Judul : Musik Revolusi Indonesia
Penulis : Wisnu Mintargo
Penerbit : Ombak
Tahun terbit : 2008
Tebal :xvi+108 hlm
Perjalanan lagu Indonesia Raya tidaklah mulus sampai kemudian disahkan secara resmi menjadi lagu kebangsaan Negara Republik Indonesia. Namun, awal diciptakan oleh Wage Rudolf Supratman (1903—1908) dan diperkenalkan pertama kali di hadapan publik pada Kongres Sumpah Pemuda II pada 28 Oktober 1928 hingga akhir masa kolonialisme, lagu mars ini telah melewati berbagai perombakan lirik, dicekal dan dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda dan Jepang, kendati demikian diam-diam terus dilantunkan khususnya oleh kaum muda nasionalis untuk menjaga semangat patriotisme mereka.
Buku tipis ini mengangkat tema bersejarah tersebut bersama kasus lagu kebangsaan lainnya, seperti padamu neg’ri, maju tak gentar, dan Halo-halo Bandung. Tapi saya akan fokus pada perjalanan lagu Indonesia Raya saja, mengingat ini masih Agustus, bulan kemerdekaan bangsa Indonesia, dan lagu tersebut masih sering diputar di pelosok-pelosok, mengiringi acara lomba hari kemerdekaan.
Barangkali kita tak pernah terpikir betapa besar peran lagu dalam masa revolusi Indonesia. Aspek sosial dan politik, atau perang melawan penjajah, terlalu mendominasi buku sejarah. Pemahaman umum tentang lagu kebangsaan sebatas nama penciptanya. Padahal, lagu menjadi media propaganda jitu dalam era modern di berbagai negara untuk membangkitkan semangat patriotisme. Tak terbayangkan bagaimana nuansanya sebuah kemerdekaan tanpa lagu perjuangan.
W.R. Supratman salah satu yang paling sering disebut namanya karena ciptaannya, “Indonesia Raya”. Meskipun dia seniman, rasa nasionalismenya tinggi. Itu berkat kedekatannya dengan tokoh pergerakan saat menjadi jurnalis. Jiwa nasionalismenya, jika dibicarakan sekilas, sesungguhnya lahir dari semacam dendam di masa lalunya. Dia masuk sekolah untuk anak Belanda atas peran suami kakaknya yang orang Belanda, namun dia dikeluarkan setelah diketahui bukanlah anak Belanda tulen.
Perjalanannya bermusik terus dikebambangkan sejak lulus dari sekolah pendidikan guru di Noormalschool. Lalu pada 1923 ia mengajar sebagai guru di Makassar. Pada saat ini ia mendirikan perkumpulan jazz bersama lima temannya. Perkumpulan musik itu dinamakan Black and White, dan sangat terkenal pada masanya.
Namun setahun kemudian, pada 1924, W.R. Supratman meninggalkan Makassar beralih ke pulau Jawa. Sampai kemudian ia membaca satu artikel dalam surat kabar Fajar Asia yang salah satu kutipannya menyinggung perasaannya sekaligus mengunggahnya melakukan sesuatu. Begini isi kutipan artikel tersebut: “mana ada komponis bangsa kita yang mampu menciptakan lagu kebangsaan yang dapat menggugah semangat rakyat.”
Dari artikel tersebut, lalu terciptalah lagu Indonesia Raya. Lagu tersebut kemudian diperdengarkan kepada tiga sahabatnya, Sugondo Joyopuspito, Mononutu dan A. Sigit (hlm 22). Setelah lagu itu dipelajari, disimpulkan Indonesia Raya sesuai dengan kriteria lagu kebangsaan. Lalu pada Kongres Sumpah Pemuda II lagu itu diperkenalkan.
Namun perjalanannya kemudian diisi dengan pencekalan dan pelarangan dari pemerintah kolonial Belanda. Kaum pribumi yang bekerja sebagai pegawai negeri pemerintah kolonial sering ikut berdiri khusyuk saat lagu ini dikumandangkan. Gara-gara inilah pemerintah kemudian mengeluarkan surat edaran agar pegawai negeri bersikap netral dan lagu tersebut dianggap sebagai lagu perkumpulan (club lied). (hlm 30).
Lagu ini diam-diam dipelajari oleh kaum pribumi. Beberapa Koran nasionalis mencetak lirik dan notnya di dalam Koran mereka. usaha pengakuannya sebagai lagu kebangsaan terus diperjuangkan, salah satunya melalui Volksraad (Dewan Rakyat). Tak kurang dari Buya Hamka, sastrawan dan ulama kondang, yang menulis bahwa Lagu Indonesia Raya telah diterima oleh rakyat Indonesia, sudah sewajarnya Pemerintah Hindia Belanda harus mengakui lagu itu sebagai lagu kebangsaan Indonesia.
Lalu saat Jepang berkuasa mulai Maret 1942, memang awalnya lagu ini diputar oleh radio Jepang untuk mengambil hati rakyat Indonesia, namun tak urung pula dilarang juga oleh Perdana Menteri Tojo Hideki dalam Undang Undang No. 4 (29 April 1942) yang diikuti pula dengan larangan mengibarkan bendera merah putih. Sebagai gantinya, keluar aturan yang mewajibkan rakyat menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo”, dan pengibaran bendera Hinomaru.
Perjalanan lagu Indonesia Raya menunjukkan pada kita betapa aspek musik dalam usaha perjuangan melawan kaum penjajah dan upaya menjaga semangat patriotisme dan nasionalisme memainkan peran penting. Pihak kolonial sampai merasa harus melarangnya—yang artinya memang berbahaya bagi keberlangsungan kekuasaan kolonial.
Hiduplah Indonesia Raya!
412 Komentar