Judul : Penghancuran Buku dari masa ke Masa
Penulis : Fernando Baez
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun terbit : 2021
Tebal :xiv+410 hlm
Ternyata, perilaku melarang, menyita, menghancurkan, dan membakar buku bukanlah khas fenomena dunia modern, sebagaimana seringkali kita simak dan baca dari berita-berita media massa. Upaya destruktif itu rupanya telah berlangsung dan merentang selama ribuan tahun di berbagai tempat di dunia, di berbagai bangsa, di berbagai masa. Malah saat kertas yang kita kenal sekarang ini belum ada, saat tulisan ditulis di atas media tablet dari tanah yang dibakar, upaya pemberangusan dari pihak tertentu telah ada dan masif.
Itulah fakta-fakta yang mencengangkan yang ditulis oleh Fernando Baez dalam bukunya yang fenomenal, “Penghancuran Buku dari Masa ke Masa”. Buku yang pertama kali terbit di Spanyol tahun 2004 ini (dengan judul historia universal de la destrucción de libros. De las tablillas sumerias a la Guerra de Irak) menyajikan informasi soal dinamika dunia—persentuhannya dengan berbagai aspek, dari budaya, ekonomi, sampai politik—dengan begitu kaya.
Saya sebagai pustakawan pada perpustakaan komunitas mini dan sederhana sangat merasa mendapatkan pengetahuan yang lebih jauh bagaimana buku dikelola, dijaga, dibaca, dan disebar dari orang ke orang lain, dari satu tempat ke tempat lain lagi, dari satu masa ke masa berikutnya. Selain itu, yang lebih reflektif lagi, buku yang ditulis pakar buku dan perpustakaan asal Venezuela ini membawa saya pada perenungan bahwa betapa perilaku manusia pada upaya penghancuran buku mencerminkan sifat atau wajah buas manusia yang memusuhi dunia pemikiran dan dikerangkeng kepentingan politik.
Dunia politik-kekuasaan di hadapan buku
Saya menangkap kesan betapa kuat pengaruh politik-kekuasaan sebagai salah satu faktor utama penghancuran buku. Kekuatan militer maupun koalisi politik tidaklah lebih penting pengaruhnya pada ancaman kekuasaan. Buku, justru jadi musuh yang laten yang dapat memporak pandakan fondasi sebuah kekuasaan.
Biasanya, kisruh politik ataupun terjadinya sebuah revolusi di berbagai negara nyaris selalu diikuti dengan penghancuran buku-buku. Penulis buku ini sendiri menyaksikan bagaimana buku dibakar (dan museum-museum dirusak) di Irak saat pasukan Amerika Serikat menggempur Baghdad.
Kita di tanah air sendiri sebetulnya akrab dengan kisah-kisah pelarangan dan penghancuran buku oleh berbagai kelompok, yang sebetulnya punya irisan yang sama dengan kepentingan kekuasaan. Ambil contoh, buku Pramoedya Ananta Toer yang beberapa judulnya dilarang beredar dan para pembacanya diburu oleh kekuasaan rezim militer Orde Baru.
Nah, di dalam buku ini, kita disajikan kisah kronologis dari era paling tua peradaban, seperti di daerah Sumeria, Mesir, hingga abad modern. Cobalah baca dengan teliti, kita akan mendapati fakta bahwa nyaris di semua peradaban, fenomena penghancuran buku berasal dari perintah orang-orang yang berkuasa. Rezim fasis Hitler di Jerman membakar buku-buku yang dianggap membawa paham komunisme dan cenderung berpihak pada ras yahudi. Dalam sebuah film tentang Nazi, ada adegan dimana buku-buku diangkut ke tengah kota lalu dibakar ramai-ramai sambil menyanyikan lagu kebangsaan. Semua penghancuran buku itu berada di bawah perintah Joseph Goebbels, menteri propaganda Hitler.
Pola yang sama—di mana penguasa memerintahkan untuk menghancurkan buku—juga terjadi peristiwa dibakarnya perpustakaan Alexandria, Israel, Yunani, hingga daratan China. Siapapun yang berkuasa pada masa itu cenderung memandang buku sebagai salah satu musuh yang kuat. Dan saat tiba masa mereka merasa perlu membakar buku-buku, maka terjadilah pembakaran itu.
Sebetulnya buku ini lebih kaya dari sekadar menawarkan kesimpulan bahwa kekuasaan lebih sering membakar buku dibandingkan yang dilakukan oleh orang awam. Namun buku ini juga berisi bagaimana orang-orang baik, seperti pustakawan, berupaya keras dan tulus untuk menjaga buku-buku tetap lestari. Karena bagi mereka, dunia buku adalah rekaman sejarah yang penting tempat kita belajar untuk menjadi bijak.
Saya pikir buku ini terlalu penting untuk diabaikan. Ini bukan hanya penting dibaca oleh kalangan yang sehari-hari bergelut dengan dunia buku—seperti pustakawan—namun juga penting juga dibaca oleh umum, agar bisa menarik pelajaran sekaligus motivasi untuk bersama-sama menjaga dunia buku. Karena seperti salah satu potongan lagunya band Efek Rumah Kaca, “Jangan Bakar Buku”:
“kata demi kata mengantarkan fantasi, habis sudah! Bait demi bait pemicu anestesi , hangus sudah!”
1 Komentar