RT - readtimes.id

Kisah Haru dan Bahagia Para Pembelanja Buku

Judul  : Atas Nama Buku Memoar Teladan Para Pembelanja Buku

Penyunting  : Setyaningsih       

Penerbit   : diomedia

Tahun Terbit  : Juni 2017   

Tebal   : 442 hlm

Barangkali kita sudah sering membaca kisah para penulis seputar inspirasi mereka dalam berkarya, atau jatuh bangun para penerbit, atau upaya para penjual buku menggaet para pelanggan. Tapi kisah para pembelanja buku? Dari penelusuran saya di media sosial, bisa dikatakan nyaris bisa dihitung jari kisah mereka yang dihamparkan dalam sebuah buku. Tapi buku “Atas Nama Buku, Memoar Teladan Para Pembelanja Buku” mengisi kekosongan tema tersebut.

Ini buku sederhana, ditulis oleh orang-orang sederhana—setidaknya bukan ditulis oleh para punggawa penulis kelas atas Indonesia yang barangkali terasa akrab buat sebagian besar orang. Para penulisnya berasal dari pusparagam latar belakang—mulai dari pelajar (malah ada satu anak sekolah dasar), mahasiswa, pegiat literasi, sampai dosen. Dari profil ringkas para penulis, sebagian besarnya adalah generasi kelahiran 90an. Masih terbilang muda, bukan?

Dalam pengantar penerbit diungkap jika inisiatif ini datang dari beberapa orang yang bermufakat mengundang para pembelanja buku di Indonesia untuk menulis kisah pengalaman mereka belanja buku. Dari 74 tulisan yang masuk, dua dieliminasi karena di luar tema belanja buku—sehingga tersisa 72 tulisan. Dan dari 72 tulisan tersebut, lalu dipilah lagi menjadi delapan sub-tema: Patriot Buku; Berhutang, Berbuku;  Dari Lapak ke Lapak; Di Haribaan Keluarga; Kutukan Harga; Nyantri di Buku; Pecandu Novel; Suka Duka Pameran.

Dari gambaran sub-tema di atas, kita bisa membayangkan, para penulis buku ini berhadapan dengan kenyataan-kenyataan sederhana dalam kehidupan sehari-hari mereka: berjuang mendapatkan restu keluarga untuk membeli buku, mengunjungi toko buku atau pameran, santri yang mesti sembunyi-sembunyi baca buku di tengah-tengah kewajiban membaca kitab kuning pesantren, berhutang untuk membeli buku, sampai keluhan pada buku yang mahal. 

Meski ditulis oleh orang-orang sederhana, buku ini menyajikan pengakuan jujur dan apa adanya perihal pengalaman mereka. Hanya ada segelintir saja yang (berusaha) menggunakan teknik narasi yang ketat atau canggih. Sebagian besar berkisah apa adanya, langsung ke pokok cerita, nuansa obrolan akrab bersama teman dekat sangat terasa—dengan segala keterbata-bataan kalimatnya. Malah ada yang menulis dalam bentuk surat kepada mantan pacarnya tentang kenangan mereka menghabiskan waktu berdua di perpustakaan ataupun toko buku.

Poin penting dan menarik dalam buku ini adalah informasinya yang berharga yang tak jarang terkadang mengejutkan. Dari 72 kisah para pembelanja buku dalam buku ini, kita akan dihadapkan pada persoalan yang mungkin sudah kita ketahui, tapi luput kita refleksikan. Pertama, buku tanpa pembeli mustahil bisa dikenal. Dan beberapa pembeli atau pembelanja buku ini ternyata punya pertimbangan yang tidak mudah untuk memutuskan membeli sebuah atau beberapa buku. 

Kedua, kita kerap mengabaikan genealogi ataupun perkembangan intelektual para pembelanja buku di Indonesia (misalnya, buku apa yang pertama kali mereka beli dalam hidup mereka lengkap dengan motivasi serta perjuangan membeli buku tersebut). Padahal, dari sinilah kita akan memahami perbedaan belanja buku dengan barang komoditas lainnya seperti pakaian, pernak-pernik, dan sebagainya.

Ketiga, last but not least, buku ini akan menarik kita kembali pada kenyataan pelik persoalan ekonomi yang masih menjadi momok menakutkan bagi pembelanja buku, yang menjadi cermin betapa kebijakan pemerintah belum melirik dunia buku sebagai investasi intelektual generasi bangsa (kertas belum disubsidi, dan pajak terhadap penulis masih belum diatur secara khusus). Sebagian besar kisah para penulis buku ini selalu mengeluhkan mahalnya buku, sehingga ada cerita tentang membuat strategi mencoba mengakal-akali uang belanja sampai ke merayu orang tua sendiri (bisa dibaca pada sub-tema ‘Berhutang, Berbuku’, dan ‘Kutukan Harga’).

Dari ketiga poin di atas, kita akan mendapatkan banyak sekali kisah inspirasi yang lahir dari perjuangan berat para pembelanja buku. Nyaris tidak ada kisah yang mengalir tanpa ada bagian perjuangan. Dari perjuangan tersebut, pada gilirannya, membuat kebahagiaan para pembelanja buku saat mendapatkan buku yang mereka idam-idamkan terasa bagai sinar terang yang menerangi kegelapan. 

Nah, bagaimana dengan kalian: buku apa yang pertama kali kalian beli, dan bagaimana perjuangan kalian mendapatkan buku tersebut? 

Dedy Ahmad Hermansyah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: