RT - readtimes.id

Jangan Salahkan Rizieq Shihab

Oleh : Rahmad. M. Arsyad

Saya sepakat dengan pernyataan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, “Rizieq Shihab hadir mengisi kekosongan akibat krisis figur kepemimpinan Islam Indonesia saat ini”.

Setidaknya bagi saya ada tiga alat baca yang bisa kita gunakan untuk mengkaji fenomena dibalik mengapa akhirnya sosok seperti Rizieq Shihab mendapatkan simpati yang begitu luas dan kini pelan tapi pasti, mulai mengalami pergeseran wacana dari sosok “Imam besar FPI” menjadi “Imam Besar Umat Islam Indonesia”.

Pertama, momentum. Saya meyakini, seorang aktor atau figur kepemimpinan hadir dan besar karena momentum yang tepat.  Rizieq Shihab hadir di saat momentum ketika organisasi massa Islam Indonesia besar seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah, terlihat ‘kurang mampu’ melahirkan ikon sekaligus representasi ulama dan tokoh yang menjadi simbol kebanyakan Islam Indonesia.

Saya masih ingat betul, beberapa tahun lalu ketika almarhum Abdurrahman Wahid masih hidup dan kerap terlibat ‘konfrontasi wacana’ dengan Rizieq Shihab, mulai dari kasus yang serius, seperti fenomena kekerasan yang kerap dilakukan oleh FPI ketika melakukan Razia tempat hiburan atas nama amar ma’ruf nahi munkar,  sampai kasus remeh temeh ‘Goyang Ngebor Inul’.

Kala itu, harus diakui “Gusdur” senantiasa memenangkan arus wacana besar dan menjadikan Rizieq Shihab layaknya sekedar ‘preman jalanan yang berjubah agama’. Gusdur yang punya massa fanatik dan kemampuan komunikasi dakwah yang mudah dicerna oleh mayoritas umat islam Indonesia, dengan gaya dakwah penuh humor yang disajikan secara ringan, senantiasa berhasil mencerahkan, membimbing, sekaligus mendinginkan suasana kebatinan umat Islam Indonesia.

Persaoalannya, kini baik NU dan Muhammadiyah, menurut saya kurang berhasil melahirkan aktor ulama sekaligus negarawan seperti Gusdur. Apalagi, ada kecenderungan para ulama, tokoh-tokoh ormas Islam yang harusnya sibuk mendidik bersama umat, justru kini cenderung senang sekedar menjadi ‘figuran’ dari rezim kekuasaan.

Kedua, suka ataupun tidak, mesti kita akui kini Rizieq Shihab berhasil tampil menjadi ikon utama dari ‘Oposisi Politik’ bagi Rezim Joko Widodo. Konsistensi sikap oposisi tersebut nampak terjaga dari momentum ke momentum politik yang dilakukan oleh Rizieq Shihab bersama ormas FPI.

Mulai dari momentum Pilkada Gubernur Jakarta yang menjadi panas akibat kasus penistaan agama oleh Ahok yang berujung pada aksi besar 212 sampai pada terpilihnya Anies Baswedan, pembubaran sejumlah ormas Islam oleh pemerintah dan terakhir pada momen pemilihan Presiden dan Legislative 2019, dimana Rizieq Shihab selalu tampil konsisten menjadi oposisi dari kekuasaan yang kala itu berada dalam gerbong Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Sayangnya, kanalisasi suara kritisme publik dan sikap oposisi yang senantiasa terjadi dan lumrah dalam negara demokrasi tersebut tidak tersalurkan oleh kelembagaan politik resmi seperti partai politik. Apalagi, ruang oposisi politik bagi rezim Joko Widodo menjadi tidak bertenaga pasca Prabowo dan Partai Gerindra yang sempat menjadi ikon oposisi rezim, justru bergabung dengan begitu cepat bersama kekuasaan pemerintahan Joko Widodo.

Sementara, parpol seperti PKS dan Demokrat yang kini berada diluar pemerintahan, terasa kurang mampu menarik dan menjadi kanalisasi saluran suara politik bagi sikap kritis atas Rezim kekuasaan. Representasi atas kanalisasi oposisi tersebut, justru tersalurkan lewat Rizieq Shihab dan kelompoknya, serta  menemukan ledakan pasca Rizieq Shihab pulang ke tanah air.

Ketiga, Rizieq Shihab dan rasa keadilan publik. Bicara rasa keadilan publik kita sedang berbicara situasi kebatinan masyarakat. Dalam kondisi saat ini, harus kita akui publik sedang merasakan situasi kebatinan yang berada diluar kenormalan akibat badai krisis yang dibawa oleh pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir satu tahun dan  bukan sekedar hanya membawa wabah namun lebih jauh membawa krisis ekonomi yang mewabah dan menyebabkan himpitan kesulitan ekonomi, pengangguran dan tekanan hidup yang tidak biasa.

Dalam keadaan krisis multi dimensi yang dirasakan oleh rakyat yang begitu meluas, anehnya pengelola negara bertingkah dan bertindak semakin melukai rasa keadilan publik. Layaknya, Menteri sosial  yang mestinya menjadi ‘lambang kehadiran negara’  dalam membantu rakyat yang sedang kesulitan justru malah tersangkut korupsi.

Situasi ini membuat mayoritas rakyat mulai bertanya-tanya,  dimana kehadiran negara, kemana rakyat mesti menyalurkan keluhan dan kesulitan mereka? Apalagi, pasca ‘kasus penembakan laskar FPI di KM 50  yang penuh tanda tanya itu, membuat mayoritas rakyat benar-benar kehilangan akan lembaga,  figur dan  sosok yang bisa mewakili situasi kebatinan yang dirasakan akibat tekanan dan krisis yang terjadi dan semakin turunnya kepercayaan terhadap rezim pemerintah.

Lalu kemana rakyat mesti mengadu dan menyuarakan rasa ketidakadilan yang mereka rasakan?

Jangan salahkan, sebahagian dari rakyat negeri ini akhirnya memilih bersama Rizieq Shihab.

Rahmad M. Arsyad

1 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: