
Judul : Toba Tek Singh
Penulis : Saadat Hasan Manto
Penerbit : Trubadur
Cetakan : 2021
Halaman : xviii+135 hlm
Sebelum India dan Pakistan terpisah pada 1947 melalui satu peristiwa yang dikenal dengan Partisi, dua negara ini masih bersatu dan bercampur antara Islam dan Hindu. Ketika Partisi terjadi, banyak kisah miris yang mengikutinya: pembunuhan, pengusiran, pengungsian, dan sebagainya. Sampai saat ini masih ada trauma yang terekam lalu diabadikan dalam berbagai media, baik film maupun buku. Kumpulan cerpen “Toba Tek Singh” yang ditulis oleh sastrawan kondang India, Saadat Hasan Manto, adalah salah satu yang ‘mengabadikan’ peristiwa itu dengan caranya sendiri.
Saadat hasan Manto barangkali sastrawan yang namanya tidak begitu familiar bagi pembaca Indonesia. Orang-orang lebih mengenal Arundhati Roy atau Jhumpa lahiri, dua sastrawan India yang paling banyak diterjemahkan karya-karyanya ke dalam Bahasa Indonesia. Sementara Manto tidak banyak dibaca atau dibicarakan—padahal dia mendapatkan banyak pengakuan dari penulis-penulis sohor dunia. Di buku terjemahan Indonesia yang saya ulas ini, ada semacam pengakuan dari Salman Rushdie, “Master cerita pendek India modern yang tidak perlu diperdebatkan lagi.”
Manto dan Partisi, dua hal yang tak terpisah. Manto mengalami peristiwa berdarah tersebut, merasakan mirisnya, dan menanggung amarah hingga akhir hidupnya. Jadi saat dia menulis cerpen-cerpen yang berlatar peristiwa tersebut, sebelumnya tak ada jarak di sana. Tak cuma itu, melalui cerpen-cerpennya, Manto sedang mengabadikan penilaiannya terhadap Partisi tersebut.
Manto sendiri kelahiran Ludhiana, Punjab, India (1912—1955). Ia memang dikenal khusus sebagai cerpenis yang banyak mengetengahkan isu-isu di seputar Partisi sebagai tema besar novelnya, meskipun ia juga juga banyak menulis cerpen dengan isu seks dan seksualitas. Kehidupannya sendiri telah diangkat menjadi film, dan tidak tanggung-tanggung sampai dua kali difilmkan, pada 2015 dan 2018, dengan judul yang sama: Manto.
Baiklah, mari kita langsung membicarakan kumcernya ini. “Toba Tek Singh” diterjemahkan dari “My Name is Radha: the Essential Manto” dan diterbitkan oleh Penguin India pada 2015. Di dalam kumpulan cerpen yang relatif tipis ini—hanya 135 halaman—Manto membawa kita bertualang dalam delapan cerita pendeknya. Empat bertema Partisi (, dan empat sisanya bertema seks dan seksualitas.
Mencekam dan mendebarkan: dua kesan inilah yang tersaji dalam narasi cerpen-cerpennya, khususnya empat yang pertama yang mengetengahkan persoalan di kisaran Partisi. Kritis dan berani: dua kesan lain lagi menyangkut tema dan premis ceritanya. Misalnya, dalam cerita pertama, “Toba Tek Singh”. Idenya menggelitik, tentang rencana pertukaran orang gila Muslim dan Hindu antara dua pemerintah: India dan Pakistan. Orang gila muslim yang berada di rumah sakit jiwa di daerah Hindu akan dipertukarkan dengan orang Hindu yang bermukim di rumah sakit jiwa di daerah muslim. Di dalam cerpen ini tokoh-tokohnya dengan level kegilaan yang beragam menyatakan ketidaksetujuan dan keberatan, dan ada juga yang acuh tak acuh.
Di dalam cerpen 12 halaman ini, melalui mulut tokoh-tokohnya, Manto seperti hendak menggugat peristiwa Partisi tersebut. Dia menggugat para elit di kedua pihak—Islam dan Hindu—yang menyulut peristiwa tersebut, mengecam mereka. Manto nampaknya geram dan merasa bahwa pemisahan itu tidak masuk akal, hanya menyisakan rasa sakit dan membuat keluarga dan persahabatan menjadi tercerai-berai.
Cerpen “Toba Tek Singh” ini berakhir secara tragis: salah satu tokohnya bernama Bishan Singh (yang biasa disebut Toba Tek Singh). Bishan Singh menolak dipindahkan. Bishan Singh masih terus berharap keluarganya akan datang menjenguknya. Dia merindukan anaknya dan ingin berjumpa dengannya. Dia mencari satu daerah yang bernama Toba Tek Singh, yang konon daerah yang bukan India bukan pula Pakistan. Dia meninggal saat hari pertukaran orang gila terjadi, tepat di daerah perbatasan antara India dan Pakistan.
Cerpen lainnya, “Wasiat Gurmukh Singh”. Kisah ini menggambarkan bagaimana kebencian karena perbedaan agama dapat menghapus rasa kasih kemanusiaan. Cerpen ini berkisah tentang satu keluarga Hakim Sahib yang muslim yang hidup dan di tengah-tengah mayoritas Hindu. Saat peristiwa Partisi terjadi, dia menolak pindah dan berharap keadaan akan segera membaik.
Sayang sekali, keadaan tidak juga membaik. Drama mulai muncul saat di tengah-tengah ketegangan ada yang mengetuk pintu rumahnya. Hakim Sahib saat itu tiba-tiba diserang stroke. Anak-anaknya tak tahu harus berbuat apa. Kejadiannya tepat di hari Idul Fitri.
Yang mengetuk pintu adalah anak Gurmuk Singh. Gurmuk Singh baru saja meninggal dunia, dan merupakan sahabat karib Hakim Sahib. Hakim Sahib banyak membantu orang di daerah tersebut, termasuk si Gurmukh Singh. Setiap malam Idul Fitri Gurmukh Singh biasa mengantarkan sevaiyan, semacam persembahan kepada Hakim Sahib yang berbeda agama dengannya. Dan dia mewasiatkan agar anaknya tetap mengantarkan persembahan itu meski dia sudah meninggal dunia.
Namun, rupanya itu persembahan terakhir yang bisa disampaikan keluarga Gurmukh Singh kepada keluarga Hakim Sahib. Karena sesudah itu, orang-orang Sikh siap-siap mengeksekusi mereka—mungkin akan dibunuh atau diusir.
Ketegangan serupa akan kita temukan pada cerpen-cerpennya yang lain di buku ini. Betapa kemanusiaan kalah di hadapan kebencian berwajah agama. Buku yang sayang sekali untuk dilewatkan.