Judul : Rumah di Tanah Rempah, Perjalanan Memaknai Rasa dan Aroma Indonesia
Penulis : Nurdiyansah Dalidjo
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2020
Tebal : 466 hlm
Ada banyak jalan menyusuri kembali jejak Indonesia lampau untuk mengenal diri kita sendiri hingga dapat menjadi seperti sekarang ini. Dari sekian jalan itu adalah menjalani kelana kuliner ke berbagai sudut pulau nusantara ini dan masuk lebih jauh ke dalam dapur tuan rumah, menjelajahi dunia kecil yang disesaki rempah-rempah. Karena, bagaimana pun, sebagian besar susunan wajah Indonesia kita terbentuk dari keping-keping rempah.
Itulah yang dilakukan Nurdiyansah Dalidjo, seorang jurnalis serta peneliti lintas bidang, dalam bukunya, “Rumah di Tanah Rempah”. Perjalanannya yang merentang dari Papua sampai ke Aceh tersebut menyajikan pengalaman menarik, informatif, sekaligus penuh haru biru. Narasinya memiliki magnet kuat yang dapat menahan kita karena dia memadukan informasi historis dari buku-buku dengan cerita-cerita factual dari lapangan.
Dia mendatangi kedai-kedai kopi rakyat dan berbincang dengan orang biasa, menyusuri situs-situs yang pernah berjaya dengan kisah rempah, hingga ke daerah masyarakat adat dan menadah kisah kelam dan haru dari para penghuninya.
Beraneka ragam rempah nusantara yang terhampar dalam buku ini, yang menjulur di tujuh wilayah di Indonesia: Sumatera, Jawa, Bali-Nusra, Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan Maluku.
Rempah bukan semata warisan eksotis, namun juga kisah miris Kisah rempah yang diudar dalam “Rumah di Tanah Rempah” ini tidak melulu berkelindan dalam jebakan eksotisme ataupun romantisme masa lalu–di mana rempah nusantara digambarkan sebagai warisan berharga semata, yang dituturkan secara berulang-ulang sebagai magnet yang menarik bangsa kolonial Eropa datang ke nusantara ini. Namun, rempah di sini juga dikaitkan dengan aspek sosial, ekonomi, dan kulturalnya, yang terkadang menyimpan kisah miris.
Misalnya, makna rendang bagi orang Minang. “Bagi orang Minang, rendang paling enak paling enak ada di rumah,” begitu kata seorang kawan penulis buku. Kenapa bisa begitu? Karena rendang dalam tradisi Minang adalah makanan hantaran, yang wajib ada dalam setiap acara.
Aspek sosial ekonomi juga kita jumpai pada beberapa daerah di mana warganya tengah berjuang melawan kekuatan politik yang bakal menyingkirkan mereka dari tanah tempat mereka menanam rempah. Di Sumatera Utara penulis buku menyelami kisah masyarakat adat yang tengah menghadapi ancaman hilangnya hutan kemenyan mereka. “Rusaknya hutan kemenyan bukan hanya berdampak pada pencemaran sumber dan aliran mata air, tapi juga menghancurkan ketahanan ekonomi warga,” kata penulis.
Kisah serupa akan kita jumpai lebih sering pada hampir semua bab. Nurdiyansah mengajak kita untuk tak hanya mengenang Indonesia secara eksotis semata, karena bagaimana pun jalur rempah di tanah Indonesia lampau sohor bagi banyak bangsa lain. “Kita larut dalam buaian romantisme pada citra negeri yang kaya dan penuh keragaman agar mungkin tak perlu kita bicara tentang eksploitasi ekonomi sebagai realitas hari ini. Negeri dirampok dan dihisap,” begitu Nurdiyansah memberikan kritiknya.
Nampaknya buku ini hendak memberi satu pesan kuat kepada kita: maknai ulang dan rawat rumah Indonesia-mu. Bagi pembaca buku perjalanan yang bernuansa historis sekaligus kritis—tanpa kehilangan nuansa petualangan perjalanannya—buku ini perlu dibaca.
Saya menikmati seluruh remahan cerita buku ini. Saya seperti ikut bersama penulis menikmati kopi Sabang, menyantap rendang Minang, cicipi kekayaan kue Bangka, sate lilit Lombok, sambil mendengarkan warga berkisah tentang dongeng-dongeng yang terkait dengan aneka kuliner tersebut.
Tambahkan Komentar