RT - readtimes.id

“Konferensi Musim Sejagat”, Dongeng-Dongeng Ekologi dari Dunia Sungai

Judul : Konferensi Musim Sejagat
Penulis : Setyaningsih dan Nai Rinakat
Penerbit : Lingkarantarnusa
Tahun : 2023
Tebal : 48 halaman

Readtimes.id — Barangkali gambaran tentang sungai yang bersih, tempat anak-anak bermain, mandi, dan memancing berbagai jenis ikan, sudah tak ada lagi setidaknya satu dasawarsa terakhir ini. Sungai-sungai yang beredar di dalam berita-berita adalah tentang banjir, sampah plastik menggunung, kotoran menjijikkan, atau bahkan tentang kekeringan.

Sungai di masa lalu adalah tentang nostalgia indah; Sungai di masa sekarang adalah realita malapetaka.

“Konferensi Musim Sejagat” adalah buku berisi enam cerita unik yang menawarkan kita dongeng-dongeng ekologi dari dunia sungai. Kisah-kisah yang ditulis oleh Setyaningsih dan Nai Rinakat ini menghidupkan sungai sebagai habitat yang menyerupai kehidupan manusia itu sendiri. Buku tipis ini menyajikan satu perspektif baru yang imajinatif untuk menggugah kesadaran kita dalam menjaga lingkungan kita.
Jika ingin menguji sendiri klaim-klaim di atas, cobalah layari enam cerita di dalamnya: “Kota Pepe”, “Hantu Sampah”, “Konferensi Musim Sejagat”, “Vionisa dan Kedip”, “Idan Takut Air”, dan “Pohon Detektif”. Keenam cerita tersebut mengajak kita merenungi masalah-masalah yang menyangkut dunia sungai, dan lebih jauh menyinggung hal-hal di seputar masalah perubahan iklim sekarang ini.

“Kota Pepe adalah kota terbesar di antara kota-kota yang berada di sepanjang aliran sungai. Di sana, tinggal keluarga-keluarga ikan wader, cetul, sepat, gabus, lele, sapu-sapu, juga kepiting dan keong.” (hlm 7). Begitulah cerita pertama di buku ini membuka kisahnya. Namun, 50 tahun kemudian, keadaan berubah di Kota Pepe. Kota yang dulunya jaya dan meriah dengan berbagai pesta dan acara, kita hanya berupa ketidakpastian.

Cerita “Kota Pepe” ini berakhir dengan sedih. Satu demi satu warga kota pergi, “Keluarga ikan wader, sepat, gabus, sapu-sapu, bahkan keong dan keluarga ikan lele juga meninggalkan kota.” (hlm 12). Cerita ini mengajak kita berpikir apa yang akan terjadi jika makhluk-makhluk yang menghuni habitat sungai hilang entah ke mana.

“Hantu Sampah” berkisah tentang imajinasi bagaimana sekiranya sampah-sampah di sungai benar-benar menjadi hantu. “Benda itu seperti hantu Casper, tapi sekujur badannya mencuatkan aneka sampah. Pampers, kulit telur, kresek hitam, plastic putih, tali rafia, botol frestea, gelas aqua, bungkus es krim, batok kelapa, ranting pohon, sedotan,…” (hlm 20).

“Konferensi Musim Sejagat” yang menjadi judul sampul adalah cerita yang kuat menyindir ulah manusia merusak lingkungan namun paling sering mengeluh. Kisah ini sangat menghibur dan penuh makna. Kisah di dalamnya barangkali akan mengingatkan kita pada mitos-mitos Yunani Kuno tentang dewa-dewa yang mempengaruhi fenomena alam.

Di dalam “Konferensi Musim Sejagat”, dewa-dewa yang berperan dalam perubahan iklim bertemu setiap sepuluh tahun sekali. Ada Dewa Empat Musim, Dewa Musim Kemarau, Dewa Musim Hujan, Dewa Pohon, Dewa Sungai, Dewa Tanah, Dewa Angin, Dewa Pencakar Langit, Dewa Badai, dan masih banyak lagi.

Pada pertemuan yang diceritakan pada cerita ini, yang bertempat di kediaman Dewa Hujan, para dewa berkeluh kesah tentang manusia yang sikapnya berubah akhir-akhir ini. “Akhir-akhir ini, manusia marah-marah padaku,” leuh Dewa Musim Hujan. Awan mendung muncul di atas kepalanya. “Suatu hari, aku menurunkan hujan di kota-kota Indonesia. Hujan seharian penuh! Lalu, air sungai meluap, banjir deh! Di mana-mana, orang-orang mengeluh. Di twitter, Facebook, Instagram. Heran! Dulu, semua orang bahagia menyambutku.” (hlm 24).

“Vionisa dan Kedip” menyajikan kita cerita menyentuh tentang percakapan singkat antara Vionisa dengan ikan cupangnya bernama Kedip. Melalui kata-kata si Kedip kita akan mengerti bahwa manusia sebaiknya memahami arti pentingnya habitat bagi hewan-hewan. “…Kalau kamu mau membantuku, lepaskan saja aku di sungai besar. Kamu setiap hari lewat sana kan kalau berangkat dan pulang sekolah? Sungai itu pasti membawaku ke sungai-sungai kecil menuju rumahku.” (hlm 32).

Sementara itu, “Idan Takut Air” memberikan kita kisah sedih seorang anak bernama Idan yang takut air setelah ayahnya hanyut oleh banjir. Awalnya, teman-temannya mengejeknya dengan sebutan “Si Kulit Tahan Air” karena Idan sempat ragu untuk ikut arum jeram bersama teman-temannya saat libur sekolah.

Lalu teman-teman Idan jadi mengerti saat Idan bercerita melalui gambar yang dia buat, “Ini sungai yang meluap satu tahun lalu.. Ini rumahku, dulu, pas di pinggir sungai,”….Banjir datang tengah malam, bapak mbangunin aku dan Ibu…Ibu, Bapak, aku lari…Terus Bapak… terpeleset…Sungai makan Bapak…” (hlm 42).

Dan cerita terakhir, “Pohon Detektif”, barangkali satu-satunya kisah yang bernada gembira dan penuh optimisme. Tersebutlah sekelompok anak yang sekelompok bocah kecil yang senang bermain pada satu pohon yang mereka namakan Pohon Detektif. Diceritakan mereka menamakannya seperti itu karena mereka terobsesi dengan Upin-Ipin edisi detektif.

Anak-anak ini sering menolong warga setelah mereka memecahkan teka-teki dari atas Pohon Detektif mereka. Mereka segera meminta tetangga yang tidak segera mengamankan jemuran padahal hujan akan turun. Atau membantu warga yang kehilangan ayamnya.

Nah, di akhir cerita “Pohon Detektif” ini, kisah berakhir dengan jasa anak-anak ini yang segera memberitahu pak RT untuk berjaga-jaga dari luapan sungai.

Begitulah, Setyaningsih dan Nai Rinaket menghamparkan kita kisah-kisahnya yang sederhana namun menawarkan perspektif baru dalam melihat fenomena ekologi dari dunia sungai. Kita memang butuh untuk terus menghadirkan cara pandang baru agar tidak terjebak pada sikap pengabaian dan meremehkan masalah perubahan iklim dewasa ini.

Dan buku ini, yang cocok dibaca oleh anak-anak maupun orang dewasa, telah menuntaskan tugasnya dengan baik.

Dedy Ahmad Hermansyah

11 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: