Readtimes.id—Polemik krisis batu bara masih berlanjut setelah penetapan larangan ekspor yang hanya diberlakukan sepuluh hari. Kini, skema kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) yang bakal digantikan dengan skema Badan Layanan Umum (BLU) juga menuai kritik.
Pengusaha batu bara yang ‘nakal’ menjadi asal usul perkara ini. Sebenarnya pemerintah sudah memberlakukan kewajiban pemenuhan DMO bagi mereka. Dengan kebijakan DMO itu, pengusaha harus mengalokasikan 25 persen produksi mereka untuk kepentingan dalam negeri. Meski sudah diwajibkan, pengusaha masih saja ingkar dan banyak yang tak mau menyetor ke PLN.
Kementerian ESDM mencatat sebanyak 418 perusahaan mangkir dari kewajiban tersebut dan kini telah dihukum dengan dicabutnya izin ekspor batu bara mereka.
Kondisi semakin kacau, PLN akhirnya mengadu pada Kementerian ESDM. Aduan kemudian ditindaklanjuti pemerintah dengan menutup keran ekspor batu bara selama sebulan penuh dari 1 Januari-31 Januari 2022 supaya bisa dialihkan untuk PLN.
Selain Menteri ESDM Arifin Tasrif, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan ikut turun tangan menangani krisis energi PLN.
Menanggapi keputusan tersebut, para pengusaha dan negara yang bergantung pada batu bara Indonesia juga melayangkan protes, seperti Korea Selatan, Jepang, China, hingga Filipina. Ekspor pun akhirnya kembali dibuka.
Luhut menerangkan sebanyak 37 kapal ekspor batu bara siap jalan pada Rabu (12/1) kemarin. Menurut dia, ekspor dilakukan secara bertahap dan kepada para pengusaha yang patuh pada kewajiban DMO.
Meski demikian, rencana skema kewajiban DMO akan digantikan dengan skema BLU. Dalam skema baru ini, PLN akan membeli batu bara dengan harga pasar, bukan dengan harga DMO yang dipatok US$70 per metrik ton (MT).
Baca Juga : Ancaman Listrik Padam, Ekspor Batu Bara Dilarang Sementara
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai pengubahan skema DMO menjadi BLU tidak akan menyelesaikan polemik ini, justru menambah masalah baru.
“Itu bukan keputusan tepat karena saya tidak yakin BLU akan menyelesaikan masalah, bahkan Menurut saya akan menimbulkan masalah baru,” jelas Fahmy kepada Readtimes.id.
Ia pesimis PLN akan mendapatkan pasokan sesuai jumlah kebutuhannya meskipun PLN membeli sesuai harga pasar. Selain itu, jika kewajiban kuota 25 persen DMO dicabut, maka Menurut Fahmy pengusaha makin bebas mengekspor dan krisis batu bara akan terus berlanjut.
Masalah yang mengintai selanjutnya adalah acaman krisis listrik dan potensi kenaikan tarif listrik yang dipicu lonjakan harga pokok penjualan (HPP) bila PLN membeli batu bara dengan harga pasar. Pilihan lainnya, jika tidak ingin menaikkan tarif listrik, PLN akan mengalami kebangkrutan.
“Kalau listrik naik, berdampak pada ekonomi, menaikkan inflasi, akan memperburuk daya beli menambah beban rakyat,” jelasnya.
Ketimbang menggunakan skema BLU yang ia yakini akan menimbulkan masalah baru, Fahmy menyebut akan lebih baik pemerintah tetap menggunakan skema DMO, tetapi ada revisi.
Pertama, perlu ada penjadwalan ulang pasokan batu bara ke PLN. Sebaiknya jadwal pasokan ke PLN dilaksanakan per bulan, bukan tahunan seperti saat ini.
“Kalau pengusaha dievaluasi per bulan dan dilarang mengekspor jika bulan sebelumnya membangkang, maka pengusaha bakal takut tak setor pasokan,” ujarnya.
Kedua, perlu dicantumkan sanksi bagi pengekspor yang tidak memenuhi kewajiban tadi. Selama ini sanksinya hanya berupa denda kecil sehingga tidak efektif untuk memaksa pengusaha memasok ke PLN. Sanksi pengusaha bandel adalah larangan ekspor atau bahkan pencabutan izin usaha.
“Tapi kalau sanksinya berupa larangan ekspor pelanggar, maka mereka pasti akan taat aturan,” jelasnya
Fahmy juga menilai dalam kasus ini pemerintah hampir tidak tegas sama sekali, seolah mereka dililiti pengusaha. Keputusan penerapan skema BLU ini pun menurutnya tampak pro pengusaha bukan pro rakyat.
“Saya masih punya harapan Pak Jokowi akan mengambil keputusan untuk tetap mempertahankan DMO, DMO pro rakyat bukan pengusaha,” pungkasnya.
1 Komentar