“Apa yang dilakukan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Donggala yakni sedang menarik anak panah ke belakang untuk melepaskan anak panah tersebut melesat jauh ke depan” (Zulkifli Pagessa)
Oleh : Dr. Rahmad M. Arsyad, M.Ikom (Ketua Kadin Donggala)
Kalimat Zulkifli Pagessa di atas, merupakan kalimat penutup dari rangkaian acara Kadin Donggala Smart Festival Pertama yang kami lakukan 25-26 maret 2022. Festival yang sekaligus menutup rangkaian perjalanan kami bertemu lebih dari 2000 UMKM, 148 Badan Usaha Milik Desa, petani, nelayan dan hampir seluruh kepala desa dan camat, pada 20 (dua puluh) titik se-Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah, selama kurang lebih empat bulan.
Kak Uun Pagessa, begitu saya sering menyapa beliau memang turut serta dalam perjalanan menarik anak panah ke belakang tersebut. Seperti yang diakuinya sendiri di atas panggung malam itu, dari 20 titik yang saya dan rombongan lalui memang Bung Uun Pagessa hanya absen dua kali.
Apa makna menarik anak panah ke belakang yang kami lakukan layaknya kisah Uun Pagessa? Pertama, lewat perjalanan Kadin Donggala Smart yang saya bersama rombongan lalui, dimana mayoritas kafilah kami adalah generasi yang memiliki akar historis orang tua yang berasal dari Kabupaten Donggala, semua benar-benar disadarkan akan realitas yang sering saya sebutkan sebagai ‘momen balik’.
Secara pribadi saya diantarkan pada alur flashback, menyaksikan bayangan, perjalanan almarhum ayah saya di sekitar tahun 90-an. Ketika sebagai guru, beliau dengan sabar menyusuri jalan-jalan sepanjang pantai barat Donggala yang layaknya karya lukisan naturalis Basuki Abdullah yang mempengaruhi kenangan masa kecil kita semua, gunung, pohon kelapa, sungai, sawah dan pantai.
Menikmati teater alam kala senja ketika sunset datang, kapal nelayan pulang membawa ikan segar, membaui aroma pembakaran kopra, tumpukan sabut kelapa yang masih dilihat sebagai limbah, beberapa sisi bidang tanah yang mulai tumbuh jagung, jalan longsor akibat material pasir dan batu yang meluber ke badan jalan, jembatan rusak, dan beberapa diantaranya masih menggunakan kayu atau batang kelapa.
Semuanya, rasanya masih sama khas situasi tahun 80- 90-an pada masa situasi pemerintahan Orde Baru masih berkuasa. Begitu juga ketika kami akhirnya melakukan perjalanan menuju kecamatan-kecamatan di wilayah Banawa yang menjadi pusat pemerintahan, kawasan pergudangan peninggalan Belanda yang tidak lagi terawat, bangunan tua dan semua hal yang sebenarnya mengingatkan saya pada Jalan Braga, Bandung, Jawa Barat.
Momen balik ini, semakin terasa ketika kami bertemu para pelaku UMKM, Bumdes, Nelayan dan Petani. Saya benar-benar rasanya ditampar, ketika selama ini Menulis buku tentang Revolusi Komunikasi, bicara Digitalisasi, Marketing Digital, Algoritma sampai Artificial Intelligence namun justru di kampung halaman almarhumah ibu saya, pelaku UMKM masih penasaran bagaimana cara membuat email, mendownload aplikasi marketplace, membuat NPWP pajak online, sampai mencari petunjuk syarat-syarat Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang sebenarnya berhamburan di mesin pencari uncle google.
Realitas yang saya saksikan dan rasakan tersebut, membuat saya teringat akan karya Jan Van Dijk & Kenneth Hacker: ‘The Digital Divide as a Complex and Dynamic Phenomenon’ atau jika ditafsirkan secara sederhana sebagai ‘Fenomena Kompleks Kesenjangan Digital’.
Kesenjangan digital yang dijelaskan oleh Van Dijk, terjadi akibat akses material seperti jaringan internet yang masih terbatas, pengetahuan dan skill akan akses digital, motivasi dan yang juga terpenting kesenjangan antar pengguna akibat pendidikan dan situasi sosial ekonomi wilayah.
Kesadaran lewat perjalanan upaya menarik anak panah ke belakang tersebut yang membuat saya tersadar akan tanggung jawab sebagai bagian dari “Gen Digital” untuk melesatkan anak panah layaknya harapan Bung Uun Pagessa dan mungkin mayoritas generasi kami.
Perjalanan kedua yang harus kami lakukan dengan menuntut percepatan akses material seperti jaringan internet lewat pemerintah maupun swasta, tidak berhenti melakukan pelatihan dan peningkatan skill publik dan pelaku usaha UMKM, serta tidak berhenti membangun motivasi akan pentingnya upaya menerobos kesenjangan digital yang terjadi.
Tentu, cita-cita untuk percepatan digitalisasi ini bukan pekerjaan yang mudah. Pekerjaan yang menurut seorang sahabat saya adalah pekerjaan 1000 langkah. Tapi saya yakin, ‘lewat kerja keras dan keras kepala’ yang menjadi ciri dari kami sebagai ‘Gen Digital’ saya optimis bukan hanya sarung donggala yang mampu kami dorong menembus pasar digital, bukan hanya 200 UMKM yang kini sudah bisa berjualan produk online, namun lebih jauh petani dan nelayan dari Donggala kelak bisa menembus dan bertransaksi langsung di ‘bursa komoditi’ layaknya ICDX.
Karena sebagai ‘Gen Digital’ kami terlatih untuk berpikir bahwa hidup bukan hanya sekedar mencari makan, kekuasaan, apalagi kesenangan pribadi. Tapi hidup adalah soal kepuasan akan kontribusi dan kolaborasi, serta tentu saja kemanfaatan bagi orang banyak. Layaknya cita-cita negara ini berdiri, ‘mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum’.
1 Komentar