Readtimes.id– Keterwakilan perempuan dalam dunia politik masih menjumpai jalan terjal, kendati sistem pemilu telah memberikan peluang secara institusional bagi kaum hawa.
Data pemilu serentak pada tahun 2019 menunjukkan keterwakilan perempuan di badan legislatif cenderung meningkat dari tahun sebelumnya. Namun, angka tersebut terbilang masih rendah, hanya berada di angka 20, 9 persen. Sementara di eksekutif baru mencapai angka 10,73 persen pada Pilkada 2020. Hal ini masih jauh dari harapan kebijakan afirmasi 30 persen.
Pandangan masyarakat yang melihat perempuan tak cukup mumpuni untuk memimpin, kurangnya keberpihakan partai politik perihal posisi nomor urut strategis saat pencalonan, menjadikan perempuan hanya sebagai pelengkap administrasi parpol untuk lolos menjadi peserta pemilu, menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan saat memutuskan maju melalui partai politik tertentu.
Hal ini diungkap Andi Soraya Widiyasari, Wakil Ketua Komisi Komisi D DPRD Bulukumba, ketika menceritakan pengalamannya saat maju dalam kontestasi pileg 2019 di daerahnya. Sebagai sosok yang baru terjun di dunia politik dan tidak terdaftar sebagai kader sebelumnya, dia mengaku keberpihakan parpol padanya dalam memberikan nomor urut strategis tidak terlepas dari pandangan terhadap latar belakang keluarganya yang sebelumnya pernah menjadi Bupati Bulukumba.
Baca Juga: Selain Pemenuhan Kuota, Keterwakilan Perempuan Penting Perhatikan Kapasitas
“Saya melihat ada dua hal setidaknya Parpol melirik saya saat itu, pertama latar belakang keluarga saya. Kebetulan om saya pernah menjabat sebagai Bupati dan kedua karena saya alumni mahasiswa ilmu politik,” ujar Andi Soraya saat dihubungi Readtimes pada Senin,6 Maret 2023.
Ketika disinggung mengenai pembekalan yang diberikan partai politik, pengakuan Andi Soraya pihaknya tidak dibekali apapun untuk mempersiapkan dirinya menjadi anggota dewan melainkan malah dibebani untuk menyewa saksi karena partai tidak memfasilitasi hal tersebut.
Hal ini yang menurut Andi Soraya tidak mudah bagi setiap calon perempuan yang tidak mempunyai persiapan anggaran yang cukup ketika memutuskan maju bertarung.
Selain harus menghadapi persaingan di partai politik, ketika turun bertemu langsung dengan masyarakat saat kampanye, tidak sedikit masyarakat yang menunjukkan sikap meremehkan karena dirinya sosok perempuan.
“Tidak sedikit juga yang memandang saya sebelah mata karena saya perempuan. Mereka menganggap kita ini tidak luwes saat memimpin atau terjun di dunia politik nanti,” tambahnya.
Sikap yang terkesan memandang sebelah mata ini juga berlangsung ketika perempuan berhasil lolos di parlemen. Menurut Andi Soraya, hal ini bahkan berdampak pada proses menyusun kebijakan pro perempuan.
Misalnya menyisipkan satu isu perempuan di tengah kebijakan pembangunan, perempuan di parlemen tidak bisa berdiri sendiri, mereka harus melakukan lobi secara bersama-sama kendati mereka berasal dari partai yang berbeda.
Pengamat Politik Universitas Al-Azhar, Jakarta, Ujang Komarudin mengungkapkan bahwa pada dasarnya partai politik di Indonesia masih sangat pragmatis dalam melihat perempuan.
Baca Juga : Partai Politik Indonesia dalam Jerat Oligarki dan Disfungsi
“Mereka masih berpandangan siapakah sosok yang memiliki potensi untuk memenangkan partai dan mempunyai modal yang besar. Intinya yang mereka inginkan itu caleg jadi,” ujar Ujang pada Readtimes, Selasa 7 Maret 2023.
Hal ini yang kemudian ia prediksi akan tetap berlangsung pada 2024 nanti. Partai politik masih akan pragmatis dalam mengusung perempuan. Mereka masih akan memposisikan perempuan sebagai pelengkap administrasi semata.
Ketika disinggung mengenai jalan alternatif agar perempuan dilirik dunia politik ketika partai tidak mengutamakan perempuan dan kecilnya kemungkinan untuk melakukan intervensi terhadap partai melalui revisi undang-undang partai politik , Ujang menekankan pentingnya meningkatkan kualitas perempuan melalui pendidikan politik, baik pemilih maupun yang dipilih. Tujuannya, agar perempuan tahu betapa pentingnya kehadiran mereka di dunia politik serta kualitas para pemilih perempuan.
” Jalan alternatifnya melalui pendidikan politik bagi perempuan. Baik untuk calon perempuan yang akan maju atau para pemilih perempuan agar mereka tahu betapa pentingnya ada perwakilan dari kaum perempuan, ” tambah Ujang.
Mengutip buku karya Ruth Indiah Rahayu ” Keberhasilan dan Hambatan Keterwakilan Perempuan di Asia Tenggara” setidaknya ada dua pendekatan yang dapat menjelaskan terkait pentingnya keterwakilan perempuan.
Pertama, pendekatan legalistik, yakni keterwakilan perempuan di Parlemen dan lembaga negara lainnya telah dijamin dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948. Di dalam deklarasi itu dinyatakan semua orang baik laki-laki atau perempuan berhak berpartisipasi dalam pemerintahan.
Kedua, pendekatan keterwakilan substantif, yakni bahwa perempuan dan laki-laki memiliki pengalaman hidup yang berbeda sehingga berpengaruh pada cara pandang dan prioritas isu yang berbeda pula.
Sehingga, untuk menyuarakan isu-isu yang pro terhadap perempuan seperti cuti haid, adanya kamar laktasi di tempat publik, perlu adanya perwakilan perempuan yang duduk dalam bidang politik.
Baca Juga :Kisah Perempuan Dulu dan Kini
38 Komentar