
Readtimes.id–Bagi pecinta buku kisah perjalanan yang ditulis orang Indonesia, barangkali akrab dengan nama Agustinus Wibowo. Dia menulis beberapa buku yang berisi serangkaian perjalanannya mengelilingi dunia. Satu paket triloginya yang berkali-kali naik cetak dan teranyar terbit ulang 2020 lalu, adalah yang cukup sering diperbincangkan. Trilogi yang dimaksud adalah “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan,” Selimut Debu: Impian dan Kebanggaan dari Negeri Perang Afghanistan”, dan “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah. “
Namun, kali ini saya tak akan bicara tentang buku-bukunya, melainkan apa arti perjalanan-perjalanan yang ia tempuh tersebut terhadap refleksinya pada kemanusiaan, dan yang tak kalah penting: identitasnya sebagai pribadi berdarah Tionghoa dan berkewarganegaraan Indonesia.
Refleksi terkait semua itu saya kumpul dari beberapa referensi, salah satunya dari sumber tayangan Youtube. Tayangan tersebut adalah “Dialog Sastra—Bersama Aan Mansyur dan Agustinus Wibowo (Bentara Budaya Bali) “. Saya akan merangkum presentasi Agustinus Wibowo saja. Presentasinya mengharukan, saya nyaris saja menitikkan air mata. Refleksi kemanusiaan yang dia dapatkan selama melakukan serangkaian perjalanan membuat saya diliputi perasaan nelangsa.
Agustinus kelahiran Lumajang, Jawa Timur, pada 08 Agustus 1981. Ia mulai perjalanannya pada 2005 dengan pertama-tama mengelilingi daratan Asia, kemudian terus menjejaki Asia Selatan dan Tengah. Di beberapa tempat di daerah tersebut, untuk mencari uang, ia bekerja sebagai jurnalis dan fotografer.
Pengalaman Agustinus di Pakistan saat negara tersebut dilanda gelombang badai panas senantiasa lekat dalam ingatannya. Kala itu hepatitisnya kambuh. Lalu ia bertamu ke rumah orang yang tak ia kenal, di sana ia muntah hebat dan matanya kuning pekat. Beruntungnya, Agustinus diterima dengan hangat.
Oleh sang pemilik rumah, Agustinus disiapkan kamar, ranjang, dan makanan terbaik. “Berapa lama pun kamu mau tinggal di sini, silakan. Karena ini rumahmu,” kata sang pemilik rumah. “Bagaimana mungkin aku membalas kebaikanmu,” balas Agustinus. “Dalam dunia ini tidak penting berapa banyak yang kamu kumpulkan, tapi berapa banyak yang kamu bagikan, dan bagaimana membuat hidupmu berarti buat orang lain,” pungkas si pemilik rumah. Kata-kata ini bagai tamparan keras di wajahnya, sekaligus menginspirasi untuk menjadi jurnalis di Afghanistan.
Agustinus pernah meliput krisis pangan 2008 di Afganistan. Kala itu banyak orang yang mati kelaparan. Harga pangan meroket hingga mencapai 300%. Ada seorang ibu yang membawa anaknya berumur tujuh tahun yang sedang terkena kelaparan akut. Orang tua anak tersebut putus asa, sementara dia juga memiliki anak yang ia tinggalkan di rumah yang juga sedang menderita kelaparan yang sama. “Apakah saya harus masuk Taliban dan menjadi pelaku bom bunuh diri agar saya mendapatkan uang dan anak-anak saya bisa makan? ” kata sang ayah.
Dari pengalaman tersebut, Agustinus merenung: tak peduli apakah kita berada di dunia damai atau di daerah perang, manusia tetap manusia. Kita menangis untuk kesedihan dan kehilangan yang sama, kita tertawa untuk kegembiraan yang sama, dan kita sama-sama berada dalam perjalanan panjang perjuangan untuk tetap bertahan hidup. Tetapi dalam sejarah kita, selama beribu-ribu tahun, manusia terus berperang. Kita terus membenci, saling curiga, bahkan saling membunuh untuk berbagai alasan.
Agustinus sudah berjalan melewati berbagai perbatasan. Dan ini mempertemukannya dengan banyak kaum minoritas. Perjalanan tersebut mendorongnya untuk merenungkan perjalanan hidupnya sendiri. Di sana ia lantas menemukan bahwa ada luka batin yang sangat dalam yang membentuk pola perjalanannya.
Agustinus besar pada masa kekuasaan Orde Baru Soeharto, di mana warga Tionghoa seperti dirinya dilarang menyandang nama China, tak boleh merayakan tradisi China, diharamkan memeluk agama China. Semasa kecil, Agustinus kerapkali menerima olok-olokan, “China sipit, pulang ke negaramu sana. ” Olok-olokan serupa ini tak pelak membuatnya trauma, dan ia melewati masa tumbuh kembang sebagai anak rumahan.
Olok-olokan ini membuatnya bertanya, siapa saya, dan di mana rumah saya? Mungkin jawabannya ada di negeri leluhur. Lalu ia berkesempatan menempuh pendidikan di Beijing, di China, dan berharap ini kesempatannya untuk belajar akarnya sendiri. Dan Agustinus menganggap ini sekaligus pulang ke negeri leluhur.
Namun, apa yang Ia dapatkan? Banyak hal, baik tradisi maupun kebiasaan di China yang tak bisa ia terima. Ternyata, dia menyimpulkan, negeri China bukanlah rumahnya. Sebab itulah dia melakukan perjalanan dari negeri ke negeri, mencari negeri yang lebih sempurna. Sayang sekali, tak ada negeri yang benar-benar sempurna yang ia jumpai. Agustinus merasa dirinya tak lebih dari seorang pengungsi.
Setelah kurang lebih setahun berkelana, Agustinus pulang ke Indonesia karena ayahnya sakit keras. Dia menemani ayahnya selama sakit. “Papa, papa cepat sembuh. Nanti akan saya bawa papa untuk mewujudkan impian: pulang ke tanah impian,” kata Agustinus kepada ayahnya. Jawaban ayahnya membuatnya tersentak, “bukan, bukan begitu. Itu bukan pulang ke tanah air. Itu namanya hanya pergi ke Tiongkok. Tanah air kita di sini: Indonesia. di sini kita harus berbakti. “
Padahal, sepanjang hidupnya, ayah Agustinus berada dalam bayang suram dan pengalaman pahit di bawah kekuasaan rezim militer Orde Baru. malah, ayahnya pernah merasakan penjara Orde Baru yang berkuasa 32 tahun itu. Namun demikian, ayahnya masih sempat berkata, “tanah air kita Indonesia.”
Agustinus terus bertekad untuk mengenal dan mengakrabi Indonesia. harapannya, kisah-kisah yang dia bagikan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman. Karena dua hal itulah yang bisa mendobrak garis batas, menggantikan kebencian dengan kemanusiaan.
413 Komentar