke berbagai perhelatan dan diminta untuk menyampaikan sambutan atau pun pidato, dari yang berdurasi pendek sampai yang panjang. Beberapa kata sambutan atau pidato tersebut itulah yang kemudian dibukukan dalam buku “Perempuan, Ras, dan Ingatan” ini. Sebab itulah, masing-masing esai di dalam buku memiliki nuansa dan jumlah halaman yang kadang jomplang—ada yang pendek sekali sekitar satu lembar, dan ada yang berlembar-lembar dengan ulikan dan analisa yang cukup dalam.

Esai pertama, “Ancaman” langsung menyodorkan kita pada persoalan rezim otoritarian dengan hubungannya pada kebebasan penulis. “Rezim otoritarian, dictator, despot, seringkali bebal, meskipun tidak selalu. Namun, mereka tak ada yang cukup bebal memberi kebebasan nirbatas kepada penulis berwawasan luas, penulis pembangkang, untuk menerbitkan gagasan atau mengikuti naluri kreatif mereka.” Begitu dia membuka esainya. Ada manifesto yang gagah di sana.

Esai kedua, “Saudara Tiri Cinderella” menghantarkan kita alegori yang manis dalam dongeng Cinderella. Ketika orang-orang fokus pada tokoh Cinderella, Morrison justru merasa tertarik dengan sosok saudara tiri Cinderella yang juga perempuan. Morrison melihat bahwa konteks dunia nyata nampak memiliki kemiripan dengan soal ini, di mana terkadang sesama perempuan saling menjegal dan menjatuhkan. “Saya gusar terhadap kekerasan yang dilakukan perempuan kepada perempuan lain: kekerasan professional, kekerasan persaingan, kekerasan emosional.” Begitu Toni berkata. Lalu ia menutup esainya dengan pernyataan, “Hak-hak perempuan bukan hanya sesuatu konsep, suatu tujuan; melainkan juga suatu urusan pribadi. Ini bukan hanya tentang “kita”; ini juga tentang Anda dan saya. Hanya kita berdua.”

Lalu esai ketiga, “Perempuan, Ras, dan Ingatan”, yang kemudian menjadi judul sampul buku ini, membuka kisah seorang perempuan kulit hitam yang pada 1868 menuntut Senat Amerika membayar tiga tahun gajinya. Tiga puluh tahun kemudian baru kemudian tuntutannya ini diputuskan. Kemudian dari sana Toni Morrison menyinggung persoalan-persoalan yang dihadapi feminisime di Amerika. Di sini lah kita akan mendapatkan seperti apa pemikirannya sebagai seorang feminis.

Lalu esai keempat adalah pidatonya saat menerima Nobel Sastra. Di dalam pidatonya, Toni Morrison membedah fisolofi Bahasa hubungannya dengan kekuasaan dan generasi mendatang. Ini adalah pidato yang sangat menggugah, karena persoalan yang filosofis itu dijelaskan melalui kisah seorang perempuan tua yang buta dan bijaksana.

Esai-esai sisanya masih berkutat dengan persoalan rezim otoritarianisme, rasisme, dan feminisime. Masih menyimpan nuansa tajam dan keindahan yang sama. Malah masih akan ada hal-hal baru dan segar yang ditawarkan, misalnya pendapat Toni Morrison tentang seni dan museum. Sangat menarik.

Jika kita membaca esai-esai di dalam buku ini dengan khusyuk, esai-esai di dalam buku ini akan membawa kita pada perenungan mendalam terkait masalah manusia dan bangsa dewasa ini. Jadi memang benar kata-kata beberapa pengamat karya ini, bahwa isu-isu di dalam buku ini masih tetap aktual dan faktual.

Sungguh kumpulan esai yang akan terus meninggalkan gema panjang bagi pembacanya.

Jabal Rachmat Hidayatullah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: