Judul : Berumah di Buku
Penulis : Bandung Mawardi
Penerbit : Basa basi
Tahun Terbit : November 2018
Tebal : 136 hlm
Di tengah kepungan dunia media sosial saat ini, bagaimana mungkin masih ada yang betah berumah pada buku—buku jadul pula? Dalam dunia yang kian terdigitalisasi dan serba maya ini, mengapa masih ada yang peduli pada kertas lusuh berumur ratusan tahun? Bandung Mawardi barangkali salah satu anomali dan keanehan tersebut. Ia dengan kukuh meneguhkan dirinya berumah di buku—buku jadul atau lawas.
Sejatinya, buku yang memuat 25 esai pendeknya ini adalah kesan-kesannya dalam pengalaman memburu buku-buku jadul sejak 1998, saat masih duduk di bangku SMA—catat: SMA, usia sangat muda dengan hobi yang tidak biasa. Buku-buku jadul yang dibicarakannya mulai dari era awal abad 19 sampai abad 20. Catatan-catatan ringkas dalam buku ini ditulis dengan gaya sedikit genit secara narasi, dengan pertautan pada kondisi ekonomi-politik-sosial-budaya Indonesia era kiwari ini.
“Aku menaruh buku-buku itu bersama buku-buku lawas dalam lemari baju. Aku ingin buku berubah jadi baju. Aku pun bisa mengenakan baju mengandung sejarah bahasa di negeri terjajah.” Tulis Bandung Mawardi dalam salah satu esainya, “Bahasa (Tak) Merangsang”, yang berkisah tentang satu buku jadul berjudul Kitab Kursus Besar akan Belajar Bahasa Inggris (1937). Bayangkan, buku-buku lawas tersebut ikut menginvasi wilayah lemari bajunya. Gila!
Kutipan di atas hanya salah satu bukti betapa sentimental Bandung Mawardi terhadap buku-buku tua nan lawas. Betapa imajinasinya berlimpah dan mampu menghidupkan tulisan-tulisan ejaan lama dari kertas lusuh dan berdebu yang barangkali bagi sebagian orang layak dibuang dan dibakar. Bagaimana caranya menghidupkan buku-buku jadul tersebut?
Cara sederhana Bandung Mawardi menghidupkan buku-buku lawas tersebut adalah dengan salah satu nya menarik benang merah antara peristiwa di masa lalu dengan peristiwa di masa sekarang. Dan yang menarik adalah hal-hal sepele dan menggelitik rasa ingin tahu kita. Misalnya, ternyata, kebijakan atau perhatian pada penanaman sayur-sayuran atau bunga-bungaan pada pekarangan rumah bukanlah sesuatu yang baru seperti yang diprogramkan organisasi peduli perempuan di desa-desa, tapi sudah pernah diusulkan sejak zaman penjajahan Jepang. Pada tulisannya berjudul “Kenangan di Pekarangan” (1952) yang ditulis oleh Mohamad Abdoel rachman, Bandung mengisahkan betapa pada zaman Jepang kelaparan marak terjadi di kota-kota, sehingga lahirlah kebijakan untuk menanam daerah pekarangan rumah dengan aneka sayur-sayuran.
Hal-hal sepele lainnya misalnya sejarah buku-buku lagu pada era 50an. Contohnya, buku berjudul “Lagu-lagu Lama” (Balai Pustaka 1958), yang berisi banyak lirik lagu lama yang barangkali orang awam tak mampu kenali lagi. Atau juga menghadirkan ke hadapan kita kisah semacam buku perjalanan seputar kesaksian orang Indonesia yang melawat ke luar negeri, tapi menariknya ditulis oleh kalangan yang bisa kita katakan kalangan pejabat. Contohnya, “Melawat ke Barat” (1930) yang ditulis oleh Adi Negoro, dan “Melawat ke Amerika” (1954), ditulis oleh Nj N Aulia-Salim (di sinilah dia menyindir kalangan pejabat saat ini yang justru hanya tahu berpelesiran atau berlibur, alih-alih membuat catatan perjalanan berharga).
Atau contoh lainnya: sejak kapan kursus bahasa Inggris mulai diperkenalkan di Indonesia? barangkali untuk kursus bahasa Inggris saat ini kita mengenal kampung Inggris di Pare. Namun sesungguhnya sekurangnya sejak 1930 an aktifitas memberikan kursus bahasa Inggris telah dilakukan. Buktinya, pernah terbit buku berjudul “Kitab Kursus Besar akan Belajar Bahasa Inggris”, (1937), ditulis oleh Toean T H A Du Mosch dan Toean S Weijl Jr. Untuk siapa buku kursus ini disasarkan? Jawabannya ada pada pengantar buku tersebut: bagi anak-anak negari Azia: Djepang, Tionghoa, Arab, Keling, Benggala, Kodja dan sekalian orang-orang jang berdiam di tanah Hindia dan dairahnja, jang telah mengerti itoe bahasa Melajoe biasa.”
Masih banyak lagi hal-hal sepele yang dikemas dengan unik dan menarik dan menggelitik rasa penasaran kita akan masa lalu. Atau, terakhir, contoh satu ini: barangkali kita tak pernah tahu bahwa ternyata pernah ada partai khusus kaum perempuan. Partai tersebut bernama Partai Wanita Kerakjatan yang diinisiasi oleh Nji Sri Mangunsarkoro bersama dengan Nj MD Hadi Prabowo dan Sri Umyati pada 6 September 1946. Laki-laki boleh bergabung tapi sebatas menjadi anggota penderma.
Begitulah cara Bandung Mawardi menghidupkan kembali buku-buku lawas tersebut sekaligus mengantarkan kita pada kisah masa lalu yang remeh temeh dengan sindirannya pada kondisi saat ini. Dia berhasil menghadirkan nuansa betapa ia terlampau menggandrungi buku, khususnya buku jadul yang tak lazim bagi sebagian orang.
“Ribuan buku lawas hidup bersamaku tanpa pernah ada benci “keterlaluan” dan sengketa “picisan”. Aku ingin buku-buku itu terus ada dan terwariskan ke anak-cucu. Begitu Bandung Mawardi menulis.
1 Komentar