RT - readtimes.id

Memahami Kebijakan II Amnesti Pajak

Readtimes.id– Pemerintah berencana melaksanakan program pengungkapan sukarela (PPS) atau lebih dikenal dengan program pengampunan pajak (tax amnesty) pada Januari-Juli 2022.

Rencana pemerintah tersebut tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah disahkan DPR RI pada awal Oktober 2021.

Wakil Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, Ali Yus Isman, mengatakan perlu diperjelas bahwa kebijakan ini bukan tax amnesty jilid 2, namanya program pengungkapan sukarela di mana ada dua jenis kebijakan.

Pertama, untuk alumni tax amnesty yang ternyata masih ada aset perolehan 1985-2015 terlewat, diberikan kesempatan untuk tebus dengan tarif yang tiga kali lebih mahal.

Kedua, khusus Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang memiliki aset dengan perolehan 2016-2020 yang belum dilaporkan pada spt tahunan 2020 dapat menebus dengan tarif yang lebih tinggi dari kebijakan PPS pertama.

Program ini terkait dengan dibukanya informasi keuangan baik dalam dan luar negeri. Direktorat Jendral Pajak (DJP) menerima data keuangan dari 2017 sd 2019 yang sangat banyak hingga kewalahan memproses.

Jika dibandingkan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) wajib pajak, data-data ini banyak yang tidak cocok dan jika ternyata memang belum dilaporkan maka WP OP harus membayar kekurangan pajak dengan tarif maksimal 30 persen.

Selain itu, banyak wajib pajak yang belum paham tentang sistem penukaran informasi data keuangan secara otomatis yang digunakan untuk mengetahui dan mengawasi pontensi pajak dalam dan luar negeri (AEoI) ini ataupun memang belum peduli dengan kewajiban perpajakan.

Hal ini yang biasanya menimbulkan kepanikan dan protes keras ketika Kantor Pelayanan Pajak (KKP) bertindak menerbitkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan untuk eksekusi data AEoI tersebut. Namun, di satu sisi DJP memiliki kewajiban untuk menutup semua case berdasar data keuangan tersebut.

“Intinya banyak WP yang meyepelekan kemampuan monitoring data DJP dan otoritas pajak negara lain, sekarang mereka merasa berat untuk membayar pajak atas aset dan penghasilan atas aset tersebut sekaligus untuk beberapa tahun ditambah sanksi administrasi. Nilainya bisa mencapai 45%  dari total aset yang bermasalah,” ungkap Ali.

Selain itu, Ali juga menerangkan bahwa pandemi yang terjadi dua tahun belakangan ini juga membuat banyak WP yang keuangannya terdampak.

“Bisa-bisa aset tersebut sudah berkurang signifikan akibat kebutuhan di masa pandemi atau investasi yang gagal dan merugi. Jadi faktor kemampuan bayar menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan ini,” jelasnya.

Alasan ini pun mungkin bisa dipertimbangkan untuk di sensor jika dinilai sensitif, kata Ali. Intinya negara saat ini dalam kondisi butuh uang. Dalam 1,5 tahun pandemi, negara telah pasang badan untuk seluruh warganya dengan menerapkan kebijakan fiskal subsidi, bantuan, pajak ditanggung pemerintah dan vaksinasi gratis. Penerimaan pajak juga tergerus akibat bisnis yang anjlok akibat PSBB dan PPKM.

Anggapan PPS Hanya Untungkan Orang Kaya

Setelah terbitnya dua program pengampunan pajak ini, banyak anggapan yang meralat bahwa  kebijakan PPS ini hanya menguntungkan orang kaya saja. Ali kemudian tidak sependapat dengan hal tersebut. Menurutnya anggapan tersebut kurang tepat karena dua alasan. 

Pertama, tidak semua WP yang bermasalah pelaporan aset adalah orang kaya. Banyak masyarakat kelas menengah juga memiliki problem tidak paham kewajiban pajak dan berakibat pelaporan SPT yang salah. Orang kaya justru bisa menggunakan jasa konsultan pajak berizin praktik resmi sehingga cenderung lebih tertib.

Kedua, uang yang akan diperoleh dari program PPS ini justru akan lebih dirasakan dampaknya oleh masyarakat ekonomi lemah melalui berbagai program subsidi dan bantuan serta pembangunan fasilitas umum yg tertunda semasa pandemi ini.

I Luh Devi Sania

536 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: