Judul : Lebih Putih Dariku
Penulis : Dido Michielsen
Penerbit : marjin kiri
Cetakan : Juni 2022
Halaman : I – vi + 288 hlm
Kolonialisme adalah kenyataan yang kompleks: bukan hanya berupa dominasi yang mengemuka dalam bentuk perang dan pemberontakan, namun juga upaya hegemoni menaklukkan kelas lain dalam bentuk menggantikan system sosial-ekonomi-hukum kelas tersebut. Kolonialisme juga tidak selalu melahirkan kondisi hitam putih, tapi juga nuansa: bukan hanya pribumi vis a vis dengan sang kolonialis, namun juga pribumi yang terdiskriminasi oleh hukum sosial colonial sekaligus pribumi itu sendiri.
Dunia Nyai merupakan satu fenomena kecil namun sekaligus cermin besar untuk melihat praktik kolonialisme yang menindas secara tidak langsung, dan sekaligus sang Nyai disisihkan oleh masyarakat pribumi secara umum. Di dunia Nyai ini, sebagaimana kita tahu, seorang perempuan menjadi istri tidak sah seorang kolonial, melahirkan anak darinya namun tidak diakui secara hukum positif, lalu jika beruntung mendapatkan pasangan colonial yang baik, dia akan bahagia, namun jika tidak dia akan menderita.
“Lebih Putih Dariku” merupakan novel anyar yang berkisah tentang dunia Nyai. Bagi pembaca sastra Indonesia, barangkali akan akrab dengan tokoh Nyai Ontosoroh dalam tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer, perempuan pribumi yang menikah dengan seorang Belanda. Nah, dalam buku yang ditulis penulis Belanda ini, dunia Nyai dihadirkan kepada kita dengan lebih detail dan kompleks.
Memenangkan “Boekhandelprijs 2020”, “Lebih Putih Dariku” mengisahkan satu tokoh nyai bernama Isah (nama yang didapatkannya ari ‘suami’ Belanda-nya, nama kecilnya adalah Piranti). Sepanjang kisah Isah dalam 288 halaman buku, kita akan menemukan kenyataan miris praktik dunia kolonialisme di Indonesia, khususnya di jantung pemerintahan kolonial Belanda di pulau Jawa. Di sini kita akan menyaksikan pertemuan orang Belanda dengan perempuan pribumi beserta segala konsekuensi interaksinya.
Novel cukup tebal ini berlatar dunia colonial Belanda pada era pertengahan abad 19, lokusnya di Pulau Jawa. Rentang abad ini dunia colonial Belanda tengah memasuki satu fase baru yang lebih modern dengan kebijakan-kebijakan yang mulai berubah. Di abad ini pula terusan Suez dibuka, tepatnya pada 1869—setahun sebelum kebijakan Tanam Paksa berakhir. Pembukaan terusan Suez ini signifikan dalam mendatangkan lebih banyak orang Eropa ke Indonesia karena jarak yang ditempuh dari tanah kelahiran ke Indonesia menjadi lebih ringkas—dulu berbulan-bulan, menjadi hanya kurang lebih dua sampai tiga minggu. Nah, dalam momen-momen perubahan seperti inilah kisah Nyai Isah berlangsung.
Isah, tokoh sentral dalam “Lebih Putih Dariku”, adalah putri pembatik di lingkungan keraton. Tapi posisi sosialnya lebih rendah karena lahir dari ibu tidak resmi seorang bupati. Karakter Isah berikutnya yang pemberontak sebetulnya berasal dari kenyataan kelas sosial ini. Dia belajar dan mengalami sendiri diskriminasi kelas sosial ini, lalu usaha pemberontakannya ini berakhir pada penolakannya pada perjodohannya dia. Isah memilih menjadi nyai seorang perwira Belanda.
Nah, dalam cerita berikutnya alurnya sederhana saja: Isah akan melewatkan hari-harinya menjadi Nyai, melahirkan dua anak perempuan (Pauline dan Louisa), lalu ditinggalkan begitu saja oleh suaminya bernama Gey (menikah dengan perempuan Belanda), dan masa penderitaan datang setelah itu, hingga akhirnya Isah meninggal dengan menyimpan kesedihan mendalam dadanya.
Di dalam alur sederhana itu sebetulnya menyimpan ironi tersendiri. Isah seorang diri berjuang agar dia tetap bisa bersama-sama anak-anaknya pasca ditinggalkan oleh Gey, setelah diputuskan dua anak perempuannya itu akan diadopsi oleh satu keluarga Belanda, pasangan Lot dan Arnold. Dia bekerja untuk Lot dan Arnold sebagai babunya. Dan dia dituntut untuk tidak menunjukkan identitasnya sebagai ibu dua anaknya itu—tapi sebagai babu anaknya sendiri. Ini bagian yang paling mengiris hati. Bagaimana mungkin seorang ibu diminta jadi babu untuk anaknya sendiri?
Ada bagian di dalam cerita di mana keluarga Lot dan Arnold merasa tidak butuh Isah lagi. Anak-anaknya dipisahkan dari dirinya tanpa pernah ada kesempatan dia menjelaskan secara jujur bahwa dialah ibu mereka. Beberapa bab terakhir buku ini mengisahkan perjuangan Isah mencari jejak dua anaknya yang tak pernah dia jumpai lagi—sampai dia meninggal dalam keadaan menyerah dalam pencarian.
Di sinilah buku ini secara tidak langsung mengemukakan pelik hukum Eropa yang diskriminatif terhadap pribumi, yang dalam hal ini korbannya adalah perempuan. Antara kenyataan colonial dan patriarki Eropa juga sekaligus hukum tradisional pribumi sama-sama menekan dan mendesak kaum perempuan berstatus nyai ini. Ada nyai yang beruntung, tapi sebagian besar bernasib buntung.
Buku ini sangat baik bagi kita yang membaca kisah kejamnya kolonialisme dari sudut pandang kecil yang tidak banyak dibincangkan: dunia nyai. Di buku ini tak ada adegan perang yang beraroma mesiu dan darah, tapi penuh dengan perang batin dan psikologi yang ditimbulkan oleh diskriminasi hukum kolonial.
Tambahkan Komentar