Prolog
Ini kisah sedih dalam dua babak: kisah dua orang pecinta buku saat bencana banjir Desember 2021 lalu di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saya membaginya di sini karena musim hujan nampaknya belum benar-benar reda. Sehingga barangkali dapat menjadi pelajaran dan bahan antisipasi untuk pembaca.
****
Babak Satu
Senin, 6 Desember 2021. Agus Salim menerima kabar dari saudaranya bahwa BTN tempat dia tinggal diterjang banjir.
Hujan turun deras sejak Senin dini hari hingga pagi. Ia mulai was-was. Salah satu yang membuatnya khawatir: ratusan buku koleksinya yang berjejer di dalam rak lemarinya.
Untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Kekhawatiran Agus mewujud kenyataaan—malah lebih parah: rak bukunya berwarna putih jatuh ke lantai, dan seluruh bukunya terendam air berlumpur coklat.
“Seandainya tidak jatuh, kemungkinan masih ada yang selamat dari lumpur. Paling tidak, ada 3 tingkat yg bakalan selamat. Saya sangat sedih,” kisahnya kepada saya.
Air setinggi dua meter dari luapan sungai dekat BTN-nya itu menggenang dari pagi dan baru surut sore harinya. Segera setelah air surut, Agus bersama warga BTN lain yang sempat mengungsi kembali menjenguk rumahnya. Buku-buku ia angkut keluar. Rak ia berdirikan lagi.
Ia sempat mengalami kesulitan mengeluarkan buku-bukunya karena kertas-kertas mengembang sehingga menjepit setiap sisi rak.
Ia terpaku menatap ratusan koleksi bukunya yang basah, lembab, dan coklat.
“Saya mengoleksi buku-buku ini sejak 2003. Termasuk yang paling berharga adalah satu paket Tafsir Al Misbah. Rasanya belum percaya,” tuturnya.
Barangkali untuk berbagi kesedihan dan menghibur diri dengan membuat story dari foto buku-bukunya pada akun media sosialnya dengan menautkan nama penulis buku. “Cuma Tasaro yang membalas story saya dan mengucapkan ikut berduka,” ia bercerita. Tasaro GK, seperti kita tahu, adalah penulis serial novel Muhammad.
Satu bulan sudah peristiwa tersebut berlalu. Ia mengaku tidak trauma, tapi tentu mengambil hikmah. “Saya akan mencari buku baru lagi. Soalnya, buku seperti sudah kayak saudara,” akunya. Kini hampir seluruh koleksi bukunya yang terkena lumpur banjir itu telah ia sumbangkan ke Perpustakaan Sekolah Pedalangan Wayang Sasak, Lombok.
****
Babak Dua
BTN Agus Salim hanya salah satu daerah dari sekian titik yang terkena bencana banjir parah di wilayah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Di antara daerah lainnya:
Perumahan Ayodhya di daerah Meninting, perumahan Montong, perumahan Nirwana senteluk, dan Perumahan Bhayangkara.
Di BTN Ayodhya Meninting seorang teman penulis juga memiliki kisah pilu seperti kisah Agus salim. Saya memanggilnya Ari. Lengkapnya, Arianto Adipurwanto.
Ia sastrawan muda 20 an tahun yang kumpulan cerpennya berjudul “Bugiali” masuk nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa pada 2019.
Sebagaimana Agus, Ari juga sedang tidak menghuni rumah BTN-nya. Ia sedang berada di kampung halamannya di Kabupaten Lombok Utara.
Saat banjir melanda pada Senin, ia bersiap-siap menuju rumah BTN. Namun rupanya, hujan kembali menderas. Kabar-kabar mengkhawatirkan mulai berdatangan lewat media sosial dan pesan seluler.
Ia bersama istrinya menyusun strategi untuk sampai ke rumah BTN. Dan sialnya, kabar lebih terang datang dari iparnya: BTN kebanjiran lengkap dengan video. Dari sana ia sadar, air banjir memang besar sekali.
“Begitu mengetahui BTN terendam banjir, kira-kira sepinggang orang dewasa, kami tentu saja terpikir beberapa kepunyaan yang ada di BTN. Salah satunya saya terpikir pada buku-buku (sebagian besar buku pinjaman yang diminta jaga baik-baik oleh pemilik buku karena itu buku-buku langka),” tutur Ari kepada saya.
Ari baru bisa menuju BTN-nya dua hari setelah banjir. “Saat sampai BTN, banjir sudah reda, yang tersisa hanya tembok-tembok BTN yang ambruk, sepanjang jalan masuk ke BTN saya yang kebetulan berada cukup dalam, saya melihat kasur-kasur yang basah kuyup, bahkan kepada seseorang yang saya tanyai mau diapakan kasurnya, dia bilang mau dibuang, karena sudah rusak. Saya lihat juga ibu-ibu sibuk mencuci pakaian-pakaian mereka yang terendam lumpur,”kisahnya panjang lebar.
Buku-buku koleksinya sekitar 30-an buku juga ikut terendam banjir. “beberapa buku hasil catatan tangan juga, yang isinya tanggapan-tanggapan tentang buku yang dibaca atau tentang apa saja, dan juga tulisan-tulisan tentang ide-ide cerita yang mungkin saja berguna,” sambungnya.
Buku-buku catatan tersebut tak ada satupun yang bisa diselamatkan. “Barangkali karena jenis kertasnya berbeda dibanding buku-buku bacaan. Dan juga mungkin karena menggunakan pulpen, tulisannya jadi mengabur, dan tak terbaca. Tulisan didalamnya macam-macam. Salah satunya bisa dikatakan rencana tulisan,” terangnya lebih jauh.
Apakah Ari trauma? “Saya sudah terbiasa buku-buku saya terkena musibah. Waktu gempa 2018 buku-buku saya juga rusak tertimpa runtuhan bangunan,” jawabnya. Saya tak tahu, apakah ia sedang berkelakar atau serius. Saya tak bisa bayangkan orang tidak trauma seusai buku-buku catatan pentingnya raib tanpa sisa oleh banjir.
****
Epilog
Banjir memang tidak mengenal belas kasih. Apa pun yang mungkin diterjangnya, ia terjang. Tak terkecuali buku-buku. Buku-buku sungguh benda rapuh di hadapan banjir. Semaksimal apapun kita berupaya menyelamatkannya seusai basah, kondisinya tak akan lagi sama.
Tambahkan Komentar