
Readtimes.id—Kondisi keuangan darurat yang tengah melanda Garuda Indonesia memaksa pemerintah menyiapkan pelampung. Maskapai Pelita digadang-gadang menjadi pengganti emiten berkode GIAA ini.
Lantas apakah kehadiran Maskapai Pelita menjadi solusi atau malah menambah beban baru negara?
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menyatakan secara terbuka bahwa pemerintah tengah menyiapkan maskapai pengganti apabila Garuda Indonesia tak bisa diselamatkan alias terpaksa ditutup.
Pelita Air Service (PAS) kemudian dipilih sebagai maskapai pengganti untuk mengisi layanan penerbangan berjadwal menggantikan Garuda Indonesia.
Pelita Air sendiri sebenarnya merupakan anak usaha dari PT Pertamina (Persero). Namun saat ini, PAS hanya melayani penerbangan charter.
Sebagai salah satu perusahaan operator pesawat charter terbesar di Indonesia, Pelita Air bahkan punya bandara sendiri, yakni Bandara Pondok Cabe yang berlokasi di Tangerang Selatan.
Persiapan Pelita Air sebagai maskapai berjadwal ini untuk mengantisipasi apabila restrukturisasi dan negosiasi yang sedang dijalani Garuda tak berjalan mulus.
Dikutip dari laman berita Antara (23/10), Anggota Komisi VI DPR RI Evita Nursanty mendukung langkah yang diambil Kementerian BUMN dengan opsi penutupan Garuda apabila negosiasi dengan para lender, lessor pesawat, hingga pemegang sukuk global gagal dilakukan.
Evita mengatakan, jika negosiasi berjalan alot dan kemungkinan berakhir gagal, maka tidak ada pilihan lain, kecuali Kementerian BUMN harus menyiapkan maskapai penerbangan Pelita Air atau maskapai lain sebagai pengganti.
“Saya menilai penyiapan maskapai penerbangan lain untuk menggantikan Garuda Indonesia sebagai antisipasi dari sangat seriusnya situasi saat ini. Kalau memang tidak bisa lagi dinegosiasikan dengan para lessor, lender maupun pemegang sukuk global ya tentu saja seperti kata Kementerian BUMN, opsinya tidak ada lagi kecuali ditutup,” katanya.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan itu menyampaikan DPR sudah menegaskan opsi lain dengan penyertaan modal negara (PMN) tidak akan mungkin dilakukan.
Evita berharap situasi ini bisa ditangkap para lessor untuk bisa memberikan kesempatan kepada Garuda di tengah kondisi mencekik ini.
Apalagi terakhir ini terbuka sinyal positif bagi dunia penerbangan setelah dibukanya pariwisata internasional ke Bali, pembukaan umrah, dan lainnya setelah menurunnya kasus Covid-19 secara signifikan di Indonesia.
Lanjut dia, penutupan Garuda Indonesia tidak akan membuat Indonesia kehilangan flag carrier. Ia menyebut di Amerika Serikat misalnya, penerbangan sepenuhnya dikelola swasta, dan semua pesawat yang terdaftar disebut flag carrier.
Sebuah negara bisa mengganti maskapai national carrier bahkan meniadakannya, termasuk bekerja sama dengan maskapai internasional untuk jadwal penerbangan internasional.
“Kalau saya ditanya saya tentu suka jika Garuda Indonesia tetap ada, tapi kalau kondisinya memang sudah tidak ada jalan keluar lain di mana para lessor dan lender itu tetap tidak mau negosiasi, ya sudah tutup saja,” ujar Evita.
Sementara itu, pengamat BUMN Herry Gunawan menilai, upaya penyelamatan Garuda Indonesia dengan Pelita Air sebagai penerbangan komersial tidak tepat. Menurutnya cara itu justru menyelesaikan masalah dengan melahirkan beban baru.
“Misalnya Pelita perlu tambahan pesawat, baik sewa atau beli. Dengan demikian ada beban keuangan baru. Mau PMN, tentu sulit mengingat keuangan negara sedang kurang sehat,” ujarnya.
Di samping itu, infrastruktur lain juga perlu dilakukan penyesuaian kembali jika Pelita akan menggantikan Garuda. Mulai dari Sumber Daya Manusia (SDM) hingga operasional.
“Beragam sertifikasi juga masih harus dilalui (Pelita). Kalau mau terbang ke Amerika misalnya, kan perlu sertifikasi FAA (federal aviation administration). Eropa juga punya standar sendiri,” jelasnya.
Herry melanjutkan, terkait pengalaman Pelita Air juga masih sangat jauh jika dibandingkan Garuda Indonesia. Sebab, selama ini Pelita terlalu kecil karena anak usaha yang core bisnisnya bukan penerbangan, akan tetapi migas.
“Jadi, pilihan pada Pelita itu bukan solusi. Justru beban-beban baru bagi pemerintah, apalagi kalau dikeluarkan dari Pertamina dan menjadi BUMN,” pungkasnya.
Di sisi lain, Wakil Menteri BUMN II Kartiko Wirjoatmodjo menilai opsi penutupan Garuda Indonesia tetap akan terbuka meski berstatus sebagai maskapai flag carrier.
Alasannya, saat ini sudah lazim sebuah negara tidak memiliki maskapai yang melayani penerbangan internasional.
Dia pun beralasan meskipun Garuda Indonesia bisa diselamatkan, nyaris mustahil Garuda bisa melayani lagi penerbangan jarak jauh, misalnya ke Eropa.
Oleh karena itu, untuk melayani penerbangan internasional, maskapai asing akan digandeng sebagai partner maskapai domestik.