readtimes.id– Penangkapan Bupati Musi Banyuasin, Dodi Alex Noerdin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) kembali membuka sisi gelap praktik dinasti politik Tanah Air. Komitmen partai politik kembali diperlukan untuk mengatasinya.
Hal ini tidak lain belajar dari banyaknya kasus yang berulang. Seperti diketahui kasus Dodi bukan yang pertama, sebelumnya ada Tubagus Chaeri Wardana, saudara laki-laki Ratu Atut Chosiah (Gubernur Banten 2007-2017) yang juga ditangkap karena korupsi. Suami Wali Kota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany, ini terbukti menyuap mantan Ketua MK, Akil Mochtar, dalam sengketa pilkada Kabupaten Lebak dan Provinsi Banten serta korupsi pengadaan alat kesehatan Tangerang Selatan, kasus yang sebelumnya juga membuat Ratu Atut harus diperiksa KPK.
Selanjutnya ada nama Rita Widyasari, Bupati Kutai Kartanegara yang 2017 lalu terjerat kasus gratifikasi perizinan proyek. Akibatnya, Rita divonis 10 tahun bui dan denda Rp 600 juta serta pencabutan hak politik 5 tahun oleh Pengadilan Tipikor.
Diketahui Rita merupakan putri mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Syaukani Hasan Rais yang divonis 6 tahun dan denda Rp 250 juta oleh Mahkamah Agung karena kasus korupsi pembebasan lahan Bandara Loa Kulu.
Rentetan kasus korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah yang memiliki jalinan kekerabatan dengan petahana ini menuntut adanya komitmen dari partai politik untuk meminimalisir angka kasus tersebut, mengingat saat ini tidak ada regulasi atau aturan yang melarang praktik dinasti politik seperti yang diterangkan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin.
Patut diketahui ini terjadi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang menguji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berawal dari permohonan Anggota DPRD Kabupaten Gowa Adnan Purichta Ichsan yang juga berstatus anak Bupati Gowa saat itu, Ichsan Yasin Limpo tahun 2015. Saat itu Adnan merasa langkahnya terhambat untuk maju menjadi kepala daerah melalui partai Golkar karena adanya aturan dalam Pasal 7 huruf r UU 8 Nomor 2015 tentang persyaratan calon kepala daerah tidak diizinkan memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Baca Juga : Budaya Dinasti Politik di Indonesia
Setelah mempertimbangkan permohonan tersebut, akhirnya MK memutuskan beberapa hal, salah satunya adalah terkait pasal 7 huruf r beserta penjelasan Pasal 7 huruf r UU Pilkada tersebut pada dasarnya dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945 yang menjamin bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan serta kebebasan setiap orang dari tindakan diskriminatif.
Alhasil melalui putusan MK tersebut, praktik dinasti politik menjadi sesuatu yang legal di Indonesia hingga sekarang.
“Sehingga satu-satunya harapan adalah mendorong agar partai politik dalam internalnya harus berkomitmen dengan melakukan pembatasan untuk meminimalisir munculnya politik dinasti,” terang Ujang
Hal ini bisa mulai dilakukan pada kepengurusan partai politik dengan melarang anggota keluarga berada dalam struktur partai politik. Seorang ketua umum partai politik tidak boleh digantikan oleh anggota keluarganya. Kendati jika terpaksa harus diganti oleh anggota keluarga syaratnya harus memberikan jeda satu periode jabatan ketua umum kepada orang lain.
Persoalan yang jelas ujungnya akan menuntut adanya perubahan pada undang-undang partai politik. Sebuah undang-undang yang tidak pernah lagi direvisi itu, meskipun telah menimbulkan segudang persoalan pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ ART ) yang membuat partai cenderung oligarkis dan melanggengkan praktik dinasti politik. Baik dalam kepengurusan partai dan di saat mengusung calonnya dalam bursa pemilihan.
Baca Juga : Parpol Kita dalam Kuasa Undang-Undang dan Kemenkumham
Kendati demikian jika melihat partai politik hari ini tentu hal itu adalah komitmen yang akan sangat sulit terwujud menurut Ujang Komarudin, mengingat masing-masing partai politik yang mendudukkan anggotanya di kursi legislatif maupun di eksekutif memiliki kepentingan di balik praktik dinasti politik tersebut.
Bagaimana pendapat anda?
Tambahkan Komentar